Kembali ke Kesukuan dengan Alat Keglobalan
Oleh:
Dahlan Iskan
Kini ada
banjir yang tidak mengenal musim: banjir informasi. Ada semangat yang terus
kian tinggi: semangat membuat grup di media sosial. Itulah gejala baru pada
zaman media elektronik sekarang ini. Ada baiknya, ada bahayanya. Dan yang pasti
banyak repotnya. Dan sering low batt-nya.
Hampir tiap minggu saya di-invite. Untuk dimasukkan satu grup WA
baru. Atau Line. Padahal, saya sudah ikut delapan grup. Itu saja bukan main
kepadatan lalu lintas di HP saya. Praktis, tiap detik ada info baru yang
menyalakan layar HP. Apalagi kalau ada tokoh yang meninggal. Atau sakit. Semua
anggota grup mengirim doa. Bunyinya sama.
Yang agak lumayan kalau ada yang berulang tahun. Memang isinya
mirip-mirip semua juga. Tapi, kadang ada lucunya. Apalagi kalau ada yang
kawin: Kadang ada pornonya. Yang tidak pernah memberi info adalah kalau ada
yang bercerai. Mungkin takut mantannya cepat laku.
Grup yang saya ikuti sangat bervariasi. Ada yang anggotanya dari
empat aliran agama. Ada yang satu agama, tapi dari aliran yang sangat
berbeda. Ada yang grup kelompok aktivis. Ada yang agak khusus: kelompok
pimpinan Jawa Pos Group se-Indonesia. Dari semua grup yang saya ikuti, tidak
satu pun yang saya inisiatornya.
Seandainya semua invite saya okekan, mungkin sudah lebih dari 100
grup di HP saya. Kini saya terpaksa left dari beberapa grup karena lagi
belajar. Di Amerika pula. Dan menulis buku.
Waktu masih BBM dulu, saya yang minta dibuatkan grup-grup BBM.
Tapi, sebatas untuk memperlancar pekerjaan: grup eselon I Kementerian BUMN,
grup infrastruktur, grup perkebunan, grup pabrik gula, dan seterusnya. Semua
terkait dengan pekerjaan. Praktis, semua persoalan dibahas di situ. Pekerjaan
bisa dikoordinasikan dengan amat cepat. Juga terbuka untuk semua anggota grup.
Produktif sekali.
Kini agak berbeda.
Dari grup-grup yang saya ikuti, saya bisa melihat banyak hal di
luar pekerjaan. Sekaligus mengamati perkembangan sosial. Yang saya catat,
grup-grup WA itu memiliki kecenderungan hanya diikuti kelompoknya sendiri: yang
satu ide, satu perjuangan, satu pemikiran. Bahkan satu tujuan.
Semula, yang tidak satu ide pun ada yang di-invite. Tapi, biasanya
leave. Terutama setelah melihat perkembangan topik yang dibahas. Atau dominasi
kelompok pemikiran tertentu dari anggota tertentu. Dengan demikian, ada
kecenderungan tiap grup membangun solidaritas di antara grup itu sendiri.
Kian lama kian mengental pula. Yang masuk sering kali info
yang hanya didasarkan asumsi. Yang sudah dibumbui emosi. Saya mencatat betapa
jauhnya jarak emosi yang terbangun di satu grup dengan grup lainnya. Dari
kelompok yang ideologinya berbeda. Yang agamanya berbeda.
Saya ikut satu grup yang paling militan dari satu aliran. Tapi,
saya juga ikut grup yang sangat liberal. Saya ikut grup yang sangat
tradisionalis, tapi juga ikut grup yang sangat globalis.
Banyak kalimat hujatan, makian, dan emosian di satu grup. Tapi,
kata-kata itu tidak membuat marah anggota grup. Mungkin karena anggota grupnya
memang dari kelimpok yang sama. Bahkan, kata-kata keras itu lebih banyak
didukung pula. Solidaritas di dalam grup itu terbangun dengan solidnya.
Saya membayangkan kalau saja anggota grup yang berbeda itu menjadi
satu, alangkah serunya. Mungkin bukan hanya perang kata-kata. Bisa-bisa
berlanjut ke perkelahian di jalan-jalan. Saking kerasnya.
Zaman dulu, suku-suku berkelompok sesama anggota suku. Di satu
lokasi yang berbeda. Tidak ada komunikasi antarsuku. Sering terjadi perang
suku. Kadang karena tidak ada komunikasi. Atau karena ego sukunya.
Itu semua hasil dari pembangunan soliditas solidaritas di dalam
sukunya.
Kini, di zaman yang amat terbuka ini, ternyata bisa juga muncul
gejala kembali ke kesukuan. Atau ke kelompokan. Suku juga dalam pengertian yang
berbeda. Dengan isolasi berbentuk grup WA atau BBM atau Line.
Dari sini, saya bangga kepada generasi baru di Jawa Pos Group.
Yang saya ikuti sari grup WA mereka. Yang begitu yakinnya bahwa koran tetap
akan jaya. Asal manajemennya bagus. Dan isinya menyesuaikan dengan keinginan
dasar pembacanya.
Setiap kali ada koran yang mati dengan malu-malu (dengan alasan
pindah ke edisi online yang lebih modern), generasi baru di Jawa Pos Group
(JPG) mengkajinya dengan kritis: Itu mati karena zaman, karena manajemen,
karena SDM, karena kreativitas, atau karena nasib.
Apalagi, generasi baru di JPG juga terus mengikuti perkembangan
terkini di negara maju. Bahwa koran online ternyata kian sulit juga: tidak
menghasilkan uang. Tidak cukup untuk membiayai perbaikan mutu
jurnalistiknya. Saya bersyukur bukan hanya karena itu. Tapi, koran
ternyata menjadi media yang dibaca lintas suku, lintas aliran, dan lintas grup.
Justru pada zaman menjamurnya grup WA atau BBM ini peran koran
menjadi beda: menjadi clearinghouse informasi. Koran bisa meng-clear-kan
berbagai informasi yang tidak clear. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar