Jenderal
Tito dan Reformasi Polri
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Pada 13
Juli 2016 Jenderal Tito Karnavian (1964--) resmi dilantik menjadi Kapolri
mengggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang memasuki masa pensiun pada 24 Juli
ini. Karier Tito yang meroket ini disambut oleh publik dengan harapan besar
agar proses reformasi dalam tubuh polri akan berjalan lebih lancar mengingat
latar belakang pendidikan dan pengalaman lapangan jenderal muda ini cukup
fenomenal dan memadai.
Kita
menginginkan polri ke depan di samping memang profesional dalam menjalankan
tugasnya, juga dicintai rakyat yang harus dilayaninya dengan bijak, tegas,
santun, dan penuh pengertian. Sebagian rakyat kita masih belum punya disiplin
sosial yang membanggakan. Polri tentu sudah faham masalah sikap kultural yang
belum baik ini.
Kita tahu
tugas kepolisian dalam masyarakat yang plural ini amatlah berat dan tidak
jarang di antara anggota mereka yang stres, terutama yang bertugas dalam
mengatur lalu lintas di tempat-tempat yang padat dan sering macet, plus hujan.
Sungguh dalam situasi yang semacam ini diperlukan kesabaran tingkat tinggi dari
anggota yang sedang bertugas.
Seorang
polisi di samping menguasai ilmu kepolisian yang standar, juga mesti memahami
psikologi publik di tempat tugasnya di seluruh Indonesia dengan sub-kultur yang
sangat beragam. Pembicaraan saya dengan berbagai kalangan kepolisian telah
membawa saya kepada kesimpulan demikian itu.
Dari
seorang mantan Kapolda yang pernah bertugas di suatu propinsi di Kalimantan,
saya mendengar keterangan langsung bahwa rakyat setempat sangat mencintainya.
Demikian dekatnya dengan rakyat, sehingga jenderal bintang dua ini tidak boleh
meninggalkan propinsi itu, sekalipun masa tugasnya telah usai. Tentu saja
harapan semacam ini tidak dapat dikabulkan, karena seorang jenderal polisi
biasa punya mobilitas yang tinggi dalam mengemban tugas negara yang dipikulkan
ke pundaknya.
Seorang
Tito misalnya sudah beberapa kali pindah posisi strategis, sebelum pada
akhirnya bermuara menjadi Kapolri. Saat rombongan Jenderal Tito pada 31 Maret
2016 berkunjung ke Nogotirto, saya sudah bisikkan kepadanya: “Calon Kapolri.”
Tetapi saya tidak membayangkan prosesnya demikian cepat, dengan melampaui
beberapa generasi para seniornya.
Selamat
Jenderal Tito, wong kito
segalo.
Reformasi
polri sudah banyak dibincangkan. Jenderal Tito juga sudah berjanji untuk
mempercepat proses reformasi itu. Sesungguhnya Polri sudah lama punya payung
hukum dan payung moral sebagai pedoman dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Sebelum terbitnya UU No. 02 Thn. 2002 tentang Kepolisian, pada 1 Juli 1955 oleh
Kapolri Jenderal R.S. Soekanto
Tjokrodiatmodjo
telah ditetapkan sebuah Tribrata Polri yang semula dirumuskan oleh Prof. Djoko
Soetono berdasarkan warisan Jawa Kuno dalam bahasa Sanskerta bercampur dengan
bahasa Indonesia yang agak sulit dimengerti oleh publik.
Agar
mudah difahami, maka Tribrata itu berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol.
17VI/2002, tertanggal 24 Juni 2002, dirumuskan dalam bahasa Indonesia yang
jelas sebagai berikut ini:
Kami
Poliisi Indonesia:
1.
Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap
Tuhan
Yang Maha Esa
2.
Menjunjung tinggi kebenaran keadilan dan kemanusiaan dalam
menegakkan
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945
3.
Senantiasa melindungi mengayomi dan melayani masyarakat dengan
keikhlasan
untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban
Dalam
pelaksanaannya dalam bentuk yang kongkret, Tribrata didampingi oleh Catur
Prasetya yang berbunyi: Sebagai insan bhayangkara kehormatan saya adalah
berkorban demi masyarakat bangsa dan negara untuk:
1.
Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan
2.
Menjaga keselamatan jiwa raga harta benda dan hak asasi manusia
3.
Menjamin kepastian berdasarkan hukum
4.
Memelihara perasaan tenteram dan damai
Dengan
pedoman Tribrata, Catur Prasetya, dan UU Tahun 2002 di atas, sesungguhnya
landasan moral dan landasan hukum reformasi kepolisian sudah cukup kuat. Dan
kultur yang kurang mendukung selama ini harus diubah secara bijak tetapi tegas
dengan parameter yang terukur.
Tetapi
mengapa proses reformasi masih tersendat-sendat, sehingga untuk memulihkan
kepercayaan rakyat kepada polri ternyata tidaklah mudah?
Isu-isu
tentang rekening gendut, simulasi SIM, praktik setoran bawahan kepada atasan,
praktik percukongan untuk menjadi polisi, jual beli perkara, prilaku berdamai
seorang pengendara yang salah di jalan, dan berita tentang anggota polri yang
tersangkut narkoba, misalnya, telah semakin melemahkan wibawa polisi.
Akibatnya, hukum seperti dipermainkan dan rakyat kecil yang kehilangan
speda motor misalnya menjadi frustrasi.
Dengan
catatan ini, disertai kemauan yang kuat dan rasa percaya diri yang tinggi,
reformasi kepolisian sangat mungkin dipercepat. Dan Jenderal Tito tentu lebih
faham bagaimana strategi yang tepat untuk meraih tujuan besar itu: reformasi
kepolisian untuk merebut kepercayaan rakyat. Polri sebagai bagian dari kultur
bangsa yang sedang sakit sedang berlomba dengan waktu untuk segera
berbenah diri: reformasi total dan radikal. Tito sebagai Kapolri baru dan muda
sedang berada di tengah pusaran perubahan yang keritikal ini. Seluruh mata
bangsa dengan tajam mengamati langkah terobosan apa yang akan diluncurkan oleh
Kapolri kita ini. Kita semua menunggu dengan iringi do’a agar dia berjaya! []
REPUBLIKA,
19 Juli 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar