Integritas Pemilu
Oleh: Azyumardi Azra
”Elections can further democracy, development, human rights and
security, or undermine them. For this reason, promoting and protecting the
integrity of election is critically important. Only when elections are credible
can they legitimize governments, as well as effectively safeguard the right of
citizens to exercise their political rights.” (International IDEA, The
Integrity of Elections, 2012: 5)
Integritas pemilihan kepala daerah (pilkada) tampaknya dapat
terganggu. Hal ini terlihat dalam Pasal 9A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur, dalam menyusun
dan menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), KPU harus berkonsultasi
dengan DPR dan pemerintah. Konsultasi itu dilakukan dalam rapat dengar pendapat
yang keputusannya mengikat.
Ketentuan ini jelas membuat posisi KPU tidak lagi mandiri. Lembaga
penyelenggara pemilu ini tidak lagi dapat membuat peraturan mandiri yang
bersifat imparsial, netral, dan adil. Sebaliknya, ia terikat pada keputusan
konsultasi dengan DPR dan pemerintah yang memiliki kepentingan politik
masing-masing. Keadaan ini dapat memengaruhi integritas pemilu.
Di atas semua itu, ketentuan UU No 10/2016 itu tidak sejalan atau
bahkan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22E. Pasal itu menyatakan, ”Pemilihan
umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.”
KPU memandang perlu pengujian konstitusionalitas terhadap Pasal 9
UU No 10/2016 tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mempertimbangkan kenyataan
UU ini menjadi dasar pelaksanaan pilkada serentak 2017, MK dapat menyegerakan
penyelesaian perkara ini.
Legislasi pemilu
Terdapat kecenderungan di banyak negara—termasuk di
Indonesia—adanya legislasi atau UU yang ditetapkan parlemen atau DPR yang dapat
membatasi ekspresi demokrasi. Juga ada legislasi yang dapat mengancam
integritas pemilu dan pilkada. Padahal, seperti dikutip di awal, pemilu
seharusnya dapat memajukan demokrasi, pembangunan, hak asasi manusia, dan
keamanan, bukan memundurkannya.
UU No 10/2016 mengandung sejumlah masalah. Di antara beberapa
masalah pokok itu terkait dengan pembatasan kemandirian KPU dan juga
penyempitan munculnya calon perseorangan dengan verifikasi faktual yang sangat
memberatkan.
Adanya legislasi dengan kecenderungan seperti itu tak
mengherankan. DPR—yang menghasilkan UU bersama pemerintah—merupakan kumpulan
partai politik. Pihak eksekutif yang menduduki jabatan publik melalui pemilu
juga merepresentasikan kekuatan politik atau parpol tertentu. Karena itu,
mereka cenderung menetapkan legislasi yang dapat lebih menjamin kepentingannya.
Menghadapi kecenderungan seperti itu, tidak ada cara lain kecuali
menggugat konstitusionalitas UU terkait ke MK. Menyelesaikan perkara secara
final, MK sepatutnya mempertimbangkan masalah secara komprehensif, imparsial,
dan adil untuk penguatan demokrasi yang berintegritas dan sekaligus
kemaslahatan negara-bangsa.
Menegakkan dan menjaga integritas pemilu menjadi salah satu agenda
pokok dalam penegakan demokrasi, tidak hanya di negara-negara yang relatif baru
menerapkan demokrasi kompetitif—seperti Indonesia—tetapi juga di negara-negara
yang telah mapan demokrasinya. Namun, jelas, bagi negara yang masih
mengonsolidasikan demokrasi seperti Indonesia, penegakan integritas pemilu
merupakan tantangan berat.
Kenyataan bahwa Indonesia, menurut penilaian sejumlah lembaga
internasional, termasuk paling sukses dalam transisi dari otoritarianisme
menjadi demokrasi tidak menutup ada kecenderungan tergerusnya integritas
pemilu.
Apakah yang dimaksud dengan integritas pemilu?Laporan Global
Commission on Elections, Democracy, and Security, Deepening Democracy: A Strategy
for Improving the Integrity of Elections Worldwide (2012) menyatakan,
integritas mengacu pada keadaan tidak korup atau ketaatan kuat pada ketentuan
nilai-nilai moral.
Dalam konteks pemilu, Komisi Global menyebut integritas sebagai
”ketaatan pada prinsip-prinsip demokrasi”. Integritas pemilu juga berarti
sebagai ”penyelenggaraan pemilu secara kompeten dan profesional”.
Komisi Global menegaskan, ”integritas pemilu adalah pemilu dalam
tingkat apa pun yang diselenggarakan berdasarkan prinsip- prinsip demokrasi
tentang hak memberikan suara secara umum dengan kesetaraan politik seperti
tecermin dalam standar-standar internasional. Untuk itu, badan penyelenggaranya
(KPU) harus profesional dan transparan dalam persiapan dan pelaksanaan pemilu.
Dengan kerangka ini, Komisi Global menekankan, pemilu
berintegritas bisa terwujud sedikitnya dengan, pertama, penetapan legislasi dan
tatanan hukum lain yang menjamin ekspresi demokrasi yang bebas dan keadilan
elektoral. Kedua, penguatan manajemen penyelenggara pemilu (KPU) yang mandiri
sepenuhnya, profesional, kompeten dan kredibel sehingga berhasil mendapat
kepercayaan publik. []
KOMPAS, 19 Juli 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar