Upaya NU dalam Melestarikan Beduk
BEDUK adalah alat yang dipakai oleh kelompok
Islam bermazhab di Nusantara untuk menandai masuknya waktu sembahyang. Sejak
Islam datang ke Nusantara bedug sudah dipakai di hampir seluruh masjid,
sehingga biasa dijadikan tanda bagi para kelana akan adanya sebuah desa. (Lihat
Centini). Belum diketahuai asal usul alat ini, ada yang memperkirakan dari
Cina, atau India, tetapi ada yang merupakan kreativitas asli Nusantara.
Bentuk beduk berbeda beda ada yang berbentuk
bulat pendek seperti drum, beduk ini biasanya dibuat dengan kayu utuh yang
diameternya bisa mencapai dua meter, tetapi mengingat kelangkaan kayu saat ini
umumnya hanya berdiameter atau hingga satu setengah meter. Beduk model ini
bisasanya digantung di serambi masjid. Di kawasan Jawa Barat dan berapa tempat
di Sumatra beduk lebih mendekati bentuk kendang dengan bentuk memanjang, yang
dibuat dari pohon palem karena itu beduk ini tidak digantung, melainkan diberi
kaki.
Bedug hanya dipasang di masjid di samping
kentongan, sementara untuk langgar atau surau hanya menggunakan kentongan.
Kode-kode pemukulan beduk berbeda-beda, untuk memandai masuknya waktu
sembahyang biasanya dipukul sesudah memukul kentongan, di beberapa tempat hanya
waktu subuh dan maghrib yang ditandai dengan pemukulan beduk setelah memukul
kentongan baru setelah itu dikumandangkan adzan. Untuk sembahyang Isya’ dzuhur
atau ashar hanya dipukul kentungan. Beduk yang bagus bisa bersuara nyaring
sehinga terdengar bebera kilometer.
Ada beduk yang dipukul secara khusus,
biasanya untuk memandai akan masuknya hari Jum’at, maka pada Kamis Sore beduk
dipukul, sebagai pertanda malam Jum’at datang, peringatan untuk ziarah kubur,
untuk membaca tahlil di masjid dan untu dzibaan dan menjalankan ibadah lainnya
termasuk untuk mempersiapkan sembahyang Jumat besok paginya, sehingga memasuki
malam jum’at suasan sudah sangat khusu dan syahdu, hingga hany aktivitas
religius di malam itu.
Beduk dipukul secara khusus pada jam 12 siang
ketika matahari persis berada di puncak, pada jam dan detik itu orang
disarankan untuk istirahat, bahkan sembahyang pun dimakruhkan. Disarankan
beristirahat melakukan rileksasi agar selalu sehat dan damai jauh dari mara
bahaya. Karena itu orang tua seklalu mengingatkan pada anaknya “awas ini wayah
beduk jangan pergi-pergi, jangan nangkap ikan, atau jangan memanjat pohon nantu
jatuh”. Selang beberapa menit disebuit waktu lingsir (matahari sudah condong)
orang boleh melakukan sembahyang dzuhir dan beraktivitas lain.
Untuk menandai masuknya waktu sembahyang
beduk banya dipukul satu unggahan yang diawali dengan memukul pantek kayu di
bibir beduk itu sebanyak sembilan pukulan, lalu dilanjutkan dengan memukul
bagian kulit beduk sebanyak lima belas kali. Ini disebut satu unggahan, lalu
ditutup atau dipungkasi dengan kembali memukul pantek sebanyak tiga kali.
Sementara untuk solat Jumat beduk dipukul terus menerus mulai jam 11.30 hingga
12.00, beduk dipukul sekitar 12 unggahan secara berganti-ganti oleh kalanagan
muda yang telah mahir memainkan beduk, bagi yang belum bisa bisasnya belajar
menabuh melalui hari-hari biasa.
Beduk yang merupakan khazanah Islam Nusantara
sebagai pertanda masuknya waktu sehingga telah menyatu dalam budaya Islam itu
kemudian mendapat serangan dari kelompok Islam modernis. Kelompok itu menolak
beduk karena dianggap bid’ah karena tidak ada padaa zaman Nabi, karena itu
harus dihilangkan. Sementara para wali sangat aktif menggunakan peninggalan
masa lalau sebagai sarana pengembangan Islam termasuk beduk dan wayang dan juga
gamelan.
Maraknya gerakan Islam modernis mengakibatkan
beduk Pusaka yang ada di Masjid Kauman yang berada di lingkungan keraton
Yogyakarta terpaksa disingkirkan atas desakan Ahmad Dahlan sendiri. Sejak itu
Masjid kraton tampil hambar karena tanpa diiringi alunan beduk setiap masuk
waktu sembahyang. Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin Kalimanatan Selatan
1936 kembali mengukuhkan penggunaan Beduk dan kentongan, bahwa pemakaian kedua
alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam.
Dengan adanya keputusan itu serangan Islam modernis bisa dieliminir, dan
tradisi pemakaian beduk terus dipertahankan.
Pada masa orde baru ketika organisasi NU
mulai ditekan sementara Islam modernis mulai mendapat tempat, maka ”debedukisasi”
dilakukan, sehingga banyak beduk-beduk bersejarah yang hilang dan sebagian
besar digudangkan. Kemudian dikembangkan program speakerisasi, sehingga hampir
tiap masjid yang sudah dihilangkan beduknya diganti dengan memasang speaker di
menara atau di kubah. Hanya dilingkungan masjid Nu dan kelompok Islam bermazhab
seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya, atau mesjid yang
belum diambil oleh kelompok Islam modernis tetap memakai beduk. Hal itu menadji
petanda masjid yang dikelola oleh Islam bermazhab dengan Islam modernis yang
tidak bermazhab.
Berbeda dengan kelompok lain yang dalam
membuka acara resmi dengan memukul gong atau menggunting pita atau membunyikan
sirine. Maka kalangan NU dalam membuka acara resmi dengan menggunakan pemukulan
beduk, sementara beduk tidak bisa dipukul sembarangan tetapi memiliki irama
tertentu. Bahkan Soeharto ketika hendak membuka acara NU seperti Muktamar anatu
Munas harus mempelajari irama beduk. Tradisdi NU itu kemudian juga ditiru dalam
acara pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Wacana debedukisasi oleh
kalanagn Islam modernis dicounter kalangan NU dengan rebedukisasi, sehinga para
pejabat dari presiden hingga camat harus bisa menabuh beduk akalau ingin
mendapatkan akses ke lingkungan agama, hasilnya saaat ini beduk kembali dikenal
masyarakat.
Ketika diselenggarakan Festival Istiqlal
tahun 1994, seluruh benda dan seni budaya Islam akan dipamerkan. Tetapi ketika
akan mengadakan Festifal Islam ini tidak ada benda lain yang khas Islam
kecualai maunskrip kitab kuning, pusaka seperti tombak dan keris, termasuk
kentongan dan beduk. Bahkan beduk terbesar yang bergaris tengah dua meter dari
Masjid Jami’ Purworwjeo diarak dari Jawa Tengah di bawa ke Masjid Istiqlal
Jakarta. Benda pusaka yang masih selamat dan terawat itu mendapatkan
penghargaan luar biasa dari masyarakat yang memiliki kesadaran sejarah dan
apresiasi budaya.
Selain itu juga tradisi memuluk beduk
keliling saat lebaran yang dilakukan masyarakat termasuk kalangan Islam Betawi
di Jakarta juga mulai kembali masuk keliling kota. Dari situ kemudian diadakan
pesta beduk di Monas dan beberapa tempat lain. Bahkan kemudian diselenggarakan
Festival dan lomba memukul beduk. Yang oleh panitia disebutkan sebagai upaya
apresiasi terhadi tradisi. []
(A. Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar