Dengan Ini, Jumlah Pejabat
Dikurangi
Senin, 09 September 2013
Kementerian
BUMN menyederhanakan organisasi. Mulai 1 September lalu, satu kedeputian
dihapus. Jabatan setingkat direktorat jenderal itu hilang satu. Artinya,
jabatan-jabatan di bawahnya otomatis banyak berkurang.
Tiga
direktur (di Kementerian BUMN disebut asisten deputi) ikut hilang. Lebih banyak
lagi hilangnya jabatan-jabatan di bawahnya.
Total ada
40 kotak jabatan yang terhapus. Maka, dengan ini, jumlah pejabat di Kementerian
BUMN berkurang 20 persen. Selama ini banyak jabatan yang fungsinya tumpang tindih.
Inilah yang dirasionalkan.
Misalnya,
ada deputi restrukturisasi dan perencanaan strategis. Tugasnya merumuskan
konsep dan melaksanakan restrukturisasi perusahaan-perusahaan negara. Di pihak
lain ada BUMN yang tugasnya melaksanakan restrukturisasi perusahaan negara.
Yakni PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
PT PPA
dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang sudah dibubarkan. Aset-aset sitaan BPPN karena kredit macet selama krisis
moneter tahun 1998 yang tidak sempat diselesaikan oleh lembaga itu dilimpahkan
ke PT PPA. Belakangan kalau ada perusahaan negara yang sulit sekalian diminta
PT PPA untuk menyelesaikan.
Namun,
jalannya restrukturisasi sebuah perusahaan BUMN sangat lambat. Penyebabnya,
antara lain, perusahaan-perusahaan yang harus direstrukturisasi itu berada di
bawah kendali berbagai deputi lain. Maka, tindakan untuk merestrukturisasi
sebuah perusahaan harus melalui birokrasi yang panjang.
Dengan
perubahan terbaru ini, semua perusahaan yang akan direstrukturisasi dialihkan
ke bawah kendali deputi restrukturisasi dan perencanaan strategis. Tidak lagi
di bawah deputi teknis. Misalnya, PT Merpati. Dari segi pembinaan, ia berada di
bawah deputi bidang usaha logistik dan infrastruktur. Kini Merpati berada
langsung di bawah Deputi Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Wahyu
Hidayat.
Karena
lebih dari 15 perusahaan harus direstrukturisasi, deputi restrukturisasi yang
dulu tidak membawahkan satu pun perusahaan kini membina lebih dari 15
perusahaan. Maka, beban deputi yang lain menjadi ringan. Tentu, ini tidak baik.
Untuk itu, satu deputi dihapus. Tugasnya didistribusikan ke deputi yang sudah
lebih ringan tadi.
Mungkin,
kelak, satu deputi lagi bisa dihapus. Yakni kalau tugas merestrukturisasi
perusahaan sudah selesai. Itu berarti tidak perlu ada deputi restrukturisasi.
Kalau itu terjadi, jumlah pejabat di Kementerian BUMN akan berkurang 40 persen!
Kementerian
BUMN memang sangat kecil. Anggaran APBN-nya bukan triliunan, tetapi hanya Rp
140 miliar. Terkecil di antara kementerian yang ada. Urusannya memang tidak
banyak: membina 141 perusahaan BUMN. Kalau ditambah dengan anak-anaknya menjadi
sekitar 600 perusahaan.
Tahun
lalu anggaran itu pun tidak habis.
Dalam
sebuah rapat kerja, Kementerian BUMN sempat dikritik keras oleh yang biasa
mengkritik. Tidak mampu menyerap anggaran. Akibatnya, uang tetap berada di
Kementerian Keuangan.
Tahun ini
saya minta anggaran perjalanan dinas diturunkan lagi Rp 10 miliar. Semoga,
hehe, kali ini bisa habis.
Keinginan
melakukan reformasi birokrasi itu telah menjadi tekad seluruh jajaran
Kementerian BUMN sejak hari pertama saya menjabat sebagai menteri. Kebetulan,
para pejabat eselon satu Kementerian BUMN dulunya adalah aktivis mahasiswa.
Pada hari pertama bertugas sebagai menteri itu, saya kumpulkan seluruh eselon
satu.
“Kita
dulu aktivis mahasiswa kan?” tanya saya kepada mereka.
“Betul,” jawab mereka.
“Sekarang kita jadi pejabat tinggi kan?” tanya saya.
“Betul, Pak,” jawab mereka.
“Ingatkah waktu kita jadi aktivis dulu kita menuntut apa?” tanya saya lagi.
Maka,
kami daftar apa saja yang dulu kita perjuangkan: antikorupsi, reformasi
birokrasi, dan penegakan hukum.
Maka,
hari itu kami sepakat untuk tidak korupsi. Jangan sampai dulu berjuang melawan
korupsi ternyata setelah dapat jabatan korupsi juga. Banyak orang berteriak
antikorupsi hanya karena belum diuji oleh kesempatan dan jabatan. Mereka itu
akhirnya melakukan korupsi juga setelah mendapat jabatan dan kesempatan.
Kami
bertekad untuk tidak seperti itu. Kami berdoa semoga dikuatkan iman kami dari
ujian jabatan tinggi.
Kami juga
sepakat untuk melakukan reformasi birokrasi. Mumpung menjadi pejabat tinggi,
kami sepakat harus bisa berbuat sesuatu yang dulu hanya bisa kita
teriak-teriakkan di pinggir jalan. Jabatan tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Dalam hal
ini, saya pernah membuat kesepakatan dengan Pak Mahfud M.D. Waktu itu beliau
masih menjabat ketua Mahkamah Konstitusi dan sama-sama belum memikirkan soal
capres.
Beliau
mengibaratkan orang yang mendapat jabatan itu sama dengan hakim yang memegang
palu. Tidak boleh orang yang lagi memegang palu tidak menggunakan palunya.
Karena itu, mumpung memegang palu haruslah palunya digunakan.
Maka,
minggu-minggu pertama di Kementerian BUMN, kesibukan utama kami adalah
merancang reformasi birokrasi di internal kementerian. Karena saya tidak
berasal dari birokrasi, yang mengetuai adalah Wakil Menteri Mahmuddin Yasin.
Dia seorang birokrat tulen. Tetapi, dendamnya sama: ingin cepat-cepat melakukan
reformasi birokrasi.
Itulah
sejarahnya mengapa lahir Keputusan Menteri BUMN No 236 tahun 2012 yang
menghebohkan. Semangat reformasi birokrasi memang sangat tinggi waktu itu.
Seperti masih mahasiswa saja. SK itulah yang dianggap oleh DPR melanggar
peraturan. Tekanan politik untuk mencabutnya luar biasa.
Saya
memang agak mokong hari itu karena saya sadar sepenuhnya reformasi birokrasi
itu memerlukan keberanian. Logikanya, kalau aturan sudah baik, tidak perlu lagi
ada reformasi birokrasi.
Namun,
karena keributan memuncak, saya pun mundur satu langkah. Toh ada cara lain
untuk melaksanakan ide itu tanpa harus ribut-ribut di DPR. SK itu saya cabut.
Tetapi, esensinya tetap saya laksanakan. Banyak jalan menuju restoran.
Penghapusan
satu kedeputian kali ini pun bisa saja dinilai agak melanggar peraturan.
Tetapi, kami tidak menganggapnya begitu. Semoga tidak ada tekanan lagi kali
ini.
Kami
hanya ingin antara apa yang dulu diperjuangkan dan kenyataan di lapangan bisa
sejalan. Kami tidak mau masuk kelompok yang tidak berbuat sesuatu dengan alasan
“keadaan tidak memungkinkan” atau “peraturan tidak memungkinkan” atau
“ketakutan akan kehilangan jabatan tidak memungkinkan”. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar