Arus Balik Politik Ulama
Oleh: Aidil Aulya*
Peranan ulama dalam masyarakat dewasa ini
tidak bisa hanya dipandang dalam perspektif keagamaan saja. Ulama bisa menjadi
satu poros kekuatan dalam usaha percepatan civil society di Indonesia. Posisi
strategis yang diperoleh ulama tidak bisa dianggap karena mereka adalah tokoh
masyarakat dalam bidang religiusitas saja. Namun ulama dipandang sebagai sosok
yang menjadi penyejuk di tengah hiruk pikuk masalah hukum dan politik bangsa
ini.
Namun hal ini berubah tatkala konstelasi politik yang mulai masuk dalam arena pertarungan praktis. Posisi ulama yang seharusnya menjadi penengah panasnya konstelasi politik, bisa saja terseret dalam arus pragmatis yang ditawarkan oleh partai politik. Maka tidak heran apabila dalam mimbar atau pengajian keagamaan sekalipun, kita mendengar adanya mimbar politik tersembunyi. Pertanyaannya adalah, apakah ulama diharuskan berpolitik secara praktis, atau hanya menjadi penengah dalam kontestasi politik?
Pertanyaan itu bisa kita analisis menggunakan dua asumsi. Asumsi pertama, apabila ulama diharuskan berpolitik secara praktis, maka muncul stigma dalam masyarakat bahwa semua yang disampaikan oleh para ulama mempunyai muatan ideologi politik tertentu. Stigma negatif seperti ini wajar muncul karena kontestasi politik tidak mengenal win-win solution, yang ada hanya win-win. Sama halnya ketika seorang petarung memasuki kolosium untuk bertarung, maka yang terpikirkan adalah cara untuk menang.
Nah, saya mengibaratkan kontestasi politik merupakan sebuah kolosium pertarungan yang hanya memikirkan bagaimana caranya untuk menang. Dalam konteks asumsi yang pertama seperti ini, bisa saja seorang ulama menggunakan logika-logika agama untuk membawa mainstream ideologi kepentingan politiknya.
Dalam sejarah nusantara sebagaimana yang ditulis oleh Azyumardi Azra dalam disertasinya, bagaimana seorang ulama besar, Abd Rauf al-Sinkili dituduh melakukan kompromi integritas intelektual keagamaannya ketika ditanya tentang kepemimpinan perempuan, namun dia tidak menjawab dengan jelas. Jawaban yang tidak jelas dari Al-Sinkili karena berhadapan dengan sAaceh yang pada waktu dipimpin oleh seoaran Sulthanah Zakiyyah al-Din. Artinya al-Sinkili tidak mau memberikan jawaban secara jelas karena itu berhubungan dengan keadaan politik yang dipimpin oleh seorang perempuan. Namun hal ini, bisa juga dipahami sebagai betapa moderatnya pemikiran al-Sinkili. Sekali lagi, apabila ulama langsung masuk dalam politik praktis, maka skeptisasi masyarakat terhadap fatwa ulamapun akan terjadi.
Asumsi kedua adalah, apabila ulama hanya berfungsi sebagai poros penengah dalam kancah kontestasi politik, maka keadaan perpolitikan akan menjadi kering karena diisi oleh kecendrungan mainstream politik yang sama tanpa ada pembeda. Dalam dua asumsi yang sama-sama tidak menguntungkan ulama ini, maka harus ada solusi cerdas. Sebenarnya dalam kilas balik sejarah Indonesia, dua asumsi yang kita gunakan ini langsung terbantahkan. Ulama mempunyai peranan politik yang sangat vital dalam penyusunan dasar negara. Misalnya adalah peranan yang dipegang oleh KH. Wahid Hasyim dan H. Agus Salim. Mereka adalah ulama yang berpolitik dengan integritas kellimuan dan kemapanan pemahaman yang menjadi mainstream penyejuk di tengah panasnya arus perbedaan pendapat yang terjadi.
Belajar dari NU
Baru-baru ini Rapat Pleno PBNU di Situbondo, mengeluarkan beberapa rekomendasi yang saya pikir merupakan sebuah cikal bakal arus balik politik ulama. Sebuah rekomendasi yang menurut saya penting untuk dijadikan pelajaran bagi semua organisasi berlatar belakang pendidikan keagamaan masyarakat. Salah satu fokus dalam rekomendasi tersebut antara lain menyatakan, pengurus NU yang terlibat dalam politik praktis, harus mundur dari jabatannya di Internal NU. Hal ini bertujuan untuk menjaga NU dari keterlibatan secara intstitusional dalam politik praktis.
Saya berkeyakinan bahwa hal ini merupakan salah satu ijtihad NU untuk mengembalikan peranan ulama dalam membantu percepatan pembentukan masyarakat madani di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena dalam tahun politik seperti sekarang, banyak ulama yang menggunakan corong mesjid dan mimbar dalam memuluskan suksesi politik partai tertentu.
Dari segi kelas sosial, sebenarnya ulama merupakan figur elit. Elit masyarakat harusnya menggunakan cara yang elegan dan memakai politik level tinggi (high level politic). Sedangkan suksesi politik yang hanya mengandalkan nama besar organisasi dan menstimulus massa dengan logika agama, menurut saya pribadi, adalah gaya politik kelas bawah yang membuat masyarakat antipati.
Ketika seseorang ulama, katakanlah salah seorang pengurus ormas keagamaan masuk dalam ranah politik praktis, maka orang tidak hanya memilih berdasarkan standar logika, tokoh tersebut adalah pemimpin di Ormas. Pilihan masyarakat bisa diarahkan dalam logika yang lebih rasional, karena kapabilitas dan integritas ulama tersebut. Sikap NU yang ingin meminimalisir politisasi agama, dalam bentuk politisasi lembaga-lembaga keagamaan seperti ini bisa menjadi pemicu lahirnya politisi kelas tinggi yang berasal dari kalangan ulama. Tanpa harus menumpang ketenaran dari organisasi keagamaannya.
Hal ini menarik untuk kita tunggu, apakah rekomendasi ini bisa menjadi pelajaran bagi organisasi keagamaan lain, guna menjernihkan peran pemberdayaan umat dari politik. Tidak hanya organisasi keagamaan, LSM dan organisasi sosial lainpun harus mulai berani membuat kebijakan, pengurus yang terlibat dalam politik praktis, harus mundur dari jabatannya di lembaga non politis tersebut. Hal ini sangat penting, karena kecenderungan realitas yag terjadi sekarang adalah orang berlomba-lomba mendirikan organisasi sosial, keagamaan, LSM, dan lain-lain kemudian organisasi tersebut berevolusi menjadi partai politik.
Mudah-mudahan ini menjadi arus balik bagi munculnya kekuatan politik ulama. Berpolitik dengan mengeluarkan gagasan-gagasan kebangsaan dan ide-ide cerdas dan tidak mengandalkan basis massa organisasi agama non politis sebagai hidden agenda politik praktis. Bukan tidak mungkin, akan lahir KH. Wahid Hasyim dan H. Agus Salim yang baru dalam kancah politik hingar bingar seperti sekarang sebagai penyejuk.
*Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Aktivis PMII Kota Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar