Haji:
Peristiwa Agama dan Peristiwa Budaya
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Haji Beneran dan Rasa Haji
Ini
adalah tulisan tentang haji dari seorang yang belum pernah naik haji, bahkan
belum pernah sekedar mendapat oleh-oleh air zamzam. Oleh karenanya, penulis
memohon maaf atas kelemahan mendasar dari tulisan ini.
Taraf
saya masih semacam Haji Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng ada di Sulawesi. Pada
musim haji, sejumlah orang Islam mendatanginya dan melakukan sejumlah ritus
seolah-olah mereka sedang benar-benar menjalankan ibadah haji.
Tentu
saja secara ‘syar’i, yuridis formal’, mereka tak bisa dianggap telah berhaji.
Tapi sekurang-kurangnya mereka memperoleh kemungkinan ekonomi untuk
sungguh-sungguh berangkat ke Tanah Suci yang asli.
Alhamdulillah,
Islam punya kecenderungan besar untuk memudahkan pemeluk-pemeluknya. Kalau tak
sanggup berdiri dalam menjalankan shalat, boleh duduk. Kalau tak bisa duduk,
silahkan berbaring. Begitu juga haji.
Sementara
ini ‘pangkat’ saya barulah penggembira, ikut bahagia ada fenomena peribadatan
bernama haji. Ikut senang banyak orang berbahagia naik haji. Ikut bergembira
dan menginternalisasikan — secara ‘platonis’ — ide-ide, gagasan, metode,
tarikan, modus, serta pengembaraan rohaniah yang sedemikian total mewahidkan
tiga dimensi esensial kehidupan manusia: kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Haji
adalah — atau kita sebut: semestinya — puncak totalitas penyatuan antara tiga
dimensi itu, yang diperjuangkan oleh kehidupan manusia. Haji lebih dari sekedar
efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi: juga
lebih dari sekedar ‘romantisme pengembaraan kultural’. Bukan aksesori keperluan
politik, status dan kebanggaan sosial.
Adapun
saya, tergolong di antara ratusan juta ummat Islam yang belum atau tidak pernah
naik haji, sehingga hanya bisa ‘menabuh beduk’ dari kejauhan: Betapa benar
mauatan inisiatif-Mu ya Allah. Betapa baik kandungan anjuran-Mu, ya Allah.
Labbaika allahumma labbaik!
Nyayian
cinta, lagu-lagu rindu, yang dilantunkan oleh jutaan hamba-Mu di tanah suci
pada hari-hari haji, ditampung oleh ribuan malaikat dan diangkut ke langit,
diserahkan kepada-Mu dengan deraian air mata syukur. Adapun Engkau abaikan
kami-kami yang belum atau tidak sanggup berangkat ke rumah-Mu?
Padahal
rasa rindu kami terlebih-lebih dari berlipat-lipat karena jarak ketidakmampuan
kami. Padahal kalau saudara-saudara kami di tanah suci-Mu meneriakkan nama-Mu,
kami memekikkannya. Di dalam kejauhan jarak ini tangis kami adalah hujan sunyi
yang hanya Engkau belaka yang sanggup mendengarkannya. Jadi bolehlah kiranya
dari rumah melarat di kampung kami sendiri, kami mendendangkan lagu Labbaika
allahumma labbaik! Labbaika allhumma labbaik! Labbaika la syarika laka labbaik!
Haji Dan
‘Tarian’ Sunnatullah
Haji
adalah sebuah kemewahan ekonomi, bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari
Tanah Suci. Tatkala para penempuh haji berpakaian ihram, mereka ‘melompat’ naik
ke taraf transendensi budaya: menanggalkan status sosial, kedudukan,
tingkat-tingkat jabatan dan profesi. Metode itu membawa manusia kembali ke
kefitrian, ke otentisitas dan kesejatian dirinya.
Pada
pengalaman berhaji, mungkin seseorang menjadi mengerti bahwa jati diri bukanlah
to be pada tataran-tataran sosial-budaya, sebab itu semua hanyalah cara atau
jalan menjadi seseorang, sesuatu atau ‘aku’ yang lebih sejati, lebih
kualitatif, atau lebih berorientasi ke universalitas nilai ‘Aku primer’ manusia
bukan ‘aku pedagang’, ‘aku partai’, ‘aku status sosial’: sebab puncak dari
semua jenis ‘aku’ tersebut pada akhirnya adalah aku manusia.
Di dalam
Islam, ‘aku manusia’ meningkatkan dirinya menjadi aku ‘Abdullah’ atau ‘aku
hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku
khalifatullah’ atau ‘aku wakil Allah’, kemudian meningkat atau lebih menginti
lagi.
Ketika
mereka berputar mengelilingi Ka’bah, yang mereka lakukan seolah-olah adalah
tarian sunnatullah: gerakan pada inti atom atau sel, atau koreografi
bintang-bintang, planet dan satelit; yang pada perspektif kesadaran local manusia
hal itu menciptakan ikhtilafillaili wannahar, pergantian siang dan malam.
Haji dan
Esensialisasi Diri
Dan
tatkala para hamba Allah itu bersujud, yang mereka sembah bukanlah Ka’bah,
melainkan merupakan simbolisasi ahad dan wahid. Ahad itu satu-Nya Allah, dan
wahid itu penyatuan semua kuantitas indidividu manusia dan keummatan manusia,
serta semua sistem kualitas nilai dirinya, pada satu mata air, yang menjadi
sumber dan sekaligus muara segala sistem eksistensi.
Proses
penegakan ‘ahad’ dan penempuhan ‘wahid’ itu disebut tauhid. Proses penyatuan.
Menyatukan diri dengan Allah. Proses penyatuan diri dengan Allah itu ditempuh
melalui metode transdimensi: status sosial, kedudukan budaya, bahkan pada
akhirnya unsur biologis manusia harus ditanggalkan, karena ia bersifat sangat
relatif dan temporer.
“Barangsiapa
mendambakan kesatuan dengan-Ku, hendaklah ia berbuat baik….”, dalam pergaulan
sehari-hari, melalui lembaga, partai, birokrasi dan apapun, meski dalam bentuk
yang seolah-olah ‘non-agama’. Artinya, pertemuan dengan Allah tidak dalam
keadaan biologis dan budayawi, melainkan ketika kita telah menjadi cahaya
rohani, yakni telah menjadi inti perbuatan baik itu sendiri.
Ibadah
shalat, puasa dan haji, juga landasan syahadat — kesadaran dan ikrar eksistensi
manusia — adalah juga metode pengatmosfiran diri menuju kesadaran ‘ahad’ dan
‘keberadaan’ ‘wahid’. Namun peristiwa haji adalah kemewahan, adalah puncak dari
segala kemungkinan semacam itu.
Dengan
itu semua saya membayangkan bahwa menjalankan ibadah haji adalah kesempatan
‘mencicipi’ peristiwa pencintaan langsung dengan Allah, melalui sejumlah
tahapan sublimasi, kristalisasi dan universalisasi dan esensialisasi diri.
Bermilyar-milyar
kekasih Allah adalah penari-penari dan Allah adalah pusat tarian agung di mana
Ia berkata — “Kalian kekasihku, semua kalian kekasihku, mendekatlah,
mendekatlah kemari, berkerumunlah di seputarku. Akan kutaburi wajah kalian
dengan cahaya sehingga seluruh keberadaan kalian akan bergelimang cahayaku. Dan
nanti akan kubukakan wajahku, agar kalian melihat betapa indahnya Aku….”
Dengan
demikian mestinya haji adalah produk dari proses kualifikasi diri seeorang
muslim yang ditempuh melalui rutinitas intens peribadatan-peribadatan yang
lain, seperti shalat, zakat, puasa, dan — tentu saja — pada mulanya ikrar
syahadatain.
Syahadat
memfokuskan diafragma idealisme hidup. Shalat mencahayai kejernihan.
Obyektivitas akal, keseimbangan mental, ketulusan hati dan ketenteraman jiwa.
Zakat melatih kesadaran bahwa “susu kambing harus diperah untuk anak-anaknya
atau makhluk lain”, karena dalam harta yang kita miliki terdapat milik orang
lain. Puasa membuat manusia jadi pendekar kehidupan. Dan haji adalah madu dari
semuanya.
Madu
bukan makanan bukan minuman: di antara keduanya. Haji pun adalah titik sublim
dari seluruh proses peribadatan dan tradisi baik manusia. Maka apakah haji
seseorang mabrur atau tidak, jawaban pastinya ada di tangan Allah, karena dia
yang punya otoritas tunggal untuk menerima atau menolak.
Tapi
gejala kemabruran haji seseorang, bayangannya, pantulannya, barangkali bisa
dijumpai pada output sosial seorang haji. Pertanyaan itu sederhana: apakah
sesudah haji, ia adalah madu bagi tetangga-tetangganya, bagi orang lain, bagi
masyarakat, bangsa dan negara?
‘Menjadi
madu’ itu punya kemanfaatan sosial, produktif dan kreatif bagi kemaslahatan
umum. Dalam hal ini saya tidak bersedia ‘ngrasani’ tentang kualitas madu
haji-haji kita. Kaum haji adalah tingkat manusia yang semestinya paling pandai
bercermin diri.
Haji dan
Kesusahan
Tetapi
dengan perspektif itu kita masing-masing bisa kembali mengevaluasi. Misalnya
seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman haji seorang merupakan peristiwa
agama. Dan seberapa jauh ia ‘hanya’ merupakan peristiwa sosial.
Kalau
seorang ‘gugup’ menaruh gelar haji di depan namanya, ia semata-mata kasus
sosial, bukan kasus agama. Apalagi kalau berhaji diinstrumentalisasikan untuk
kepentingan politik pribadi, untuk aksesoris kultural, atau untuk menambah
‘peci’ reputasi.
Kita yang
naik haji dengan fasilitas mewah, tentu identitas dan ragam pengalaman batin
kita akan kalah dengan dibanding nenek moyang kita yang berhaji berbulan-bulan
dengan kapal. ‘Penderitaan’ dalam perjalanan haji secara psikologis bias
merupakan ‘asset’ dari kualitas penghayatan ibadah haji, meskipun agama tidak
menganjurkan agar Anda hidup untuk mencari penderitaan.
Tetapi
saya tidak tahu apakah kalau penderitaan para jamaah haji itu ‘disengaja’ oleh
berbagai keputusan birokrasi resmi perjalanan haji — dari standar harganya yang
makin tidak meringankan hingga jenis-jenis korupsi kecil-kecilan yang besar
yang lain — akan membuat para birokrat kita memperoleh pahala. Hanya karena
tindakan mereka bisa memungkinkan intensifikasi penghayatan kehajian para jamaah.
Tetapi
saya memang pernah mendengar isi pidato birokrat haji: “Kalau saudara-saudara
mengalami kesusahan-kesusahan selama proses akan naik haji, ambillah hikmahnya,
karena di Tanah Suci nanti akan ada kesulitan yang lebih besar dan serius….”
Haji dan
Kiai
Kadar
peristiwa haji sebagai pengalaman agama dan pengalaman sosial biasa, mungkin
bisa kita cari indikatornya juga dari makna sosiologi haji dengan kiai.
Ada
ratusan ribu haji dan kita bisa ‘melupakannya’, sementara ada tidak banyak kiai
namun kita tak bisa melupakannya. Secara kultural kiai lebih ‘berwibawa’ dan
lebih menjanjikan kualitas hidup dibanding haji. Padahal haji adalah produk
agama, sementara kiai adalah produk masyarakat.
Kalau
seseorang disebut haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia pernah melakukan
ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi kalau seseorang disebut kiai, ada berbagai
dimensi yang dikandungnya: kesalehan, kepandaian, kealiman, kepribadian, dan
mungkin juga kepemimpinan atau kapasitas-kapasitas fungsi dan reputasi sosial
tertentu, yang mungkin sama sekali tak terasosiasikan ketika seseorang disebut
haji.
Kenapa
secara sosiologis haji ‘kalah wibawa’ dibanding kiai? Kenapa syarat dan
konvensi keulamaan seseorang lebih diwakili idiom kiai dibanding haji? Kalau
disebut H. Bur, tak begitu terdengar di telinga. Tapi kalau ditambah menjadi
KH. Bur, baru orang mendongak. Kenapa?
Mungkin
karena pada umumnya pengalaman haji berposisi diskontinyu dan mungkin irrelevan
dengan tahapan-tahapan peningkatan kualitas kepribadian seseorang melalui
proses Islamisasi diri dalam kehidupan nyata. Mungkin. []
Arsip dan
dokumentasi Progress. Pernah dimuat di Majalah MATRA No 71, Juni 1992, halaman
68-69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar