Rupiah
dan Dajjaliyah
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Tulisan ini tidak mengupas soal
gejolak rupiah. Saya belum gendheng. Bukan saja karena bukan ahli ekonomi.
Bahkan benar-benar saya tidak mengerti ekonomi. Pahamnya saya kasih duit dua
ribu rupiah, dapat sebungkus rokok.
Yang saya
lakukan justru menyodorkan sejumlah paket kepada sampeyan, koen, peno, ndiko,
riko, panjenenganipun maupun awakmu, untuk dirasani, digunjing-gunjingkan di
warung, didiskusikan, kalau sempat.
Kalau
tidak ya biarkan saja, wong diskusi sampeyan-sampeyan ini tidak akan memperkuat
atau memperlemah kekuatan bargain rupiah terhadap dolar maupun terhadap mata
uang kerajaan Ratu Bulkis sekalipun. Meskipun sampeyan diskusi sampai mblenek
dan bengok-bengok sampai tenggorokan mencolot, rupiah akan tetap dengan
iramanya sendiri, di mana kaitannya dengan sampeyan hanyalah bahwa sampeyan ini
terkena akibatnya. Di negeri dan di dunia ini sampeyan bukan subjek, melainkan
objek. Sampeyan jadi subjek hanya dalam menentukan hal-hal remeh-remeh, serta
dalam kosmos mimpi sampeyan sendiri.
Hanya
saja saya jamin rupiah tidak akan sampai ke posisi mata uangnya Ashabul Kahfi,
yang tertidur selama 309 tahun sehingga ditertawakan orang di seluruh pasar
dunia tatkala hendak dipakai untuk menjadi nilai tukar.
***
Paket
yang saya sodorkan itu misalnya begini.
Pertama,
kalau mau tanya soal grafik “harga diri” rupiah di tengah dunia persilatan
ekonomi global — jangan hanya temui Pak Saleh Afif, Pak Mar’ie Muhammad, Pak
Sudradjad Djiwandono. Jangan pula malah menanyakan ke Majlis Ulama atau Lajnah
I’lai Darrojati Rubiah organisasi Islam manapun.
Tanyakan
juga kepada Kepala Negara Dajjal yang batas kekuasaannya tidak dihalangi oleh
garis perbatasan geografis dan politis apa pun.
Dajjal
bukan dunia fantasi. Bukan science fiction. Bukan mitologi. Bukan klenik. Bukan
metafora bahasa agama — meskipun memang sampeyan perlu shalat kasyful hijab dua
rakaat untuk memohon berjumpa dengan Baginda Sulaiman ‘alaihissalam — untuk
mendapatkan informasi dan wacana mengenai tugas-tugas dan strategi global
Dajjal di bumi.
***
Lebih
jelasnya, kedua, terbanglah juga ke kantor-kantor rahasia negeri dan millennium
israiliyat, yang berpusat justru tidak di Timur Tengah yang ribut melulu di
dunia maupun akhirat. Melainkan di balik meja-meja dan di bawah taplak-taplak
kantor pemerintahan negara adikuasa, semi adikuasa, maupun yang rela ataupun
tak rela menjadi pekatik-pekatik dari keadikuasaan mereka.
Anda
tidak cukup hanya berpikir ada spekulan, ada petualang, ada
kecurangan-kecurangan tersembunyi di mana negeri-negeri Asia Tenggara
di-plekotho kali ini, sehingga Bung Mahathir yang berani gagah itu
menantangnya. Harus diperjelas piranti lunak dan piranti keras daulah mereka di
muka bumi ini, yang tidak pernah disebut-sebut oleh koran dan segala macam
media massa.
***
Ketiga,
kita digangguin dan dirongrong dari luar, tapi kita juga mengganggu dan
merongrong diri kita sendiri.
Kita ikut
mengizinkan konglomerasi sampai ke titik sangat optimum, yang hampir sama
sekali tidak memungkinkan penataan kesejahteraan nasional yang adil dan maksimal.
Kemudian di-kemplang dengan tak bisa dielakkannya milik-milik mereka ke
mancanegara.
Untung
Tuhan bikin alam negeri ini kaya-raya, termasuk “kearifan kultur kemiskinannya
di antara rakyat” sedemikian rupa sehingga masih bisa dihindarkan situasi
collapse nasional.
Itu pun
sesungguhnya kita masih memiliki sangat-sangat banyak warisan harta dari tokoh
nasionalis zuhud yang menjadi kekasih pertama bangsa Indonesia. Tanyakan kepada
tetanggamu hal-hal mengenai Dana Ampera (jangan dijerumuskan oleh istilah “Dana
Revolusi” yang memang dipasang untuk mengelabui pengetahuan dan perhatian
Anda).
Sekurang-kurangnya
cari tahu siapa itu yang rampal untune di sebuah kota kecil di tengah-tengah
sana gara-gara bersumpah seperti “Bilal” di depan Umayyah — tidak akan bersedia
melepaskan warisan yang (sebagian) diamanatkan ke genggaman tangannya untuk
dibagi 60% untuk “penodong resmi”-nya dan hanya 40% untuk rakyat kecil.
***
Panjang
kalau saya teruskan. Sekarang sudah jam 22.45. Hampir deadline. Tulisan ini saya
persingkat.
Paketnya
saya tambahi satu lagi saja: bagi orang-orang yang tidak begitu punya rupiah
seperti sampeyan dan saya, naik turunnya maqam rupiah sebenarnya akan berakibat
mirip-mirip saja. Rupiah naik kita yang menderita. Rupiah turun ya menderita.
Pokoke
bekupon omahe doro, melok Kliwon tambah sengsoro. []
Arsip dan
Dokumentasi Progress.
Tulisan
ini dipubilkasikan di Harian Jawa Pos, 24 Agustus 1997, dengan tajuk: Analisis
“Moneter Ashabul Kahfi” Emha Ainun Nadjib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar