“Gus Dur”
di Rumah Sakit
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Saya doakan semoga Allah berkenan
meningkatkan rasa sayangnya kepada bangsa Indonesia, sehingga selama masa
kampanye dan pemilu ini korban nyawa, harta, tenaga, pikiran, biaya dan ati
kepangan tidak usah membengkak ke tingkat yang terlalu sia-sia.
Umat
manusia di negeri zamrut wa yakut katulistiwa ini sedang kungkum dan bergelut
dalam kotak-kotak kecil sempit berisi cairan tiga warna. Saya memilih bagian
yang mendoakan tetap hidupnya ukhuwah kemanusiaan, tetap terawatnya
nasionalisme, akal sehat kebangsaan, serta nurani dasar sebagai makhluk ciptaan
Allah.
Nanti
kira-kira tiga hari sebelum masa kampanye habis, kalau Allah memperkenankan —
semoga mampu saya utarakan pendapat transparan saya sebagai warga negara
Indonesia tercinta mengenai bagaimana sebaiknya orang kecil atau rakyat umum
ngringkes wawasan dan membersahajakan gagasan agar menemukan pilihan yang
terbaik di antara semua yang belum tentu baik.
Tapi
hari-hari ini saya berdoa saja, meskipun tidak bisa dijamin bahwa doa saya
lebih maqbul dibanding teman-teman lain yang hidupnya lebih sengsara dibanding
saya, misalnya, kawan-kawan tukang angkut barang, kuli, pemulung, serta yang
lain-lain.
***
Saya
merasa sedang “disuruh mengantarkan barang” yang banyak orang semakin tidak
membutuhkannya, padahal gratis.
“Barang”
itu adalah kepercayaan terhadap doa, manajemen barokah, produk la-azidannakum
yang tak tersangka-sangka dari setiap kejujuran hati kita, keadilan pikiran
kita, serta kemurnian sikap dan perilaku kita. Juga sebaliknya: produk inna
‘adzabi lasyadid yang juga tak terduga-duga dari kecurangan pikiran, kotornya
kalbu, atau adigang adigung adiguna-nya sikap kita kepada sesama manusia.
Di atas
semua itu, benar-benar semoga Allah jangan sampai memaparkan di langit ayat
“wallahu khoirul makirin”, gara-gara kita makar terhadap kebenaran, kefitrian,
ketulusan, dan kejujuran hidup.
Demikianlah
pengajian ndeso seorang mudin tiban dan darurat….
Seminggu
lebih saya menunda kepulangan dari Jakarta ke Yogya gara-gara mendapatkan
tugas-tugas mendadak menjadi mudin. Awalnya, Galang rambu Anarki, putra sulung
Iwan Fals, dipanggil Allah. Besoknya, pada dini hari, menurut keluarga Iwan,
datang tiga lelaki dari Jombang tak dikenal, tapi wajah-wajah mereka mirip saya
semua. Datang entah pakai kendaran apa di rumah yang begitu keslempit dan susah
dicari. Datang jauh-jauh dari Jawa Timur untuk mendoakan Galang dan menenangkan
hati keluarganya.
Muncul
sangkaan yang aneh-aneh, sehingga besoknya saya datang untuk tahlilan. Tapi,
kedatangan saya yang juga tak mereka sangka-sangka itu malah menyempurnakan
sangkaan mereka, padahal tiga lelaki itu sekadar mirip saya.
Sudahlah,
yang penting saya ikut bertahlil. Pada tujuh harinya saya datang tahlilan lagi.
Dan ternyata, tiap malam tugas saya di sekitar itu: tahlilan, yasinan,
ta’ziyah. Kemudian diajak merintis “terbangan”. Kemudian ngaji al-Hasyr untuk
nyonya sutradara sinetron yang kandungannya sudah lewat hampir tiga minggu,
tapi bayinya belum turun juga. Esok malamnya dimasukkan ke acara nyleneh:
shalawatan bareng-bareng pakai keyboard. Esok malamnya lagi saya “rampok” Gus
Mustafa Bisri agar mengimami sebuah jamaah badan usaha, agar perusahaannya
bermanajemen horizontal-vertikal alias kalkukasi dunia akhirat.
Lantas,
kalau siang berjam-jam di rumah sakit. Ada kawan lama yang enak-enak melangkah
ke luar pintu rumahnya mendadak ada colt nyelonong. Ia terlempar, ambruk,
kepala retak, darah mengucur — alhamdulillah cuma gegar otak ringan — dan
selama dalam keadaan “koma” terus memanggil-manggil saya. Ya Allah, segala puji
bagimu, ada juga orang yang mengasihi saya, meskipun hal itu baru mereka sadari
kalau sudah tak berdaya.
Kawan
yang sakit ini berhari-hari belum sadar. Tapi, syukur bawah sadarnya bisa saya
ajak bercanda. Kemurnian isi hati dan pikirannya saya tampung dengan
kelakar-kelakar yang menggembirakan. Ia mengigau “Pancasila Yes! Pancasalah
No!”
Saya
tanya, apa itu pancasalah?
Ia
menjawab “Keuangan yang mahaesa, kemanusiaan yang serakah dan tidak beradab,
perseteruan Indonesia….”
***
Ketika
saya asyik bercanda dengan sang pasien, tiba-tiba seorang sahabat masuk dan
lapor: “Cak, Gus Dur ingin ketemu!”
“Lho Gus
Dur?”
“Ya!
Beliau ngamar di sebelah sana! Dia harus disuplai darah terus, dan sekarang
sedang kesulitan cari darah….”
Saya
langsung cium pasien sahabat kita itu dan loncat berlari. Sampai di kamar yang
dimaksud, ternyata memang bertuliskan “Abdurrahman Wahid”. Saya masuk. Puluhan
orang ngumpul dalam suasana penuh keprihatinan.
Ketika
saya lihat ke ranjang, saya menghela napas panjang. Tapi saya tidak mau banyak
cincong. Langsung saya cium kedua pipi dan kening beliau, kemudian mengangkat
tangan, ber-washilah doa. Saya bukan siapa-siapa, saya hanyalah salah satu debu
hasil ciptaan-Nya, yang sekecil apa pun diberi hak oleh-Nya untuk Ia dengarkan
dan siapa tahu Ia kabulkan.
Saya
berdoa panjang. Tangis meledak. Kemudian sampai lama saya tidak tega
meninggalkan ruangan itu, meskipun Abdurrahman Wahid yang terbaring di situ
bukan yang ketua PBNU, melainkan seorang kiai kecil asal Gresik yang sudah 18
tahun di Jakarta.
Teman
saya si pelapor itu benar-benar prima aktingnya.
Arsip dan
dokumentasi Progress. Tulisan pernah dimuat di Harian Jawa Pos, 8 Mei 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar