Yang Sulit-sulit Bisa, yang Mudah
Sulit
Senin, 16 September 2013
Salah satu yang tersulit dalam
memproduksi peralatan berat di bidang listrik adalah membuat trafo 500 kv.
Bulan depan Indonesia sudah mampu memproduksinya. Belum banyak negara yang
mampu membuat alat jenis itu. Di seluruh ASEAN baru Indonesia yang mampu.
Maka
Indonesia bisa segera masuk peta dunia yang memiliki prestasi teknologi
kelistrikan.
Memang
bukan BUMN yang mengerjakannya, tapi BUMN yang merangsangnya. Tiga tahun lalu
Indonesia baru bisa memproduksi trafo 20 kv. Saya, yang ketika itu mulai menjabat
Dirut PLN segera minta agar pabrik trafo tersebut segera meningkatkan kemampuan
untuk memproduksi trafo 150 kv.
Tahun
lalu Indonesia naik kelas lagi dengan memproduksi trafo 275 kv. Menjelang
mengakhiri masa tugas di PLN saya minta ada produsen yang menjadi pelopor
membuat trafo 500 kv. Permintaan saya itu ternyata direspons sungguh-sungguh
oleh PT CG Power Bogor. Bulan depan lahirlah trafo 500 kv made in Indonesia.
Sebuah
trafo 500 kv harganya sekitar Rp 40 miliar. Bahkan sebelum saya menjadi Dirut
PLN harga sebuah trafo jenis itu mencapai Rp 120 miliar. Dunia kelistrikan
heboh. Pertanyaan sering diajukan kepada saya: bagaimana bisa membuat harga
sebuah trafo turun drastis seperti itu?
Caranya
gampang. Sebagai orang yang dulunya sering ke luar negeri, saya tahu berapa
harga trafo sejenis di sana. Nur Pamudji, direksi PLN yang paling muda
(sekarang Dirut PLN) bahkan langsung membandingkannya dengan harga trafo di
Vietnam. Tiap hari kami membicarakan mengapa harga trafo di Indonesia begitu
mahal. Akhirnya ketemu: sistem tendernya yang membuat mahal.
Maka
begitu sistem tendernya diubah harga trafo langsung anjlok: tinggal 30
persennya!
Sejak itu
direksi PLN rajin mengubah sistem pembelian. Termasuk sistem pembelian yang pro
produksi dalam negeri. Alat seperti kWh meter (meteran), kabel, trafo 20 kv,
dan seterusnya disistemkan harus produksi dalam negeri. Caranya: dalam tender
memang sudah disebutkan harus produksi dalam negeri.
Saya pun
sering menerima laporan yang sangat menggembirakan: pabrik-pabrik travo, kWh
meter, kabel, dan seterusnya kewalahan. Mereka sibuk sekali memenuhi order.
Sampai-sampai harus kerja tujuh hari seminggu.
Kebijakan
seperti itu terus dilakukan di PLN. Saya tentu ingin seluruh BUMN memiliki
kebijakan pembelian yang mengutamakan produksi dalam negeri. Hal itu bisa
ditempuh dengan cara membuat sistem tendernya memang mensyaratkan itu.
Bagaimana
kalau di dalam negeri produsennya hanya satu? Bukankah akan lebih mahal? Karena
tanpa pesaing?
Ada cara
yang bisa dilakukan. Yakni sistem cost-plus atau cost-plus-plus. Pabrik
tersebut harus mau diaudit mengenai struktur biaya produksinya. Lalu diperiksa
harga-harga bahan bakunya. Harga bahan baku tidak bisa di-mark up. Produsen
memang pandai tapi kita tidak boleh bodoh. Itulah prinsipnya.
Jangan
memberi peluang pemasok menyembunyikan harga pokok. Dengan demikian kita akan
tahu berapa harga beli yang wajar.
Kita ini
sebenarnya tidak bodoh, tapi sogok-menyogoklah yang sering membuat orang pandai
tiba-tiba bodoh. Lemahnya pembelaan terhadap produksi nasional sering kali
bukan karena kebijakan yang salah, tapi lebih karena “kebodohan-kebodohan
mendadak” seperti itu.
Mestinya
kita juga bisa berbuat banyak dalam hal hand phone (HP), misalnya. Semua pihak
tahu bahwa saat ini terlalu banyak HP ilegal. Pak Gita Wirjawan, Menteri
Perdagangan, sering menyebut lebih 70 juta HP ilegal. Bahkan HP yang ada di
Indonesia boleh dikata hampir 100 persen impor.
Kalau
saja semua HP itu legal negara bisa memperoleh tambahan dana sedikitnya Rp 30
triliun setahun.
Saya
sependapat dengan Pak Gita. Tapi untuk bisa memproduksi HP di dalam negeri
tidak mudah. Bukan soal teknologinya tapi perlakuan pajaknya. BUMN seperti PT
Inti pernah berusaha keras memproduksi HP tapi selalu kalah harga. Untuk impor
suku cadang HP dikenakan pajak. Tapi impor HP secara utuh tidak dikenakan
pajak.
Kalau
Indonesia bisa membuat trafo 500 kv, apalah sulitnya membuat HP.
Oleh
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar