NU Konsisten Menentang “Perjanjian Renville”
Bagi NU yang sejak awal berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia raya yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai
Meraoke tentunya merasa dikibuli ketika Belanda menawarkan perjanjian Renville
yang semakin mempersempit wilayah Indonesia, padahal Belanda telah kalah
perang. Karena itu NU menolak perjanjian manipulatif tersebut.
Persetujuan Renville antara Indonesia dengan
penjajah Belanda yang ditandatangani pada 17 januari 1948 di atas kapal USS
Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perjanjian ini merupakan titik
balik perjuangan Indonesia. Indonesia harus tunduk di bawah kekuasaan Ratu
Belanda. Perjanjian yang ditandatangani pemerintahan Amir Syarifuddin dari PSI
itu mewakili Indonesia, sedangkan pihak Belanda diwakili orang Indonesia pula
yaitu R Abdul Kadir Widjojoatmojo seorang federalis yang bekerja pada
pemerintah federal bikinan Van Mook.
Isi perjanjian tersebut:
1.
Pembentukan dengan segera Republik
Indonesia Serikat.
2.
Sebelum RIS terbentuk Belanda memegang
kedaulatan seluruh Indonesia.
3.
Republik Indonesia akan menjadi bagian
dari RIS.
4.
Akan dibentuk Uni Indonesia yang akan
dikepalai oleh Ratu Belanda. dan
5.
Akan diadakan peblisit untuk
menentukan kedudukan rakyat dalam RIS.
Karena isi perjanjian Renville lebih buruk
dari perjanjian Linggarjati, dengan perjanjian itu berarti Indonesia mengakui
kedaulatan kembali Belanda atas Indonesia. Dengan tegas NU menolak perjanjian
pengkhianatan tersebut. NU menyebutnya sebagai perjanjian munkarat dan
pengkhianatan, karena itu haram turut menyetujuinya. Tetapi anehnya PSI dan PKI
menyetujui perjanjian itu.
Ketka kabinet Amir jatuh digantikan kabinet
Hatta, walaupun tidak ikut menandatangani Renville tetapi kabinet itu terikat
oleh perjanjian tersebut, sehingga harus melaksanakan beberapa ponnya. Maka
ketika itu NU yang masih bergabung dengan Masjumi menolak, antara lain
penolakan dari Kiai Wahib dan Kiai Hadjit. ]
Tetapi Kiai Wahab Hasbullah berpendapat lain.
Memang NU menganggap bahwa perjanjian Renville merupakan pengkhianatan dan
kejahatan, karena itu NU dan Masjumi harus menolak keras. Tetapi sebagai bangsa
Indonesia setiap warga wajib membela negara ini, karena itu kita harus ikut
dalam Kabinet Hatta, tidak secara kelembagaan atau partai, secara Partai kita
harus menolak, ikut masuk berarti mendukung. Tetapi secara individu boleh dan
harus menelusupkan kader ke dalam kabinet Hatta justru untuk membendung
kemungkaran tersebut. Saran Kiai Wahab itu diikuti oleh semuanya. Akhirnya
Masyumi ikut dalam kabinet Hatta, saat itu berusaha meluruskan arah republik
ini agar tidak terjebak pada perjanjian yang terlanjur ditandatangani. Kalau
hanya berteriak dari luar kabinet bisa dituduh sebagai makar.
Secara substansi NU menolak perkanjian
tersebut walaupun dengan banayak mengalah, Belanda akan tetap mengkianati juga,
karena itu bentuk erjanjian apapun tujuannya adalah melakukan tipu muslihat,
sebab bagi NU tidak ada kolonial yang berniat baik semua langkahnya adalah tipu
muslihat, tidak dulu tidak sekarang. Dengan kewaspadaan semacam itu NU tetap
mensiagakan Hisbullah dan Sabilillah untuk menjaga segala kemungkinan yang
terjadi.
Benar tidak lama kemudian walaupun pemerintah
Indonesia telah berusaha menjalankan agenda Reville, tetapi Belanda punya
rencana lain dengan kembali melakukan pengkhianatan dengan melakukan agresi
pada 19 Desember 1948. Serbuan ke Indonesia yang berkekuatan 140.000 orang
ditambah 60.000 eara KNIL itu diskenario oleh CPF Romme, ketua Partai Katolik
Belanda. Oleh karena itu di beberapa tempat agresi Belanda itu menggunakan
Sekolah dan Asrama Katolik seperti di Ambarawa sebagai pangkalan militer
Belanda.
Apa yang diperkirakan NU benar, selain
menolak menyerahkan kedaulatan pada belanda, menolak bentuk negara federal yang
merupakan upaya pecah belah, juga Belanda pasti berkhianat, karena itu NU
dengan Hisbullah dan Sabilillahnya meneruskan perjuangan bersenjata besama
kelompok perjuangn lain yang bergadung dalam Volkfron (Fron perjuangan rakyat)
yang kemudian menjadi Persatuan Perjuangan (PP) yang menghendaki merdeka
seratus persen. PP yang dipelpori Tan malaka itu juga diikuti Oleh jendral
Sudirman. Kalangan NU yang dipimpin KH Wahid Hasyim juga mendukung gerakan itu,
sehingga posisinya sangat kuat dalam melakukan tekanan pada Belanda sehingga
pemerintah juga tidak mudah menyerah. []
(Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar