Kamis, 05 November 2020

(Ngaji of the Day) Yang Istimewa di Balik Nama ‘Muhammad’

Nama Muhammad atau Ahmad adalah nama yang sakral. Berkandungan sejarah dan cahaya. Nama yang terucap tidak sembarangan; nama yang dicita-citakan semesta; nama yang dinantikan jagat raya; nama yang menebar cahaya dan pahala; nama yang menandai masa; nama yang mendamaikan raga dan jiwa; nama yang terlalu banyak kebaikan meliputinya, hingga bahasa tak mungkin merangkai semuanya.

 

Nama Muhammad bukan nama pemberian manusia, tapi nama yang disampaikan Allah kepada kakek dan ibunya. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa ibu Rasulullah, Sayyidah Aminah, bercerita pernah didatangi malaikat ketika mengandung, dan malaikat itu berkata kepadanya:

 

إنَّكِ قَدْ حَمَلْتِ بِسَيِّدِ هَذِهِ الْأُمَّةِ، فَإِذَا وَقَعَ إلَى الْأَرْضِ فَقُولِي: أُعِيذُهُ بِالْوَاحِدِ، مِنْ شَرِّ كُلِّ حَاسِدٍ، ثُمَّ سَمِّيهِ مُحَمَّدًا

 

“Sesungguhnya kau sedang mengandung pemimpin umat ini. Maka, ketika ia terlahir ke dunia, ucapkanlah: “aku memohon perlindungan untuknya kepada Tuhan yang Maha Esa, dari kejahatan setiap orang yang hasud, dan namai ia ‘Muhammad’.” (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Darul Kutub al-A’rabiy, 1990,juz 1, hlm 180)

 

Begitu pula kakeknya, Abdul Muttalib, ia mendapatkan inspirasi nama Muhammad dari mimpi. Dalam kitab al-Raudl al-Unuf, Imam al-Muhaddits Abu al-Qasim al-Suhaili (w. 581 H) mengatakan, Abdul Muttalib melihat dalam mimpinya rantai dari emas keluar dari punggungnya. Ujungnya menyebar ke langit, bumi, timur dan barat. Lalu rangkaian rantai itu menjadi pohon yang setiap daunnya mengeluarkan cahaya, dan penduduk bumi di Barat dan Timur semuanya bergantung kepadanya. Imam al-Suhaili menulis:

 

فَعُبّرَتْ له بِمَولود يكون من صلبه يتبعه أهل المشرق والمغرب, ويحمده أهل السّماء والأرض، فلِذلك سَمّاه محَمَّدًا

 

“Maka ditafsirkan mimpi itu dengan dilahirkannya seorang (anak) dari tulang punggungnya yang akan diikuti oleh manusia dari Timur dan Barat. Penduduk langit dan bumi akan memujinya. Karena itu, Abdul Muttalib menamainya Muhammad.” (Imam al-Muhaddits Abu al-Qasim al-Suhaili, al-Radul al-Unuf wa ma’ahu al-Sîrah al-Nabawiyyah li Ibni Hisyâm, Beirut: Dar al-Hadits, 2008, juz 1, h. 309-310)

 

Karena itu, ketika ada seseorang yang bertanya kepada Abdul Muttalib, “mâ sammayta ibnaka?” (kau namai siapa cucumu?). Ia menjawab, “Muhammad.” Orang itu bertanya lagi, “kaifa sammayta bi ismin laisa li ahadin min âbâ’ika wa qaumika?” (kenapa kau namai ia dengan nama yang tidak seorang pun dari nenek moyang dan kaummu [menggunakannya]). Abdul Muttalib berkata, “innî la arjû an yahmadahu ahlul ardli kulluhum” (sesungguhnya aku sangat ingin semua penduduk bumi memujinya). (Imam al-Muhaddits Abu al-Qasim al-Suhaili, al-Radul al-Unuf wa ma’ahu al-Sîrah al-Nabawiyyah li Ibni Hisyâm, 2008, juz 1, h. 309)

 

Dua riwayat di atas menunjukkan bahwa nama Muhammad diberikan langsung oleh Allah melalui malaikat dan isyarat lewat mimpi.

 

Bahkan menurut beberapa riwayat, Nabi Adam ‘alaihissalam melihat nama Muhammad tercatat di ‘Arsy, lalu Allah berfirman kepadanya (HR. Imam al-Hakim): “law lâ Muhammad mâ khalaqtuka” (Andai tidak [karena] Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu). Dalam riwayat lain (HR. Imam al-Tirmidzi), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: “yâ Rasûlullah, matâ wajabat laka al-nubuwwah?” (wahai Rasulullah, kapankah ditetapkan padamu kenabian?). Rasulullah menjawab: “wa Âdam bainar rûh wal jasad” (ketika Adam [masih] berada di antara ruh dan jasad).

 

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) menguraikan hadits di atas cukup panjang, ringkasnya sebagai berikut:

 

وهذه الرواية تدل على أنه حينئذ استخرج من ظهر آدم ونبىء وأخذ ميثاقه فيحتمل أن يكون ذلك دليلا على أن استخراج ذرية آدم من ظهره وأخذ الميثاق منهم كان قبل نفخ الروح في آدم, وقد روي هذا عن سلمان الفارسي وغيره من السلف ويستدل له أيضا بظاهر قوله تعالى: وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ

 

“Riwayat ini mengindikasikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu itu dikeluarkan dari punggung Adam dan (diangkat menjadi) nabi, lalu Adam mengambil perjanjian (dari)nya. Riwayat tersebut berisi dalil atas dikeluarkannya keturunan Adam dari punggungnya, dan mengambil perjanjian dari mereka sebelum ditiupkan ruh kedalam Adam. Riwayat (pendapat seperti) ini berasal dari Salman al-Farisi dan (ulama) lainnya dari generasi salaf. Dalil pendukungnya adalah zahir (lafad) firman Allah (al-A’raf: 11): Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, Kairo: Dar al-Hadits, 2005, h. 115)

 

Imam Mujahid (21-104 H) dan ulama salaf lainnya menafsirkan ayat di atas dengan, “ikhrâj dzurriyyati Âdam min dhahrihi qabla amril malâ’ikati bis sujûd lahu” (dikeluarkannya keturunan Adam dari punggungnya sebelum malaikat diperintahkan sujud kepadanya). Tapi, banyak juga ulama salaf yang berpendapat dikeluarkannya keturunan Adam dilakukan sebelum ditiupkan ruh ke dalam Adam (kâna ba’d nafkhir rûhi fîhi). Mengomentari banyaknya riwayat tersebut, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berpendapat bahwa keluarnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diistimewakan karena terjadi sebelum ditiupkan ruh kepada Adam. Dasar argumentasinya adalah, karena Nabi Muhammad adalah prima kausa (penyebab utama) diciptakannya manusia dan alam semesta (al-maqshûd min khalqil nau’il insâniyyi). (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 2005, h. 115)

 

Diriwayatkan dari Imam Qatadah (61-118 H) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR. Imam Ibnu Sa’d dan Imam al-Thabrani):

 

كنتُ أوَّل النّبِيّين في الخلق وأخرهم في البعث

 

“Aku adalah nabi pertama yang diciptakan dan yang paling akhir diutus.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 2005, h. 116) Karena itu, ketika Nabi Adam ‘alaihissalam merasa ajalnya sudah dekat, ia memanggil anaknya, Syits dan berwasiat kepadanya.

 

Dalam sebuah riwayat dikatakan (Riwayat Imam Ibnu ‘Asakir):

 

ﻭﻗﺪ ﺃﺧﺮﺝ ﺍﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ ﻋﻦ ﻛﻌﺐ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ ﺃﻥ ﺁﺩﻡ ﺃﻭﺻﻰ ﺍﺑﻨﻪ ﺷﻴﺚ ﻓﻘﺎﻝ ﻛﻠﻤﺎ ﺫﻛﺮﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺎﺫﻛﺮ ﺇﻟﻰ ﺟﻨﺒﻪ ﺍﺳﻢ ﻣﺤﻤﺪ ﻓﺈﻧﻲ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﺳﻤﻪ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﻋﻠﻰ ﺳﺎﻕ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭﺃﻧﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻭﺍﻟﺘﻴﻦ ﺛﻢ ﺇﻧﻲ ﻃﺮﻓﺖ ﻓﻠﻢ ﺃﺭﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻣﻮﺿﻌﺎ ﺇﻻ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﺳﻢ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻟﻢ ﺃﺭﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻗﺼﺮﺍ ﻭﻻ ﻏﺮﻓﺔ ﺇﻻ ﺍﺳﻢ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻟﻘﺪ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﺳﻢ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﻋﻠﻰ ﻧﺤﻮﺭ ﺍﻟﺤﻮﺭ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﻭﻋﻠﻰ ﻭﺭﻕ ﻗﺼﺐ ﺁﺟﺎﻡ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﻋﻠﻰ ﻭﺭﻕ ﺷﺠﺮﺓ ﻃﻮﺑﻰ ﻭﻋﻠﻰ ﻭﺭﻕ ﺳﺪﺭﺓ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻃﺮﺍﻑ ﺍﻟﺤﺠﺐ ﻭﺑﻴﻦ ﺃﻋﻴﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﺫﻛﺮﻩ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺗﺬﻛﺮﻩ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺳﺎﻋﺎﺗﻬﺎ

 

“Ibnu Asakir mengeluarkan sebuah riwayat dari Ka’b, bahwa sesungguhnya Adam memberi wasiat kepada anaknya, Syits. Adam berkata: “Setiap kali kau berdzikir kepada Allah, berdzikirlah juga untuk nama yang mendampingi-Nya, Muhammad. Karena sesungguhnya aku melihat nama Muhammad tertulis di sisi ‘Arsy, sementara aku (masih) di antara ruh dan tanah. Kemudian aku pindahkan pandanganku, aku tidak melihat satu tempat pun di langit kecuali aku melihat nama Muhammad tertulis di sana. Tidak kulihat di surga, gedung dan kamar kecuali nama Muhammad tertulis di sana. Sungguh aku melihat nama Muhammad tertulis di leher para bidadari, tertulis di dedaunan tumbuhan surga, tertulis di dedaunan pohon Thuba, tertulis di dedaunan Sidratul Muntaha, tertulis di sudut-sudut sekat dan tertulis di antara mata-mata malaikat. Maka, perbanyaklah dzikir menyebut namanya, karena malaikat juga berdzikir (menyebut nama)nya di setiap saat.” (Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hâwî li al-Fatâwî, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2015, juz 2, h. 137)

 

Sebagai tambahan, Syits adalah seorang nabi. Ia merupakan anak Nabi Adam yang paling baik pekertinya, pengetahuannya dan ibadahnya. Imam Wahb bin Munabbih (34-114 H) mengatakan: “kâna Syîts min ajmali waladi Âdam wa afdlalihim wa asybahihim bihi wa ahabbihim ilaihi” (Syits adalah anak Adam yang paling baik, paling mulia, paling mirip dengannya, dan paling dicintai oleh Adam) (Imam al-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, tt, h. 248).

 

Sementara nama Ahmad, menurut Imam al-Suhaili, adalah penyebutan dalam lisan Nabi Musa dan Isa (ammâ Ahmad fahuwa ismuhu alladzi summiya bihi ‘ala lisâni ‘Isa wa Mûsa). Nabi Isa ‘alaihissalam berkata (QS. As-Saff: 6): “dan memberi kabar gembira dengan kedatangan rasul setelahku bernama Ahmad.” Begitu pun Nabi Musa ketika berdoa kepada Allah menggunakan nama Ahmad. Ia berdoa:

 

اللهُمّ اجْعَلْنِي مِنْ أُمَّةِ أحْمَدَ، فبِأحْمد ذُكِر قَبْل أن يُذْكر بمحمد، لِأنّ حَمْدَه لربّه كان قبل حَمْد النّاس له، فلمّا وُجِد وبُعث كان محَمَّدًا بالفعلِ

 

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk umat Ahmad. Dengan nama Ahmad, ia disebut sebelum disebut Muhammad, karena pujiannya kepada Tuhannya sebelum pujian (seluruh) manusia kepadaNya. Maka, ketika ia berwujud dan diutus, ia menjadi Muhammad karena perilakunya.” (Imam al-Muhaddits Abu al-Qasim al-Suhaili, al-Radul al-Unuf wa ma’ahu al-Sîrah al-Nabawiyyah li Ibni Hisyâm, 2008, juz 1, h. 310-311)

 

Nama Muhammad adalah nama yang sangat istimewa dipandang dari sudut pandang apapaun, bahkan dari segi jumlah hurufnya. Menurut Imam Syamsuddin al-Safiri al-Syafi’i (w. 906 H), salah satu keistimewaan nama Muhammad adalah kesesuaian jumlahnya dengan nama Allah (Lafdul Jalalah). Ia menulis:

 

كونه علي أربعة أحرف، والحكمة في جعله كذلك ليوافق الله تعالي فإن عدد لفظ الجلالة أربعة أحرف كمحمّد

 

“(Nama) Muhammad terdiri dari empat huruf. Hikmahnya adalah agar sesuai dengan (nama) Allah ta’ala, karena jumlah Lafdul Jalalah adalah empat huruf seperti (nama) Muhammad.” (Imam Syamsuddin Muhammad al-Safiri, al-Majâlis al-Wa’dhiyyah fî Syarh Ahâdîts Khair al-Bariyyah min Shahîh al-Imâm al-Bukhârî, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2004, juz 2, h. 117)

 

Kesesuaian itu penting karena Allah dan Muhammad tidak bisa dipisahkan dari iman Islam. Siapa pun yang berkehendak menjadi Muslim, ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat; penegasan tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Jika tidak, imannya tidak sempurna. Itulah pentingnya nama Muhammad. Nama yang bisa mengubah nasib manusia di akhirat kelak. Wallahu a’lam bish shawwab. []

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar