Pembelajaran dari Piagam Aelia
Oleh: Nasaruddin Umar
SELAIN Piagam Hudaibiyah yang menakjubkan itu, masih ada Piagam
Aelia (Mitsaq Aeliya), sebuah piagam perjanjian yang dibuat Umar ibn Khattab
ketika melakukan pembebasan Al-Quds (Aelia) dari tangan Romawi yang
ditandatangani pada 20 Rabiul Awal 15H/5 Februari 636 M.
Piagam itu bertujuan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan
berbagai pihak di dalam wilayah Jerusalem yang baru saja diambil alih oleh
pasukan Umar. Untuk mengatasi gejolak yang biasanya muncul di dalam masyarakat
transisi, Umar ibn Khattab membuat Piagam Aelia.
Piagam ini sangat efektif untuk membuat masyarakat pluralis
Palestina lebih tenang karena pengambilalihan kota ini dari Kerajaan Romawi
lebih dirasakan masyarakat sebagai 'pembebasan' (futuhat) ketimbang sebagai
penaklukan, apalagi penjajahan.
Aelia nama lain dari Jerusalem, lengkapnya Aelia Capitolina, diambil dari nama kuil Dewi Aelia yang dibangun di atas Kuil Solomon, setelah kota itu dikuasai Kristen Byzantium. Pasukan tentara Arab muslim yang dipimpin Khalifah Umar ibn Khattab bisa dipandang sebagai pembebasan umat Kristen lokal di sana, yang dikuasai penguasa Kristen Romawi-Byzantium karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran-ajaran mereka.
Kristen lokal di Aelia tidak mengakui hasil Konsili Kalsedon, yang
dihasilkan Kristen Roma-Byzantium. Pada saat bersamaan Kristen lokal Aelia juga
membenci kaum Yahudi dan Kuil Solomon mereka dijadikan tempat pembuangan
sampah. Perjanjian Aelia memberikan jaminan eksistensi terhadap tiga agama
dominan sebelumnya, yaitu Yahudi, Kristen lokal, Kristen Orthodox
Romawi-Byzantium, dan tentu saja ditambah dengan Islam.
Melalui Piagam Aelia, Khalifah Umar mendamaikan antara Kristen
lokal dan Kristen Romawi-Byzantium, minoritas Yahudi di Kota Jerusalem, dan
agama Islam yang baru datang di wilayah itu. Dengan demikian, Piagam Aelia
mendamaikan empat komponen agama penting di wilayah itu, yakni Kristen lokal,
Kristen Romawi-Byzantium, Yahudi, dan Islam.
Sungguh hebat Piagam Aelia ini diukur dalam konteks masyarakat
modern. Piagam Aelia merupakan wujud konkret kelanjutan masyarakat madani
(civil society), yang pernah digagas dan dicontohkan Nabi Muhammad SAW kemudian
diaktualisasikan Umar Ibn Khattab di beberapa kota.
Piagam Madinah dan Piagam Aelia merupakan cermin sebuah bangunan
masyarakat demokratis yang menghargai pluralitas dengan prinsip-prinsip dasar
seperti keadilan (’adala), egalitarian (musawa), moderat (tawassuth), toleransi
(tasamuh), dan tentu saja dengan kepemimpinan yang didukung dengan supremasi
hukum (imamah) tangguh.
Perwujudan masyarakat madani dalam masa <proto-Islamic law>,
menurut istilah David Power, menjadi contoh masyarakat ideal yang sulit dicari
padanannya pada masyarakat sebelumnya. Bahkan sosiolog terkemuka Robert N
Bellah mengakui masyarakat Madinah di masa Nabi ialah suatu masyarakat yang sangat
modern di zamannya.
Sayang sekali menurut Bellah, tatanan masyarakat madaniah itu
tidak bertahan lama dalam dunia Islam karena wilayah Timur Tengah kembali ke
sistem lama, yaitu ke sistem monarki. Cak Nur pernah juga mendramatisasi sistem
kemasyarakatan di masa awal Islam yang sebagai negara modern yang lahir jauh
melampaui zamannya.
Unsur-unsur penting dan monumental dalam Piagam Aelia antara lain
adanya jaminan keamanan jiwa, keluarga, harta, dan properti semua pihak di
Aelia. Eksistensi agama-agama, termasuk rumah-rumah ibadah, seperti gereja
Kristen lokal, gereja Kristen Romawi-Byzantium, kuil Yahudi, dan masjid diakui
dan dijamin tidak akan diintervensi penguasa baru muslim. Bahkan Yahudi yang
tadinya terusir dari wilayah itu sudah bisa masuk dan menjalankan ajaran agama
mereka dengan bebas di bawah jaminan Piagam Aelia.
Mereka tidak akan diprovokasi, apalagi diintimidasi dan dipaksa
masuk agama Islam. Warga Romawi-Byzantium yang menduduki wilayah itu juga tetap
bisa hidup di dalam Aelia asal mau taat dengan aturan dalam Piagam Aelia.
Piagam Aelia luar biasa. Banyak ilmuwan menganggap piagam ini sebuah loncatan
pikiran yang lebih jauh dari zamannya. Meskipun Umar ibn Khattab banyak
menggunakan simbol-simbol Islam, kebebasan setiap warga bangsa dijamin untuk
menjalankan agama masing-masing.
Rumah ibadah tidak ada yang diganggu, dan praktik-praktik
keagamaan tidak ada yang dihalangi, serta atribut-atribut keagamaan tetap
dipertahankan. Suasana batin masyarakat tidak terusik sama sekali dengan kehadiran
pasukan Umar.
Selengkapnya Piagam Aelia tersebut dalam versi terjemahan bahasa
Indonesia sebagai berikut. 'Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Inilah jaminan keamanan yang diberikan 'Abdullah, Umar, Amir
al-Mu'minin kepada penduduk Aelia. Ia menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan
harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka. Serta dalam
keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan.
Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak,
dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula
dari lingkungannya. Serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari
harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa
meninggalkan agama mereka, dan tidak dari seorang pun dari mereka boleh
diganggu. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka.
Atas penduduk Aelia diwajibkan membayar jizyah sebagaimana jizyah
itu dibayar oleh penduduk kota-kota yang lain (Syria). Mereka berkewajiban
mengeluarkan orang-orang Romawi dan kaum al-Lashut dari Aelia. Tetapi jika dari
mereka (orang-orang Romawi) keluar (meninggalkan Aelia), ia (dijamin) aman
dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi).
Dan jika ada yang mau tinggal, ia pun akan dijamin aman. Dia
berkewajiban membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia. Dan jika ada
dari kalangan penduduk Aelia yang lebih senang untuk menggabungkan diri dan
hartanya dengan Romawi, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib-salib
mereka, keamanan mereka dijamin, berkenaan dengan jiwa mereka, gereja mereka
dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba di daerah keamanan mereka sendiri
(Romawi).
Dan siapa saja yang telah berada di sana (Aelia) dari kalangan
penduduk setempat (Syria) sebelum terjadinya perang tertentu (yakni, perang
pembebasan Syirya oleh tentara muslim) maka bagi yang menghendaki ia dibenarkan
tetap tinggal. Dan ia diwajibkan membayar jizyah seperti kewajiban penduduk
Aelia.
Dan jika ia menghendaki, ia boleh bergabung dengan orang-orang
Romawi, atau jika ia menghendaki, ia boleh kembali kepada keluarganya sendiri.
Sebab tidak ada suatu apa pun yang boleh diambil dari mereka (keluarga) itu
sampai mereka memetik panenan mereka. Atas apa yang tercantum dalam lembaran
ini ada janji Allah, perlindungan Rasul-Nya, perlindungan para khalifah dan
perlindungan semua kaum beriman. Jika mereka (penduduk Aelia) membayar jizyah
yang menjadi kewajiban mereka. Menjadi saksi atas perjanjian ini Khalid ibn
al-Walid, 'Amr ibn al-Ashsh, 'Abdurrahman ibn 'Awf, dan Mu'awiyah ibn Abi
Sufyan. Ditulis dan disaksikan tahun lima belas (Hijriah)'.
Naskah Piagam Aelia di atas bisa memberikan pengaruh positif bagi
Indonesia yang dipadati lebih dari 200 juta umat Islam atau negara muslim
terbesar di dunia saat ini. Bagaimana kepiawaian dan kemoderatan Umar
dipertaruhkan di dalam piagam ini. Tanpa niat yang luhur dan idealisme serta
ideologi yang kuat, tidak mungkin piagam ini bisa lahir. []
MEDIA INDONESIA, 23 Februari 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar