Kamis, 26 Maret 2015

Ali Mustafa Yaqub: Peran Ulama dan Terorisme



Peran Ulama dan Terorisme
Oleh: Ali Mustafa Yaqub

Sejak gencarnya pemberitaan tentang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) belakangan ini, banyak orang mempertanyakan peran ulama dalam menanggulangi anarkisme, radikalisme, dan terorisme. Tampaknya selama ini penanggulangan terorisme masih banyak dilakukan melalui pendekatan keamanan dan pemidanaan.

Sementara, penanggulangan terorisme melalui pendekatan persuasif preventif dinilai belum dilakukan secara maksimal. Untuk menanggulangi anarkisme, radikalisme, dan terorisme, kita perlu mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan perilaku tersebut.

Sekurang-kurangnya ada tiga sebab besar yang menimbulkan perilaku anarkisme, radikalisme, dan terorisme. Pertama adalah ketidakadilan dalam skala global maupun lokal. Ketika ada pihak yang melakukan tindakan yang melanggar hukum, sementara ia tidak dipidanakan dengan hukum yang berlaku, maka yang timbul adalah masyarakat mencari keadilan dengan melakukan tindakan main hakim sendiri.

Oleh karena itu, untuk menanggulangi terorisme yang disebabkan oleh faktor ketidakadilan maka tugas kita semuanya dan khususnya aparat penegak hukum adalah menegakkan supremasi hukum. Jangan sekali-kali ada perilaku pelanggaran hukum di negeri ini, tetapi tidak dikenai hukuman. Perilaku anarkisme, radikalisme, dan terorisme yang terjadi di negeri kita banyak disebabkan oleh faktor ini.

Sebab kedua, anarkisme, radikalisme, dan terorisme memang sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Hal ini dengan catatan apabila pernyataan tokoh-tokoh seperti Edward Snowden, mantan intelijen Amerika Serikat yang sekarang membelot ke Rusia; dan Hillary Clinton, mantan menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu benar.

Kedua tokoh ini diberitakan membuat pernyataan bahwa ISIS diciptakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan, Hillary Clinton menuliskan hal itu dalam buku terbarunya The Hard Choices. Untuk menanggulangi terorisme yang ditimbulkan oleh sebab kedua ini, tentulah tidak ada cara lain kecuali menghilangkan sebab itu sendiri, yaitu tidak ada lagi pihak yang menciptakan anarkisme, radikalisme, dan terorisme.

Sebab ketiga, seperti dikatakan banyak ulama bahwa terorisme juga disebabkan oleh faktor ketidaktahuan dalam memahami ajaran agama. Apabila yang dimaksud dengan agama ini adalah agama Islam, maka di sinilah sebenarnya ulama dapat memainkan perannya, berpartisipasi dalam aksi penanggulangan terorisme.

Namun, tampaknya dalam menghadapi terorisme, di kalangan ulama minimal terdapat dua kategori. Kategori pertama, mereka yang melihat terorisme sebagai sebuah kemungkaran yang harus diberantas. Maka, memberantas kemungkaran adalah bagian dari ajaran amar makruf nahi mungkar.

Para ulama yang masuk kategori pertama ini, mereka giat melakukan penyuluhan dan pencerahan dengan menunjukkan kepada umat bahwa perilaku radikal itu adalah sebuah kemungkaran dan menasihati agar mereka tidak melakukannya. Dan itulah tugas ulama dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar.

Seperti kata para ulama semisal Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu al-Fatawa, dan Prof Dr Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Ushul al-Da’wah bahwa ketika ada pihak pemerintah, maka tugas ulama dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar itu hanya terbatas dalam dua level saja, yaitu memberitahukan dan menasihati.

Adapun level-level selanjutnya seperti menangkap, menahan, menendang, memukul, menghukum, bahkan memerangi teroris, hal itu merupakan wilayah penuh pemerintah. Ulama tidak diperkenankan melakukan langkah-langkah seperti itu.

Kategori kedua, para ulama yang masih memiliki trauma tentang fenomena anarkisme, radikalisme, dan terorisme belakangan ini. Trauma dini disebabkan oleh peristiwa masa lalu yang sampai sekarang masih dipertanyakan kebenarannya. Sebut saja, misalnya, kemunculan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Komado Jihad, diproklamirkannya negara Islam di Lampung, dan lain-lain.

Kejadian-kejadian itu sampai hari ini tidak jelas siapa yang melakukan dan apa motivasinya. Para ulama mempertanyakan hal itu karena mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sementara dalam ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak dikenal adanya pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, pelengseran presiden, impeachment, dan lain sebagainya sepanjang kepala negara atau presiden itu masih mau menjalankan shalat bersama umat dan tidak menjalankan perbuatan kekafiran yang nyata (kufrun bawwah).

Maka, ketika perilaku-perilaku anarkisme, radikalisme, dan terorisme yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu itu dikaitkan dengan Islam di Indonesia, maka di situlah timbul pertanyaan, apakah perilaku itu memang lahir dari lubuk hati umat Islam atau memang ada yang merekayasa untuk kepentingan tertentu? Ulama yang masuk kategori kedua itu akhirnya tidak dapat berpartisipasi secara maksimal dalam menanggulangi terorisme khususnya di Indonesia.

Karenanya, agar para ulama dapat memainkan perannya yang lebih maksimal dalam menanggulangi terorisme, maka mereka perlu segera disembuhkan dari trauma-trauma itu. Di sisi lain, kita juga tidak boleh menambah trauma lagi, misalnya, dengan mengaitkan terorisme itu dengan agama tertentu bahkan dengan lembaga pendidikan tertentu seperti pesantren.

Terorisme adalah sebuah kriminalitas yang tidak memiliki agama dan kebangsaan. Terorisme dapat datang dari siapa saja dan dari mana saja. Karenanya, mengaitkan terorisme dengan agama tertentu dan atau lembaga pendidikan tertentu justru akan menambah masalah dan tidak menyelesaikannya.

REPUBLIKA, 24 Maret 2015
Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar