Kisah Pengajian dan
Wayang
Tahun 1970-an, di
Cianjur ada seorang ajengan masyhur, karena kedalaman ilmunya. Ia dikenal
dengan dengan julukan Mama Ajengan Ciharashas, atau Ajengan KH Muhammad
Syuja’i.
Mama Ajengan
Ciharashas (yang pernah berguru pada Mama Ajengan KH Syatibi Gentur, Cianjur,
guru ulama-ulama di Jawa Barat), memiliki ribuan santri dari bebagai pelosok
Nusantara. Selain mengajar, ia sering memberi ceramah umum di pengajian semisal
muludan, rajaban, hingga pesta pernikahan atau sunatan di pelosok-pelosok
kampung.
Pada suatu ketika, ia
mendapat undangan ceramah di wilayah Cianjur. Tak dinyana, panggung tempat ia
berceramah berhadapan dengan panggung pementasan wayang golek. Dua acara
berbarengan ini hanya terhalang jalan raya.
Meski demikian, Mama
Ajengan Ciharashas tetap menjalankan tugasnya berceramah. Begitu pula dalang
wayang golek. Keduanya berjalan sebagaiamana mestinya. Hadirin dari berbagai
tempat datang untuk tujuan masing-masing, sebagian berniat menyimak ceramah,
sebagian menonton wayang golek. Tak ada gegeran karena perbedaan.
Namun, ketika Mama Ajengan Ciharashas berceramah, penonton wayang golek berbondong-bondong pindah dan menyimak pengajiannya. Padahal ia tak mengimbaunya. Apalagi mengharamkan wayang golek. Ia mengaji sebagaimana ia mengajar santrinya.
Salah seorang panayagan (pengiring musik wayang golek) yakni tukang rebab, kepincut pengajian Mama Ajengan Ciharashas. Ia bernama Sulaiman, biasa dipanggil Eman. Ayahnya seoorang kades di salah satu desa Cianjur. Kades pecinta seni yang mengarahkan anak-anaknya pada kesenian.
Ketika ceramah Mama Ajengan selesai, Eman mendatanginya. Ia lalu menceritakan niatnya menjadi santri.
Menurut Ajengan
Hasybi Hizbullah, pengasuh pesantren Asyroful Huda, Sukaraja, Sukabumi, Eman
adalah teman semasa ia menjadi santri Ciharashas. Hasybi bersaksi, tukang rebab
tersebut sangat rajin mengaji dan muthola’ah. Saking rajinnya, ia sering
meninggalkan makan.
“Santri-santri sering
menanak nasi untuk dia. Tapi ketika diajak makan, ia selalu bilang ‘nanti
saja.’ Kemudian disisain. Tapi tak dimakan pula. Sampai jadi oncom (berjamur)
nasi itu,” papar Hasybi.
Eman kemudian menjadi
santri kesayangan Mama Ajengan. Ia dinikahkan dengan salah seorang
adiknya. Selanjutnya ia diangkat menjadi pengajar pesantren tersebut.
Santri-santri memanggilnya mama ajengan anom (kiai muda).
Karena Mama Ajengan Ciharashas tidak memiliki putra dan putri, ia menjadi pelanjut kepemimpinan pesantren.
“Mama Ajengan Anom terkenal dengan shalatnya yang khusuk. Kalau shalat itu, satu rakaat bisa 5 menit. Jadi kalau shalat isya bisa 20 menit. Kalau shalat Subuh bisa lebih lama lagi,” jelas Hasybi. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar