Jumat, 20 Maret 2015

Azyumardi: Kisruh Politik Parpol



Kisruh Politik Parpol
Oleh: Azyumardi Azra

Tak ragu lagi, kisruh politik merupakan fenomena paling menonjol dan paling mengganggu dalam bulan-bulan awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejak Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014, kegaduhan politik tidak pernah berhenti dengan berbagai dampak negatif pada penyelenggaraan negara dan pembangunan.

Padahal, sebagaimana disepakati para ahli ilmu politik, praktisi politik, dan masyarakat sipil, adalah suatu kebajikan (virtues) parpol jika ia dapat memelihara kestabilannya. Dengan stabilitasnya, parpol sekaligus berbuat kebajikan utama selanjutnya, yaitu memberikan ketenangan dan kemantapan bagi pemerintah menjalankan pemerintahan dan pembangunan.

Namun, sejak pilpres sampai sekarang, kekisruhan politik menyangkut parpol tidak mereda, tetapi terus berlanjut dengan gejala kian meningkat. Kegaduhan politik ini jelas mengganggu konsolidasi politik dan demokrasi, serta merupakan salah satu prasyarat politik penting bagi pemerintah untuk bisa bekerja dengan baik.

Kekisruhan politik terjadi pada beberapa tingkatan, mulai dari internal parpol hingga koalisi parpol Koalisi Merah Putih (KMP) yang berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kegaduhan politik pada kedua ranah politik itu pada gilirannya juga berimbas pada level pemerintahan.

Bahkan, menjelang Pemilu Presiden 2014, kekisruhan internal telah melanda Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar, yang bermula karena adanya perbedaan sikap dalam memberikan dukungan kepada salah satu dari dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden.

Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kala itu, mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa lewat KMP. Namun, ada elite di setiap partai itu yang ingin partainya mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Kegaduhan politik dalam dua parpol tersebut kian meningkat ketika kedua belah pihak yang bertentangan sikap politik itu saling memecat—sebuah ekspresi otoritarianisme. Akibatnya, rekonsiliasi menjadi kian sulit. Ketika konflik dibawa ke pengadilan, keputusan hakim pun tidak cukup memadai bagi resolusi konflik di antara pihak-pihak yang bertikai di PPP dan Partai Golkar.

Publik tampaknya mesti harus bersabar. Sementara kegaduhan Partai Golkar memasuki episode baru dengan perolehan isyarat baik bagi kubu Agung Laksono, Partai Amanat Nasional (PAN) yang baru menyelesaikan kongres di Bali awal Maret 2015 kini terlihat mulai terlanda friksi antara kubu Zulkifli Hasan yang menang dan loyalis Hatta Rajasa.

Friksi juga mulai terlihat di Partai Demokrat. Partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang berencana menyelenggarakan kongres pada Mei 2015 ini mulai terbelah antara kubu yang ingin Yudhoyono tetap menjadi ketua umum dan kubu Forum Komunikasi dan Deklarasi Partai Demokrat yang menolak Yudhoyono kembali memimpin partai.

Gejala sama bukan tidak mungkin melanda parpol lain ketika nanti menyelenggarakan kongres.

Mengamati gejala dan ekspresi kegaduhan politik yang berketerusan, dengan memodifikasi teori Benjamin Reilly dan Per Nordlund (2008), Indonesia tampaknya pas untuk masuk ke dalam kategori states of conflict- prone politics—negara yang rentan dengan konflik politik. Dengan masuk kategori ini, Indonesia ”kian lengkap” karena sebelumnya sudah termasuk kategori conflict-prone societies—masyarakat yang rentan dengan konflik antarmasyarakat, antaretnis, dan antaragama.

Mengapa Indonesia sangat rentan konflik politik? Pada satu segi disebabkan konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud. Reformasi lembaga politik seperti parpol telah berlangsung sejak 1998, tetapi reformasi budaya politik tidak terjadi secara signifikan. Budaya politik lama semacam otoritarianisme dan nepotisme politik terus bertahan dalam berbagai ekspresinya.

Dengan demikian, budaya politik demokratis tidak sepenuhnya terwujud dalam parpol. Parpol dikuasai oligarki yang tidak memberikan ruang bagi dialog dan akomodasi terhadap pendapat yang berbeda. Kepemimpinan parpol sejak dari tingkat pusat sampai daerah cenderung kian nepotistik—menciptakan ”dinasti” pemerintahan daerah dan keanggotaan legislatif dengan memanfaatkan pemilu.

Parpol yang rawan konflik internal jelas tidak bisa dibiarkan berlanjut. Reformasi kepartaian jilid dua sangat diperlukan agar demokrasi Indonesia dapat terus terkonsolidasikan sehingga pemerintahan dapat berfungsi lebih efektif. Untuk itu, parpol perlu membenahi kelembagaannya. Parpol tidak pernah bisa kuat jika kalangan pemimpin dan anggota sering berganti parpol atau mendirikan parpol baru karena tiadanya budaya politik dialog, toleransi, dan akomodasi. Parpol perlu mengubah praktik politik yang lebih berdasarkan personal ”orang kuat” daripada anggota dan masyarakat luas.

Tak kurang pentingnya, parpol mesti terus merevitalisasi anggotanya; tidak memerlukan anggota dan simpatisan hanya pada waktu pemilu/pilkada. Parpol mesti dapat menampilkan orientasi pada kebajikan publik dengan meninggalkan pragmatisme dan oportunisme politik yang bernyala-nyala. Dengan begitu, parpol dapat menampilkan organisasi, ideologi, dan orientasi politik kerakyatan, serta kebajikan publik yang solid. []

KOMPAS, 17 Maret 2015
Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance 2007-2010 dan 2010-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar