Jumat, 06 Maret 2015

Zuhairi: Mesir dan Pembaruan Keagamaan



Mesir dan Pembaruan Keagamaan
Oleh: Zuhairi Misrawi

Sejak maraknya gerakan ekstremis di Timur Tengah dan kawasan Arab pada umumnya pasca revolusi, khususnya fenomena Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS), Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi menyampaikan perlunya proposal pembaruan pemikiran keagamaan (tajdid al-khithab al-dini).

Al-Azhar dan Kementerian Wakaf mendapatkan mandat untuk melaksanakan proposal itu. Mesir mengambil langkah yang tidak biasa di saat negara-negara Barat dan koalisinya di Timur Tengah menggencarkan pendekatan militer untuk menumpas NIIS. Mesir justru mengambil langkah penting untuk mencegah penetrasi ideologi NIIS yang semakin kuat, khususnya di kawasan Sinai dan beberapa pelosok yang jauh dari perkotaan.

Perlawanan melawan kelompok ekstremis pasti akan sangat panjang dan melelahkan, karena itu dibutuhkan strategi yang tepat agar tidak menimbulkan dampak yang justru menimbulkan simpati warga sehingga mereka justru berbalik mendukung NIIS. Ironis, di tengah perang global melawan NIIS, justru kaum muda terdeteksi mempunyai minat untuk bergabung dengan kelompok terlarang tersebut. Penetrasi NIIS melalui media sosial dan internet telah memukau kaum muda. Belakangan, kaum muda dari Inggris, Perancis, dan Australia memilih bergabung dengan NIIS.

Karena itu, langkah yang diambil Mesir untuk menggemakan pembaruan pemikiran keagamaan merupakan langkah antisipatif yang sangat tepat. Bahkan, Abdul Mukthi Hijazi dalam tulisannya di Al-Ahram (25/2) menyebut langkah itu sebagai "revolusi" atas maraknya pemikiran dan gerakan ekstremis di Timteng pasca revolusi.

Pertarungan antara pembaruan dan ekstremisme akan meneguhkan eksistensi Mesir. Apakah pembaruan pemikiran keagamaan akan direspons positif oleh publik atau sebaliknya pemikiran ekstremis ala NIIS yang akan memenangi pertarungan? Sejarah yang akan mencatat dan membuktikannya.

Fakta yang tak bisa diabaikan oleh dunia Arab pasca revolusi, bahwa Al Qaeda dan jaringannya semakin kuat daripada era sebelumnya. Hal itu bukan hal yang spontan terjadi, melainkan agenda dan strategi yang disusun rapi oleh Al Qaeda.

Menurut Abdel Bari Arwan dalam After bin Laden: Al Qaeda, The Next Generation, Ayman al-Zawahiri sudah memproyeksikan jauh-jauh hari bahwa Al Qaeda tak hanya melakukan perlawanan terhadap Barat, tetapi juga memperkuat basisnya di Timteng akibat badai revolusi yang mampu menjatuhkan rezim otoriter dan memperkuat posisi tawar kaum Islamis dalam panggung politik. Instabilitas politik merupakan momentum tepat untuk menguatkan jaringan dan basis utama. Fenomena NIIS kian mengukuhkan bahwa capaian Abu Bakar al-Baghdadi dan jaringannya telah mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan politik menakutkan. Mesir, Jordania, Turki, Lebanon, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab kian ketakutan dengan proliferasi NIIS di Timteng, khususnya Suriah dan Irak.

Pembaruan versus ekstremisme

Di Mesir, dialektika antara pembaruan dan ekstremisme mempunyai sejarah yang cukup lama. Di akhir abad ke-19, Muhammad Abduh telah menabuh genderang pembaruan pemikiran keagamaan dengan menegaskan pentingnya rasionalitas dan dialog antar-agama. Abduh memandang cara untuk melawan kolonialisme dengan melakukan pembaruan dan mengembangkan pendidikan. Mesir, menurut Abduh, perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mencerahkan pemikiran keagamaan dalam rangka membangun harmoni, menjaga pluralitas, dan mendorong dialog konstruktif.

Salah satu pemikiran Abduh yang sangat populer adalah perlunya memahami Islam sebagai agama dan peradaban (al-din wa al-madaniyyah). Sebagai agama, Islam adalah agama yang diyakini sebagai agama yang paling benar oleh para penganutnya. Namun, sebagai peradaban, Islam tak bisa terpisah dengan peradaban agama-agama yang lain. Islam harus terbuka dan membangun jembatan dengan peradaban lain.

Islam sebagai peradaban inilah yang kemudian melahirkan sebuah diktum yang sangat populer, "saya menemukan 'Islam' di Barat tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan Muslim di Mesir tanpa 'Islam'." Abduh hendak mengacu pada nilai-nilai universal Islam yang jauh lebih membumi di Barat dibandingkan di dunia Islam, khususnya di Mesir.

Warisan Abduh terus diabadikan di Mesir, khususnya di Al-Azhar sebagai pusat pemikiran keislaman. Filsafat diajarkan di Al-Azhar, bahkan Grand Syaikh Al-Azhar yang sekarang, Syaikh Ahmad Thayyib, adalah jebolan jurusan filsafat dan mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat Islam dari Universitas Sorbonne, Paris. 

Meskipun demikian, pembaruan tidak berjalan mulus. Pada tahun 1928 muncul gerakan Ikhwanul Muslimin yang diinisiasi oleh Hasan al-Banna. Gerakan ini sebagai antitesis atas gerakan kultural Abduh. Al-Banna menegaskan mengenai perlunya gerakan politik yang meneguhkan kembali Khilafah Islamiyah dan formalisasi syariat Islam. Meskipun mereka menggunakan instrumen gerakan kultural, sejak awal Al-Banna telah meneguhkan ideologi Khilafah Islamiyah.

Puncaknya, Sayyed Quthb pada tahun 1950-an dan 1960-an meneguhkan perlunya menggunakan jalan apa pun untuk mencapai tujuan, termasuk menggunakan kekerasan. Bukunya, Ma'alim fi al-Thariq, menjadi peneguhan bahwa di dunia hanya ada dua golongan: Islam dan jahiliyah. Islam harus memerangi jahiliyah. Meski sebelumnya sudah ditengarai ada beberapa aksi kekerasan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, sejak masa Sayyed Quthb jalur kekerasan semakin menguat. Selain dimotori oleh ideologi yang kokoh, hal tersebut juga tak terlepas dari konteks sosial-politik yang sangat represif terhadap Ikhwanul Muslimin, khususnya pada masa Gamal Abdul Nasser yang sangat menentang Khilafah Islamiyah.

Al-Azhar 

Kini, gerakan pembaruan dan kelompok ekstremis sama-sama eksis di Mesir. Keduanya masih berkontestasi di ruang publik. Al-Azhar sebagai corong moderasi Islam konsisten pada jalur pendidikan dan pemberdayaan umat. Hampir semua lembaga pendidikan Islam di bawah kendali Al-Azhar. Sedangkan Ikhwanul Muslimin semakin mengukuhkan sebagai gerakan politik, terutama pasca revolusi dan berhasil menjadikan kadernya, Muhammad Mursi, berkuasa, meskipun belakangan dilengserkan oleh militer atas mandat rakyat.

Al-Azhar menjadi faktor penting moderasi dan pembaruan pemikiran keagamaan di Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Didirikan oleh Dinasti Fatimiyyah yang beraliran Syiah, Al-Azhar konsisten membangun harmoni dan keseimbangan. Bahkan, Al-Azhar bersama lembaga titik-temu Sunni-Syiah yang berpusat di Iran telah lama mendorong dialog dan persuasi antara Sunni dan Syiah, yang diprakarsai Syaikh Mahmud Syaltut. Dalam sebuah fatwanya yang sangat populer, Syaikh Syaltut menegaskan, Syiah adalah salah satu mazhab dalam Islam, dan fikih mazhab Ja'fariyah dan Zaydiyah digunakan oleh Syiah sebagai salah satu mazhab yang diakui dalam Islam. Di Al-Azhar sendiri diajarkan enam mazhab fikih, yaitu Syafii, Maliki, Hanafi, Hambali, Ja'fari, dan Zaydi.

Tak hanya itu, Al-Azhar mendorong dialog antar-iman dengan berbagai agama yang eksis di Mesir, seperti Kristen Koptik, Katolik, Kristen, Yahudi, dan Bahai. Bahkan, Al-Azhar mendirikan "Rumah Keluarga" (bayt al-'ailah) sebagai tuan rumah bagi agama-agama agar senantiasa menjaga keharmonisan dan kerukunan. Kini, Al-Azhar sedang melakukan pemberdayaan dan pencerahan kepada seluruh khatib Jumat di seantero Mesir agar mereka mendakwahkan Islam yang damai, ramah, dan sejuk. Tantangannya sekarang terletak pada masjid-masjid yang masih dikuasai Ikhwanul Muslimin dan kaum Salafi yang cenderung menolak seruan Al-Azhar.

Langkah Pemerintah Mesir mendorong pembaruan pemikiran keagamaan patut diapresiasi dan mendapat perhatian karena langkah ini medium deradikalisasi yang sangat efektif untuk memastikan bahwa moderasi Islam terus membumi dan mewarnai ruang publik. Hanya dengan cara itu, penetrasi NIIS dapat diantisipasi agar tak meluas. []

KOMPAS, 04 Maret 2015
Zuhairi Misrawi, Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah The Middle East Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar