Selasa, 17 Maret 2015

Satrawi: Dampak ISIS di Timur Tengah



Dampak ISIS di Timur Tengah
Oleh: Hasibullah Satrawi

HILANGNYA 16 warga negara Indonesia (WNI) di Turki dalam sebuah perjalanan tur harus diwaspadai secara serius oleh semua pihak, khususnya pemerintah. Sampai tulisan ini ditulis (12/3) belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang bahwa peristiwa ini terkait dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau tidak. Namun, dilihat dari beberapa petunjuk yang ada, sangat mungkin peristiwa ini terkait dengan ISIS.

Salah satu dari petunjuk yang dimaksud ialah adanya kesan `suka rela' dari 16 WNI untuk tidak kembali ke Indonesia. Pihak berwenang Turki berhasil menemukan dan menahan 16 WNI saat hendak memasuki wilayah Suriah (metrotvnews.com, 12/3).

Bila benar mereka hendak bergabung ke ISIS, yang terjadi sesungguhnya bukan peristiwa `orang hilang', melainkan menghilangkan diri atau hijrah (dalam bahasa yang ke rap digunakan oleh kelompok anti-NKRI seperti ISIS). Sejauh ini, bukan hanya Indonesia yang mengalami peristiwa seperti ini. Jauh hari sebelumnya ribuan orang asing (termasuk dari negara-negara Barat) juga melakukan hijrah dari negara asalnya ke ISIS yang berbasis di sebagian wilayah Suriah dan Irak.

Inilah yang membuat masyarakat dunia mempersoalkan keberadaan ISIS. Apalagi, kelompok ini kerap meneguhkan eksistensinya dengan cara-cara kekerasan, seperti menyandera para tahanan yang kemudian dieksekusi mati, termasuk eksekusi mati dengan cara dibakar (seperti dialami oleh salah satu pilot tempur Yordania beberapa waktu lalu).

Namun demikian, dampak yang jauh lebih destruktif secara fundamental justru terjadi di wilayah Timur Tengah sendiri. Keberadaan ISIS di kawasan ini, tak hanya menarik warga negara lain untuk bergabung dengan kelompok ini.Lebih jauh lagi, keberadaan kelompok ini telah menyebabkan terjadinya beberapa perubahan secara fundamental.

Di antara perubahan yang terjadi di Timur Tengah pascakeberadaan ISIS, yaitu pertama ialah berhentinya laju Arab Spring atau Musim Semi Arab yang berhasil menggulingkan beberapa penguasa di sebagian negara Arab. Arab Spring juga mengguncang pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah sampai sekarang. Alih-alih berhasil, Arab Spring di Suriah justru membawa negeri itu ke dalam perang saudara.Bahkan, perang saudara di Suriah acap berubah menjadi perang sektarian (Sunni versus Syiah) yang kemudian mengundang hadirnya para militan regional dan internasional dari kedua belah pihak.

Inilah yang penulis sebut dengan istilah `embrio' politik bagi terbentuknya ISIS di sebagian wilayah Suriah dan Irak. Kini ISIS telah menjelma sebagai organisasi terorisme baru secara global yang bahkan mampu mengalahkan kelompok Al-Qaeda. Keberadaan ISIS pada akhirnya berhasil menghentikan laju Arab Spring sekaligus menjadi obat penenang bagi para penguasa di kawasan yang tidak sempat terjungkal akibat Arab Spring, termasuk di antaranya ialah Presiden Suriah, Bashar al-Assad.

Kedua, pembentukan koalisi global baru antiterorisme. Sebagaimana dimaklumi, dalam rangka memerangi ISIS yang menjelma sebagai kelompok teroris baru secara internasional, Amerika Serikat (AS) membentuk koalisi global baru yang melibatkan banyak negara sebagai anggota, termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, seperti Yordania.

Pembentukan koalisi global antiterorisme sekarang mempunyai kemiripan dengan koalisi kurang lebih sama yang terbentuk sesaat setelah AS diserang serangkaian aksi terorisme pada 11 September 2001 lalu. Bedanya ialah dalam koalisi pertama, pasukan AS bahkan memberlakukan serangan darat untuk menghancurkan jaringan Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden yang saat itu berpusat di Afghanistan. Dalam koalisi kali ini, pasukan global hanya mencukupkan diri dengan serangan udara.

Ketiga, keberadaan ISIS juga berhasil memperkuat kesepahaman politik antara Iran dan AS. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan para petinggi dari negara-negara terkait, termasuk Irak. Bahkan, dalam perkembangan terkini diberitakan akan ada operasi bersama di Irak, untuk membebaskan wilayah-wilayah Irak yang selama ini dapat dikuasai oleh ISIS (Asharq Al-Awsat, 5/3).

Kesepahaman inilah yang sempat menimbulkan `kecemburuan politik' di kalangan koalisi AS yang lain, khususnya Israel. Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan di hadapan Kongres AS, Benjamin Netanyahu mengkritik keras `kedekatan' AS dengan Iran. Israel menuduh bahwa Iran tetap mengembangkan nuklirnya. Bahkan, Israel menekankan bahwa tidak ada bedanya antara Iran, ISIS, maupun Al-Qaeda (al-jazeera.net, 4/3).

Harus diakui bersama, pernyataan Benjamin di atas tidak sepenuhnya benar. Dikatakan demikian karena Iran belakangan sudah banyak melakukan perubahan, khususnya terkait dengan isu nuklir.

Di sini dapat dikatakan, pernyataan Benjamin di atas lebih mencerminkan sebagai kekhawatiran Israel terhadap Iran yang saat ini menjadi satu-satunya potensi ancaman keamanan bagi Israel (setelah negara-negara Arab berjatuhan).Desakan Israel agar AS bersikap tegas terhadap Iran sesungguhnya bisa dipahami sebagai upaya `menghancurkan' lawan dengan tangan teman.

Namun demikian, pernyataan Benjamin di atas juga tidak sepenuhnya salah. Faktanya, Iran saat ini mempunyai peran signifikan di Suriah, Libanon, Yaman, dan Irak. Menurut sebagian sumber, para konsultan militer Iran berada di negara-negara tersebut untuk merancang strategi yang harus dilakukan untuk menghadapi musuh-musuhnya.

Di sini dapat ditegaskan, dalam konteks Timur Tengah, Iran justru menjadi pihak yang paling diuntungkan dari keberadaan ISIS dengan segenap kebrutalan dan sadisme yang dilakukan. Di satu sisi, keberadaan ISIS berhasil menyelamatkan dan membentangkan kepentingan-kepentingan Iran di sejumlah negara Arab yang telah menjadi kepanjangan tangan mereka. Di sisi lain, keberadaan ISIS telah membuat hubungan AS-Iran berangsur-angsur membaik.

Sementara negara-negara lain justru kebagian pelbagai macam keburukan ISIS, termasuk Indonesia. Apalagi, ISIS melakukan kampanye terbuka agar kaum jihadis internasional bergabung dengan mereka dan kaum jihadis internasional pun terus berbondong-bondong mendatangi basis-basis ISIS di Timur Tengah, termasuk kaum jihadis dari Indonesia. []

MEDIA INDONESIA, 13 Maret 2015
Hasibullah Satrawi  ;  Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar