Dampak ISIS di Timur Tengah
Oleh: Hasibullah Satrawi
HILANGNYA 16 warga negara Indonesia (WNI) di Turki dalam sebuah
perjalanan tur harus diwaspadai secara serius oleh semua pihak, khususnya
pemerintah. Sampai tulisan ini ditulis (12/3) belum ada keterangan resmi dari
pihak berwenang bahwa peristiwa ini terkait dengan Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS) atau tidak. Namun, dilihat dari beberapa petunjuk yang ada, sangat
mungkin peristiwa ini terkait dengan ISIS.
Salah satu dari petunjuk yang dimaksud ialah adanya kesan `suka
rela' dari 16 WNI untuk tidak kembali ke Indonesia. Pihak berwenang Turki
berhasil menemukan dan menahan 16 WNI saat hendak memasuki wilayah Suriah (metrotvnews.com, 12/3).
Bila benar mereka hendak bergabung ke ISIS, yang terjadi
sesungguhnya bukan peristiwa `orang hilang', melainkan menghilangkan diri atau
hijrah (dalam bahasa yang ke rap digunakan oleh kelompok anti-NKRI seperti ISIS).
Sejauh ini, bukan hanya Indonesia yang mengalami peristiwa seperti ini. Jauh
hari sebelumnya ribuan orang asing (termasuk dari negara-negara Barat) juga
melakukan hijrah dari negara asalnya ke ISIS yang berbasis di sebagian wilayah
Suriah dan Irak.
Inilah yang membuat masyarakat dunia mempersoalkan keberadaan
ISIS. Apalagi, kelompok ini kerap meneguhkan eksistensinya dengan cara-cara
kekerasan, seperti menyandera para tahanan yang kemudian dieksekusi mati,
termasuk eksekusi mati dengan cara dibakar (seperti dialami oleh salah satu
pilot tempur Yordania beberapa waktu lalu).
Namun demikian, dampak yang jauh lebih destruktif secara
fundamental justru terjadi di wilayah Timur Tengah sendiri. Keberadaan ISIS di
kawasan ini, tak hanya menarik warga negara lain untuk bergabung dengan
kelompok ini.Lebih jauh lagi, keberadaan kelompok ini telah menyebabkan
terjadinya beberapa perubahan secara fundamental.
Di antara perubahan yang terjadi di Timur Tengah pascakeberadaan
ISIS, yaitu pertama ialah berhentinya laju Arab Spring atau Musim Semi Arab
yang berhasil menggulingkan beberapa penguasa di sebagian negara Arab. Arab
Spring juga mengguncang pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah sampai sekarang.
Alih-alih berhasil, Arab Spring di Suriah justru membawa negeri itu ke dalam
perang saudara.Bahkan, perang saudara di Suriah acap berubah menjadi perang
sektarian (Sunni versus Syiah) yang kemudian mengundang hadirnya para militan
regional dan internasional dari kedua belah pihak.
Inilah yang penulis sebut dengan istilah `embrio' politik bagi
terbentuknya ISIS di sebagian wilayah Suriah dan Irak. Kini ISIS telah menjelma
sebagai organisasi terorisme baru secara global yang bahkan mampu mengalahkan
kelompok Al-Qaeda. Keberadaan ISIS pada akhirnya berhasil menghentikan laju
Arab Spring sekaligus menjadi obat penenang bagi para penguasa di kawasan yang
tidak sempat terjungkal akibat Arab Spring, termasuk di antaranya ialah
Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Kedua, pembentukan koalisi global baru antiterorisme. Sebagaimana
dimaklumi, dalam rangka memerangi ISIS yang menjelma sebagai kelompok teroris
baru secara internasional, Amerika Serikat (AS) membentuk koalisi global baru
yang melibatkan banyak negara sebagai anggota, termasuk negara-negara
berpenduduk mayoritas muslim, seperti Yordania.
Pembentukan koalisi global antiterorisme sekarang mempunyai
kemiripan dengan koalisi kurang lebih sama yang terbentuk sesaat setelah AS
diserang serangkaian aksi terorisme pada 11 September 2001 lalu. Bedanya ialah
dalam koalisi pertama, pasukan AS bahkan memberlakukan serangan darat untuk
menghancurkan jaringan Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden yang saat itu
berpusat di Afghanistan. Dalam koalisi kali ini, pasukan global hanya
mencukupkan diri dengan serangan udara.
Ketiga, keberadaan ISIS juga berhasil memperkuat kesepahaman
politik antara Iran dan AS. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan para petinggi
dari negara-negara terkait, termasuk Irak. Bahkan, dalam perkembangan terkini
diberitakan akan ada operasi bersama di Irak, untuk membebaskan wilayah-wilayah
Irak yang selama ini dapat dikuasai oleh ISIS (Asharq Al-Awsat, 5/3).
Kesepahaman inilah yang sempat menimbulkan `kecemburuan politik'
di kalangan koalisi AS yang lain, khususnya Israel. Dalam sebuah pernyataan
yang disampaikan di hadapan Kongres AS, Benjamin Netanyahu mengkritik keras
`kedekatan' AS dengan Iran. Israel menuduh bahwa Iran tetap mengembangkan
nuklirnya. Bahkan, Israel menekankan bahwa tidak ada bedanya antara Iran, ISIS,
maupun Al-Qaeda (al-jazeera.net,
4/3).
Harus diakui bersama, pernyataan Benjamin di atas tidak sepenuhnya
benar. Dikatakan demikian karena Iran belakangan sudah banyak melakukan
perubahan, khususnya terkait dengan isu nuklir.
Di sini dapat dikatakan, pernyataan Benjamin di atas lebih
mencerminkan sebagai kekhawatiran Israel terhadap Iran yang saat ini menjadi
satu-satunya potensi ancaman keamanan bagi Israel (setelah negara-negara Arab
berjatuhan).Desakan Israel agar AS bersikap tegas terhadap Iran sesungguhnya
bisa dipahami sebagai upaya `menghancurkan' lawan dengan tangan teman.
Namun demikian, pernyataan Benjamin di atas juga tidak sepenuhnya
salah. Faktanya, Iran saat ini mempunyai peran signifikan di Suriah, Libanon,
Yaman, dan Irak. Menurut sebagian sumber, para konsultan militer Iran berada di
negara-negara tersebut untuk merancang strategi yang harus dilakukan untuk
menghadapi musuh-musuhnya.
Di sini dapat ditegaskan, dalam konteks Timur Tengah, Iran justru
menjadi pihak yang paling diuntungkan dari keberadaan ISIS dengan segenap
kebrutalan dan sadisme yang dilakukan. Di satu sisi, keberadaan ISIS berhasil
menyelamatkan dan membentangkan kepentingan-kepentingan Iran di sejumlah negara
Arab yang telah menjadi kepanjangan tangan mereka. Di sisi lain, keberadaan
ISIS telah membuat hubungan AS-Iran berangsur-angsur membaik.
Sementara negara-negara lain justru kebagian pelbagai macam
keburukan ISIS, termasuk Indonesia. Apalagi, ISIS melakukan kampanye terbuka
agar kaum jihadis internasional bergabung dengan mereka dan kaum jihadis
internasional pun terus berbondong-bondong mendatangi basis-basis ISIS di Timur
Tengah, termasuk kaum jihadis dari Indonesia. []
MEDIA INDONESIA, 13 Maret 2015
Hasibullah Satrawi ; Pengamat
politik Timur Tengah dan dunia Islam; Direktur
Aliansi Indonesia Damai (Aida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar