Jumat, 06 Maret 2015

Azyumardi: Dua Pesantren, Dua Budaya (2)



Dua Pesantren, Dua Budaya (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Dua pesantren, dua budaya. Masa dua puluh tahun terakhir, setidaknya sejak 1990-an sampai sekarang, pesantren mengalami transformasi baik secara fisik, kelembagaan maupun substansi pendidikan. Perubahan-perubahan itu agaknya mungkin tidak pernah dibayangkan kalangan pesantren sendiri dan pemerhati lembaga pendidikan ini—yang sejak masa awal pembangunan Orde Baru pada awal 1970-an telah berbicara tentang ‘krisis pesantren’.

Apa yang disebut sebagai ‘krisis’ terutama terkait identitas tradisional pesantren seperti otoritas kiyai yang mutlak, santri yang mandiri, bersahaja, dan bekerja keras untuk menuntut ilmu. Modernisasi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru juga masuk ke pesantren menyangkut pembaruan kurikulum dan fasilitas seperti ‘listrik masuk pesantren’ yang membuat tersingkirnya sumur dan ember untuk digantikan mesin pompa air, sehingga para santri tidak perlu lagi menimba air—yang diasumsikan mengurangi kemandirian mereka.

Kedua pesantren, an-Nuqayah dan MTI Candung—seperti juga kebanyakan pesantren lain, khususnya di pulau Jawa dan Madura—mengalami banyak perubahan baik fisik maupun substansi. Perubahan dalam berbagai aspek pesantren itu tidak bisa lain juga menimbulkan perubahan citra pesantren dalam masyarakat Indonesia.

Dari sudut populasi, Pesantren al-Nuqayah yang terdiri dari berbagai lembaga pendidikan memiliki lebih dari 8.000 santri dengan pesantren cabang daerah sekitar 14. Sedangkan Pesantren MTI Candung memiliki sepersepuluhnya, sekitar 800 santri. Cabang pesantren MTI juga memiliki sejumlah cabang yang tersebar di berbagai tempat di Sumatera Barat.

Dalam hal perubahan citra, para santri pada kedua pesantren itu sudah lama tidak lagi merupakan ‘santri budug’ (kudisan) karena asrama dan kamar tidur yang tidak bersih, sehingga tempat tidur mereka dipenuhi budug alias kepinding. Kini mereka hidup di lingkungan lebih higienis, bersih dan sehat. Perubahan ini dimungkinkan karena perubahan lingkungan fisik pesantren secara keseluruhan.

Perubahan fisik itu sangat jelas terlihat. Pesantren an-Nuqayah misalnya kini berdiri di atas lahan seluas 14 hektar. Di atas lahan itu ada dua masjid jami’; satunya warisan lama, dan satunya lagi masih baru dan megah. Lalu masih ada sembilan mushalla, 525 asrama santri 19 fasilitas perkantoran, 100 ruang kelas, satu kantor pos, dua gedung sekolah tinggi, 102 kamar mandi dan kakus, satu perpustakaan pesantren dan 14 perpustakaan daerah dan sekolah. Sebagian besar gedung di lingkungan pesantren ini permanen berlantai tiga

Data fisik an-Nuqayah jelas mengagumkan. Tak banyak lembaga pendidikan baik umum maupun Islam yang memiliki fasilitas selengkap itu. Bahkan bisa dengan mudah ditemukan masih cukup banyak lembaga pendidikan di negeri ini yang memiliki fasilitas pas-pasan.

Pesantren MTI Candung agaknya termasuk ke dalam kelompok yang disebut terakhir. Pesantren ini berada di lokasi tanah tidak begitu luas. Menjawab pertanyaan penulis Resonansi, seorang Tuanku Mudo (‘kiyai muda’) menyatakan lahan MTI Candung sekitar 1,2 hektar yang sudah penuh sesak dengan bangunan—yang beberapa di antaranya bertingkat dua. Ia menuturkan, MTI Candung sedang mengusahakan pembelian lahan seluas 8.000 meter, tidak jauh dari lokasi pesantren sekarang; tetapi harga sudah relatif mahal, hampir tidak terjangkau kemampuan keuangan pesantren. Itulah kendala utama Pesantren MTI, sehingga tidak bisa ekspansi, misalnya saja asrama santri putra yang sudah lama direncanakan hingga kini belum bisa dibangun karena ketiadaan lahan.

Dua pesantren, dua budaya. Di sinilah terletak kontras kedua pesantren dalam konteks budaya masyarakatnya. Masyarakat Madura sering disebut sebagai ‘miskin’ karena tanahnya yang berkapur dan tandus. Berbeda dengan lingkungan Candung yang subur. Tetapi kedua masyarakat ini, baik Madura maupun Minang sama-sama punya tradisi merantau; kelompok pertama karena susah penghidupan di negeri sendiri, sedangkan kelompok kedua lebih karena tradisi sosial budaya yang mengidealisasikan dan meromantisasi merantau.

Meski banyak orang Madura pergi merantau, mereka adalah Muslim sangat bersemangat. Sepanjang jalan sejak dari ujung jembatan Suramadu menuju Sumenep orang bisa menyaksikan deretan masjid demi masjid megah di sepanjang jalan. Hal ini kontras dengan Sumatera Barat. Jika orang berkendara dari Bandara Internasional Minang (BIM) di Kataping Padang Pariaman menuju Bukittingi, jelas tidak terlihat deretan masjid yang sambung menyambung seperti yang bisa ditemukan sepanjang perjalanan menuju Sumenep.

Karena semangat itu pula, kelihatan Pesantren an-Nuqayah tidak menemui kesulitan berarti dalam hal lahan. Bahkan pesantren ini memiliki lahan wakaf yang dikelola menjadi perkebunan tanaman palawija seluas sedikitnya 26 hektare. Pesantren an-Nuqayah juga memiliki lahan wakaf lain seluas 19 hektare lebih.

Sementara itu, ketersediaan lahan merupakan masalah sangat pelik di Sumatera Barat. Terkait kerumitan soal hak ‘ulayat’ atau ‘pusaka tinggi’, amat sulit memperoleh lahan untuk kepentingan bisnis atau kepentingan keagamaan dan pendidikan. Seperti terlihat dalam kasus Pesantren MTI  dan lembaga pendidikan lain, sulit sekali menemukan adanya pemberian wakaf lahan dalam jumlah hektaran di Sumatera Barat. []

REPUBLIKA, 05 Maret 2015
Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar