Jumat, 13 Maret 2015

Azyumardi: Dua Pesantren, Dua Budaya (3)



Dua Pesantren, Dua Budaya (3)
Oleh: Azyumardi Azra

Dua pesantren, dua budaya. Kedua pesantren: an-Nuqayah Guluk-guluk, Sumenep, Madura, dan MTI Candung, Bukittinggi, Sumatra Barat, jelas menampilkan gambaran berbeda. Sistem sosial, adat, dan corak Islam yang tumbuh dan berkembang dalam masing-masing suku sangat memengaruhi dinamika-pasang dan surutnya pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam lain semacam madrasah.

Dalam masyarakat Madura, keterkaitan kuat antara pesantren dan masyarakat masih bertahan. Meminjam kategori klasik Deliar Noer, Islam tradisionalis yang menekankan ketundukan pada ulama yang berpusat di pesantren sebagian besar juga masih berlanjut. Karena itu, pesantren tetap bertahan.

Sementara dalam masyarakat Minang terlihat ada kerenggangan-jika tidak keterputusan-di antara masyarakat dan adat yang konon 'tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas' dengan pesantren. Islam modernis yang hegemonik di Sumatra Barat, justru menggugat otoritas ulama yang berpusat pada surau, lembaga pendidikan Islam tradisional Minang. Melekatnya citra yang tidak positif terhadap surau memaksa para pengasuhnya mengadopsi istilah pesantren.

Adopsi istilah pesantren khususnya sejak 1970-an oleh lembaga pendidikan Islam tradisional di luar Pulau Jawa menjadi momentum yang tidak pernah bisa lagi dimundurkan. Perubahan ini sekaligus merupakan konsolidasi lembaga pendidikan Islam tradisional yang sangat krusial bagi perjalanan pesantren dalam masa selanjutnya sampai sekarang.

Penting dicatat, sejak masa awal sejarahnya berbarengan dengan peningkatan penyebaran Islam sejak akhir abad ke-13, pesantren memainkan peran lebih daripada sekadar lembaga pendidikan. Sejak awal, pesantren menjadi salah satu lembaga sentral dalam proses Islamisasi. Adalah dari pesantren bermula transmisi keilmuan dan kecakapan keislaman.

Mengalami ekspansi dan konsolidasi secara fenomenal sejak abad ke-19, pesantren menjadi pusat keilmuan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Hal terakhir ini terjadi tidak lain karena pesantren sekali menjadi pusat tasawuf dan tarekat yang sejak akhir abad ke-18 mengalami 'eksklusivisasi' dan 'radikalisasi'. Seperti dicatat sejawaran Sartono Kartodirdjo, semua perkembangan terkait pesantren dan tarekat ini memunculkan 'kebangkitan agama' (religious revivalism) dengan semangat antikolonial yang terus meningkat.

Masa Orde Lama menyaksikan pesantren yang tetap bertahan dalam kesendiriannya -tanpa kemajuan berarti. Dalam perspektif perbandingan, lembaga pendidikan Islam tradisionalis berupa madrasah konvensional di wilayah dunia Arab, misalnya sejak 1960-an, mengalami integrasi ke dalam sistem pendidikan umum. Hasilnya, sekarang hampir tidak ada lagi lembaga pendidikan sebanding (comparable) dengan pesantren. Karena itulah, Indonesia merupakan negara Muslim terkaya dengan warisan lembaga pendidikan Islam tradisionalnya.

Pesantren menemukan momentum sejak masa Orde Baru ketika pemerintah menginginkan pesantren tidak hanya sebagai 'objek', tetapi lebih lagi sebagai 'subjek', pelaku pembangunan masyarakat Muslim, khususnya di perdesaan. Di sini pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam pembinaan koperasi; ekonomi mikro, kecil, dan menengah; kesehatan masyarakat; pemeliharaan lingkungan hidup, keluarga berencana, dan seterusnya.

Harapan pada pesantren datang tidak hanya dari pemerintah, tetapi lebih-lebih lagi dari masyarakat Muslim sendiri. Secara konvensional, harapan umat itu mencakup pesantren sebagai lokus transmisi ilmu Islam, pemeliharaan ortodoksi dan tradisi Islam Indonesia, dan kaderisasi calon ulama.

Mobilitas pendidikan, sosial, dan ekonomi umat sejak 1980-an sampai sekarang meningkatkan ekspektasi pada pesantren. Pesantren diharapkan tidak hanya membekali para santri dengan ilmu keislaman, tetapi juga dengan ilmu umum yang memperbesar ruang gerak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Atas alasan itu, pesantren juga mengembangkan pendidikan umum yang umumnya terbentuk melalui madrasah umum sejak dari tingkat dasar (ibtida'iyah), menengah pertama (tsanawiyah), dan menengah atas (aliyah). Dalam bidang pendidikan ini saja, banyak pesantren kini menjadi holding instution, lembaga induk yang mengikat berbagai institusi pendidikan sejak dari tingkat TK/RA, dasar, menengah, dan tinggi, baik yang berbasiskan pendidikan ilmu umum maupun agama.

Pesantren juga menjadi holding institution dalam bidang nonkependidikan, tegasnya dalam lapangan pengembangan masyarakat, baik terkait ekonomi, teknologi, kesehatan, dan seterusnya. Dengan demikian, pesantren menjadi lembaga yang sangat esensial dalam lingkungan masyarakatnya.

Dua pesantren, dua budaya. Banyak pesantren tidak memiliki kapasitas menjadi holding institution. Namun, harapan masyarakat tidak berkurang. Menyangkut pesantren besar semacam an-Nuqayah, misalnya, Usep Fathuddin, peneliti senior yang terlibat aktif dalam program LP3ES sejak pertengahan 1970-an untuk pengembangan pesantren, menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut tentang berapa besar hasil pesantren terhadap lingkungannya; apakah masyarakat sekitarnya menjadi lebih terdidik, lebih makmur, lebih damai -tidak lagi berlaku seperti zaman jahiliyah dengan balas membalas secara kekerasan? Pertanyaan-pertanyaan dapat menjadi langkah awal meneliti pesantren masa kini. []

REPUBLIKA, 12 March 2015
Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar