Polisi,
Berdamai dengan Negara!
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Negara tanpa polisi tidaklah mungkin, dan polisi tanpa negara hanya ada di dunia antah berantah. Demikian menyatunya hubungan polisi dengan negara sehingga keberadaan yang satu mewajibkan keberadaan yang lain.
Di mana pun di muka bumi, tugas polisi itu sungguh mulia: menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Di era kerajaan Majapahit, Mahapatih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.
Karena di zaman itu posisi rakyat adalah abdi (hamba), maka tugas bhayangkara tidaklah dikatakan sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat seperti yang sekarang ditentukan dalam UU Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002. Di alam Indonesia merdeka nama warisan Gajah Mada ini telah diabadikan oleh kepolisian kita.
Dalam Pasal 2 UU Kepolisian itu, secara eksplisit dikatakan bahwa “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Jika dalam kenyataannya masyarakat merasa tidak aman, tidak terayomi, ketertiban terganggu, hukum tidak tegak, maka dengan demikian institusi kepolisian itu belum berfungsi secara baik dan efektif. Apalagi, misalnya, dari rahim institusi kepolisian muncul pula oknum polisi yang bikin kacau masyarakat, maka kesimpulan yang benar adalah bahwa pasal 2 itu telah nyata-nyata dikhianati dan ditelikung untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek yang tidak sehat.
Tetapi karena fungsi kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara, maka institusi yang mahapenting dan strategis ini perlu pembenahan radikal dan menyeluruh. Dan tugas pembenahan ini dapat dilakukan oleh pihak kepolisian bersama para pakar lain yang berintegritas, profesional, dan punya visi sebagai negarawan.
Tanpa pembenahan yang menyeluruh ini, maka UU No 2 Tahun 2002 itu akan tetap melayang di awan tinggi, sedangkan di bumi nyata UU itu telantar, tidak diacuhkan. Saya kenal polisi yang baik dan berintegritas itu tidak kurang jumlahnya. Batin mereka ini sangat menderita melihat betapa runyamnya institusi kepolisian sejak berapa tahun terakhir ini.
Sinisme publik yang diwakili Gus Dur tentang polisi: “Di Indonesia ini hanya tiga polisi yang jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng,” sungguh sangat menyakitkan batin para polisi yang baik ini.
Dalam bacaan saya, Jenderal Pol Hoegeng Imam Santoso (14 Oktober 1921-14 Juli 2004) memang belum ada duanya di Indonesia, tetapi bibit-bibit yang mewarisi roh Hoegeng pasti ada di kalangan kepolisian. Nama Hoegeng sudah melegenda, tetapi tidak banyak perwira polisi yang bersedia mencontohnya.
Bagi mereka Hoegeng itu terlalu tinggi dan sulit untuk dicontoh karena karakter dan kualitas moralnya yang sangat prima. Tuan dan puan yang ingin tahu keistimewaan Hoegeng ini dapat ditelusuri lewat Google tentang betapa mulianya akhlak anak bangsa kelahiran Pekalongan ini.
Saya sarankan agar Akpol dan STIK mewajibkan para mahasiswanya membaca dengan teliti biografi Hoegeng ini. Sungguh memukau dan mengharukan. Sekiranya institusi kepolisian tergenggam di tangan Hoegeng-Hoegeng muda, Indonesia akan aman, damai, dan tertib. Saya tidak keberatan agar polisi diberi gaji yang tinggi.
Dari sumber-sumber primer yang sangat dapat dipercaya, saya diberi tahu bahwa isu rekening gendut nyata adanya, bukan dengan tujuan untuk memojokkan kepolisian. Kita semua sangat merindukan proses reformasi kepolisian harus dituntaskan dalam tempo yang tidak lama agar wibawa institusi kenegaraan ini menjadi pulih kembali sesuai dengan yang diminta oleh UU Kepolisian Tahun 2002 itu.
Percayalah, harta yang didapat secara haram pasti tidak akan membawa berkah. Semua agama punya pandangan yang sama tentang masalah yang menyangkut moralitas ini. Oleh sebab itu, saya sarankan agar pemilikik rekening gendut itu berdamai dengan negara: serahkan sebagian harta itu kepada negara dan minta sebagian yang lain untuk menghidupi dua keturunan. Dengan cara ini diharapkan hidup akan menjadi lebih tenang karena harta sudah diputihkan. Selamat berdamai dengan negara! []
REPUBLIKA,
10 Maret 2015
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar