Budaya Memanipulasi
Oleh: Mohamad Sobary
Kita hidup di dalam iklim kebudayaan manipulatif yang
berkembang sejak zaman Orde Baru. Manipulasi demi manipulasi itu dulu
sebetulnya memang lahir dari kebutuhan nasional kita sehingga racun manipulasi
di dalamnya tak begitu kita rasakan. Apa yang sekarang kita anggap sebagai
manipulasi pada saat itu memang bukan masalah bagi kita.
Atas nama ”modernisasi”, pada tahun-tahun 1968/1969 pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuka berbagai pusat kursus di daerah Karet untuk mengisi kebutuhan birokrasi kantor-kantor pemerintah. Ada Kursus Pegawai Administrasi (KPA), ada Kursus Pegawai Administrasi Atas (KPAA).
Mereka dilatih keterampilan di bidang ”administrasi” untuk menjadi tenaga terampil yang disetarakan dengan lulusan SLP dan SLA. Kebijakan resmi itu jelas: ”setara” ”tidak setara” pokoknya ”disetarakan”. Dengan begitu mereka yang menempuh kursus dalam waktu lebih pendek itu secara resmi memiliki derajat dan kepangkatan sama persis dengan lulusan tingkat SLP maupun SLA.
Di tahun-tahun sesudahnya, sebutan crash-programme terdengar begitu mentereng, begitu ”modern” dan menjadi solusi atas berbagai macam soal. Dan kita tak merasakan sama sekali bahwa di kemudian hari hal-hal semacam itu akan menjadi masalah besar bagi kualitas dan harkat manusia, yang juga kualitas dan harkat seluruh bangsa kita.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dengan menteri-menterinya yang silih berganti, kelihatannya hanya menikmati posisi elite itu dan sama sekali tak ada yang berfilsafat atau sedikit berpikir bahwa kebijakan-kebijakan resmi mereka itu merongrong habis-habisan kewibawaan lembaga mereka sendiri.
Akibatnya juga jelas menggerogoti harkat kemanusiaan kita hingga saat ini. Kecuali pusat-pusat kursus yang dipelihara dengan baik itu, menteri-menteri itu juga membiarkan–bahkan mengizinkan–lahirnya SMA-SMA swasta yang kualitasnya tak begitu membahagiakan kita.
Di Jakarta ada satu SMA swasta yang khusus buat anak-anak–banyak di antaranya anak ”bengal” para pejabat negara–yang merasa tak begitu cocok dengan SMA ”biasa”, yang menanamkan disiplin belajar dan bertingkah laku sebagai pelajar, dengan baik. Ini jalan menyimpang dari tatanan sekolah yang kita dambakan.
Tapi penyimpangan itu ”resmi”, setidaknya ”setengah” resmi, karena pejabat di bidang itu tahu persis persoalannya seperti mereka tahu diri mereka sendiri. Di tingkat pendidikan tinggi, lahir pula secara ”resmi” berbagai sekolah tinggi berupa akademi maupun universitas yang secara ideal menjawab kebutuhan pendidikan bagi bangsa.
Tapi sebetulnya mereka hanya melihat sisi bisnis besar yang menguntungkan. Mereka tak begitu menaruh perhatian atas pendidikan–apalagi kualitas pendidikan–dan para pejabat tinggi di departemen itu turut berbahagia menyambut lahirnya begitu banyak sekolah tinggi yang, sejak awal, semangat dasarnya hanya ”berjualan” ijazah tanpa ada tanggung jawab.
Kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan tinggi model itu,
yang beroperasi sore dan malam hari, pada umumnya buat melayani pegawai-pegawai
kantor pemerintah dan, maaf, anak-anak ”buangan” yang kualitas akademiknya tak
begitu memberi harapan. Kedua kelompok ini aspirasinya sama: yang penting
memperoleh ijazah sarjana biarpun nilai kesarjanaan sama sekali tak ada di
dalam diri mereka.
Bagi pegawai tadi, sudah jelas sejak awal, mereka kuliah hanya untuk meraih kesetaraan dengan sarjana ”beneran ” yang kuliah beneran secara serius dan memeras pemikiran secara serius pula. Mereka hanya butuh selembar kertas yang disebut ijazah tadi untuk naik pangkat.
Hanya itu. Tidak ada pada mereka semangat belajar dan menuntut ilmu beneran untuk menjadi pandai dalam arti sebenarnya. Apalagi untuk menjadi bijaksana. Ini saja sudah merupakan manipulasi dalam usaha kita membentuk kualitas manusia Indonesia. Tapi ini semua dibiarkan dan ketika ujian, lulus tak lulus mereka itu harus lulus.
Jadi ketika jalan resmi membangun bangsa sudah mentok secara akademis, jalan lain mereka tempuh. Mereka siap membayar berapa saja untuk lulus. Ini bukan manipulasi kecil-kecilan karena kualitas kesarjanaan telah mereka tempuh bukan dengan jalan akademis, melainkan dengan jalan kriminal.
Jangan lupa, di antara mereka, yang ”lahir” dari kebudayaan manipulasi ini, kelak ada yang menjadi pejabat tinggi yang kompetensi teknis maupun filosofisnya hanya sampai pada tataran membuat kebijakan publik yang pasti manipulatif juga. Kesarjanaan yang lahir dari mentalitas menyimpang, buahnya jelas penyimpangan.
Mustahil bahwa aparat pendidikan tinggi tak pernah mendengar fenomena ini berkembang di wilayah kekuasaan mereka. Tapi mereka masih duduk manis dan bersikap ”ayem” melihat segenap manipulasi tadi. Juga mustahil bila mereka tak pernah mendengar bahwa di sementara perguruan tinggi, para mahasiswa membawa pisau ketika ujian untuk meneror pengawas agar mereka bebas nyontek.
Bila sang menteri sendiri masih tetap merasa ”berbahagia- sejahtera” melihat fenomena ini, mengapa dirjen dan para bawahannya harus risau? Mustahil menteri tak mengetahui ini. Jadi mengapa dirjen dan para bawahannya yang sikapnya juga manipulatif dan menipu itu harus lapor dan membahas persoalannya dengan menteri?
Apa lagi gunanya bersungguh-sungguh bila sikap tahu sama tahu untuk berpurapura ”tidak tahu” lebih aman dan lebih selamat? Hingga di sini, mustahil bahwa manipulasi memalukan itu belum mereka ketahui. Menteri-menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dan kebudayaan telah membikin pendidikan dan kebudayaan hancur.
Mereka memilih dirjen pendidikan yang tak tahu pendidikan. Mereka memilih dirjen kebudayaan yang buta huruf total di bidang kebudayaan. Bila ditanya sebabnya, jelas karena menterinya sendiri buta huruf di bidang itu. Mungkin semua menteri begitu. Menteri yang baru saja diganti menjadi contoh bagus untuk menggambarkan keburukan itu. Apa menteri yang sekarang lebih paham akan persoalan pendidikan dan kebudayaan?
Sebaiknya kita tak usah berharap bukan karena putus harapan, melainkan karena kita mempertanyakan kompetensi yang sekarang dan yang dulu, apa bedanya? Perlu dicatat, para rektor, apalagi rektor yang tidak begitu berhasil, bukanlah pemikir di bidang pendidikan. Apalagi di bidang kebudayaan.
Pak Jokowi, sampean orang baik dan tulus mengabdi untuk
kepentingan bangsa. Untuk membuktikan lebih jauh ketulusan itu, tolong lakukan
sesuatu. Jangan biarkan menteri yang tak kompeten ikut magrong-magrong di
kabinet sampai lima tahun. Penting ditegaskan, kalau tak memiliki kapasitas
menteri, tak usah lama-lama menjadi menteri. Jika ini dilakukan, yang terjadi
jelas sebuah ”revolusi mental” yang sampean katakan.
Sebaliknya, ”revolusi mental” tak bakal pernah menemukan momentum politiknya jika manipulasi dalam kebudayaan kita ini dibiarkan menguasai kesadaran kita dan membuat kita hidup dalam kesadaran manipulatif, tanpa akhir. []
Koran SINDO, 09 Maret 2015
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih
dan Cengkih, buat Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar