Ijtihad dan Keterbatasan Kita
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh
Suatu ketika secara kebetulan saya mendengar percakapan beberapa santri di pesantren desa saya. Percakapan antar santri itu mirip halaqah dalam bentuk sederhana. Seperti tidak mau ketinggalan dengan tren yang hinggap pada lembaga-lembaga pendidikan di kota, santri-santri itu beri'tikad—kalau tidak bisa dikatakan mengkhayal—membuat fonum kajian ilmiah sebagai al-maqshuudul a'dhom (tujuan utama). Mereka merasakan, pelajaran yang selama ini didapat dari pesantren kurang begitu populer. Dengan usaha membentuk forum kajian ilmiah, maksud mempopulerkan materi pengajian pesantren akan lebih mudah terpenuhi. Apa lagi ketika "ilmu-ilmu pondakan' itu dihadapkan kepada realitas sosial. Terlihatlah suatu kenyataan ,vang memprihatinkan. Banyak masalah yang belum terjawab oleh kekayaan khazanah ilmu (bukan keilmuan) pesantren itu sendiri.
Percakapan yang tidak resmi itu menyinggung beberapa hal yang
selama ini menjadi isu sentral bagi sebagian organisasi keagamnan di negeri
ini. Begitu kritisnya pembicaraan itu, sehingga sistem-sistem pengajaran
pesantren mereka pertanyakan substansi dan esensinya. Demikian komprehensipnya,
sehingga banyak hal yang tercakup dalam pembicaraan tersebut. Lebih jauh lagi
kemudian mereka berbicara mengenai upaya sosialisasi fiqih dan
mengakomodasikannya dengan kehidupan praktis masyarakat awam.
***
Sebagian dari mereka mengatakan pesantren dalam upayanya sebagai
lembaga tafaqquh fiddin (memperdalam agama), selama ini lebih getol mempelajari
teks-teks ulama salaf dalam masalah-masalah kemasyarakatan yang luas, dengan
konteks sosial pada saat teks-teks tersebut dibukukan. Pesantren -bahkan
kebanyakan umat Islam- cenderung hanya membaca produk-produk hukum Islam
(fiqih) yang telah diolah matang oleh ulama Salaf.
Kerja intelektual pesantren dan kajian keagamaannya hanya berkisar
pada interpretasi tekstual. Sementara dinamika perkembangan sosial yang
berlangsung begitu cepat dan perubahan demi perubahan, oleh pesantren hanya
disikapi dengan cara menarik kesimpulan demi kesimpulan secara umum dari
hukum-hukum yang sudah matang tersebut, untuk kemudian digunakan menjawab
tantangan-tantangan sosial yang kompleks.
Maka ketika masalah-masalah waqi'ah (aktual) di tengah masyarakat
semakin menggejala, membutuhkan penyelesaian dan jawaban komprehensif sekaligus
praktis dan ilmiah, serta sama sekali tidak melulu berupa teori normatif,
pesantren menjadi "kalang kabut". Masih dalam percapakan itu mereka
mengemukakan, masalah-masalah seperti asuransi sama sekali tidak pernah ada
dalam acuan kitab-kitab kuno pesantren (kitab kuning). Banyak hal yang secara
praktis terjadi di dunia modern, belum terkodifikasikan ke dalam kitab kuning.
Sehingga dengan begitu, Islam yang kaffah (universal) belum sepenuhnya
terejawantahkan secara nyata dalam realitas sosial.
Lebih jauh lagi, salah seorang santri dengan berani mencoba
mengoreksi sudut-sudut lain pola pengajaran fiqih pesantren itu sendiri.
Ditemukan suatu hipotesis awal, bahwa pesantren selama ini bermazhab lewat
kajian-kajian qauli (verbal), bukan pengkajian metodologis. Sehingga ia
menganggap wajar, bila kemudian pesantren terperanjat menghadapi
masalah-masalah baru yang belum teratur dalam teks-teks salaf.
***
Dari sini muncullah ide mereka untuk men-tajdid "fiqih
pesantren". Mereka untuk sementara akur seakur-akurnya, bahwa untuk
mengatasi segala permasalahan di atas hanyalah tepat bila semuanya dikembalikan
langsung (istilah mereka) pada inti ajaran Islam, yaitu al-Qur'an dan
al-Hadits. Sebab, dalih mereka, Islam sebagai suatu tatanan global, tentu di
dalamnya mengandung beberapa paham, sekte ataupun golongan-golongan. Manakala
seseorang hanya berpegang pada satu dari paham-paham itu, maka ia tak akan
dapat meraih Islam secara kaffah (keseluruhan).
Saya tersenyum ketika mendengar mereka menyebut sebuah hadits yang
kurang lebih berarti, "Setiap seratus tahun sekali Allah SWT akan mengutus
seseorang untak melakukan tajdid dalam Islam".
Berangkat dari hadits itu mereka mengkaji definisi tajdid. Mereka
menemukan, bahwa tajdid yang secara harfiah berarti memperbarui, tidak selalu
dapat diterjemahkan atau disinonimkan dengan modernisasi yang dalam bahasa Arab
lazim disebut 'ashraniyah. Begitu juga, tajdid sama sekali tidak bisa
didefinisikan sebagai reformasi (bahasa Arabnya ishlahiyah), yaitu
"pembaharuan" atau "perbaikan" yang sering terlepas atau
sengaja dilepaskan dari kaitannya dengan semangat dan ajaran Islam.
Kajian definitif ini mereka peroleh dari sebuah rumusan para ulama
ternama, berkharisma dan sekaligus punya reputasi yang mapan. Suatu hal yang
kemudian gampang ditebak adalah munculnya sikap-sikap tawadlu' mereka secara
otomatis, setelah melihat dan mengetahui, bahwa definisi tajdid di atas telah
dirumuskan oleh kiai-kiai mereka. Mereka berhenti bercakap-cakap karena menolak
disebut "kualat" terhadap kiainya. Suatu sikap sendika dhawuh yang
alhamdulillah masih begitu melekat di jiwa para santri yang berpikiran moderat,
maju dan modernis itu.
Kembali lagi forum itu menghangat, ketika salah seorang santri
memberanikan diri berargumentasi secara logis dan ilmiah untuk mempertanyakan
kejanggalan yang selama ini terjadi di tubuh mereka, yaitu tentang kepatuhan
"mutlak" seorang santri kepada gurunya. Sikap patuh demikian
menyebabkan seorang murid sama sekali tidak berhak mendiskusikan apa yang
disampaikan oleh guru. Akibat logisnya tentu saja adalah stagnasi proses
belajar mengajar itu sendiri. Hal mana, jelas berlawanan dengan konsep-konsep
pendidikan modern.
Bahkan lebih dari itu, dalam kerangka yang lebih luas, kepatuhan
tersebut -masih menurutnya- dapat mengakibatkan kejumudan pemikiran fiqih,
sehingga dalam ilmu Tarikh Tasyri' dikenal 'ahdu al-jumud wa al-taqlid (masa
stagnasi dan taklid). Kongkritnya, ia bertanya dengan sangat fantastis,
"Kalau tajdid didefinisikan seperti di atas, bagaimana keberadann
kehidupan modern sekarang ini? Tidakkah dengan demikian, tajdid itu hanya
merupakan konsep belaka yang eksistensinya tidak mungkin lagi terejawantahkan
dalam realitas modern? Bagaimana pula akhimya, fiqih menjawab tantangan
zaman!"
Sungguh suatu pertanyaan mendasar, sehingga memaksa percakapan
tersebut dibuka kembali. Dengan lancar kemudian salah seorang membeberkan
hasil-hasil rumusan para ulama yang lain, yang masih berkisar tentang tajdid
itu sendiri. Disebutkan bahwa tajdid dalam segala aspeknya memang tidak bisa
disetarakan dengan modernisme agama lain. Tajdid muncul dan berangkat dari
kesadaran tentang "kemunduran Islam" dan juga karena proses
berjalannya sejarah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, ajaran
Islam yang murni semakin tersisihkan oleh perkembangan zaman. Sehingga tajdid
berkehendak memurnikan dan menjernihkan serta memperbaharui pemahaman dan
penerapan ajaran serta hukam-hukam Islam yang bersifat relatif (nisbi) yang
menjadi wilayah kajian ijtihad.
***
Percakapan agaknya menjadi melebar, membicarakan keberadaan
ijtihad itu sendiri. Bermula dari definisi ijtihad yang berarti kemampuan
berpikir secara maksimal untuk meng-istinbath-kan hukum syar'i yang berkaitan
dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari dalil tafshili (yang
terinci) al-Qur'an dan Hadits, si pembuka stagnasi percakapan itu tadi dengan
serta merta menyela pembahasan. Ia agaknya tertarik benar dengan pernyataan
pengambilan hukum langsung dari al-Qur'an dan Hadits. Sepertinya sejak awal ia
memang paling gethol bicara tentang al-Qur'an dan Hadits. Menurut anggapannya,
selama ini ajaran syari'at Islam telah terkotori oleh modernisasi. Jalan
satu-satunya tentu kennbali dengan utuh terhadap kedua inti ajaran Islam.
Sampai di sini, teman-temannya saling mengernyitkan dahi. Semuanya
yakin bahwa ia -pembuka stagnasi itu- tentu tahu dan paham benar, bahwa
al-Qur'an dan Hadits adalah tata aturan yang sangat global. Untuk mendalaminya
dibutuhkan banyak ilmu dan kecakapan pemikiran yang tinggi. Semua temannya
sadar bila ia jelas mengerti, bahwa syarat-syarat berijtihad sedemikian banyak
dan rumit. Dalam rumusan beberapa ulama ditegaskan, pada zaman ini tidak
dimungkinkan lagi adanya ijtihad fardi (ijtihad individual) seperti yang
dilakukan imam mazhab empat. Akan tetapi ijtihad tetap bisa dilakukan sebatas
ijtihad jama'i (ijtihad kolektif), suatu ijtihad yang melibatkan beberapa ulama
berdisiplin ilmu tertentu yang saling berbeda untuk kemudian menetapkan ijtihad
dalam satu atau beberapa perkara.
Alhasil, santri-santri itu menyadari sepenuhnya akan keterbatasan
yang mereka miliki. Mereka ingat, ulama sekaliber Abu Zakaria al-Anshori pun
dalam kebanyakan kitabnya selalu mempergunakan pendapat Imam Rofi'i dan Imam
Nawawi. Sedangkan kedua imam itu ternyata hanya memiliki tingkatan terendah
dalam strata mujtahid. Maka, mungkinkah ijtihad atau juga tajdid itu mereka
lakukan? Mampukah mereka kembali seutuh-utuhnya kepada al-Qur'an dan Hadits
yang ijmal (global) itu. []
Tulisan ini pernah dimuat Suara Merdeka, Jumat 21 Februari 1992.
Juga bisa ditemukan di buku KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta:
LKiS), dengan judul yang sudah diubah, “Gejolak Ijtihad Santri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar