Dakwah untuk Kaum Dlu'afa
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh
Dalam mengatasi kemiskinan, dakwah setidaknya bisa ditempuh melalui dua jalan. Pertama, memberi motivasi kepada kaum muslimin yang mampu untuk menumbuhkan solidaritas sosial. Akhir-akhir ini, di kalangan umat Islam, ada kecenderungan solidaritas sosial menurun. Kedua, yang paling mendasar dan mendesak adalah dakwah dalam bentuk aksi-aksi nyata dan program-program yang langsung menyentuh kebutuhan. Ini sering disebut orang dengan dakwah bil hal.
Dakwah
dalam bentuk yang kedua ini, sebenarnya sudah banyak dilaksanakan
kelompok-kelompok Islam, namun masih sporadis dan tidak dilembagakan, sehingga
menimbulkan efek kurang baik, misalnya dalam mengumpulkan dan membagikan zakat.
Akibatnya lalu, fakir miskin yang menerima zakat cenderung menjadi orang yang thama'
(dependen). Itu hanya karena teknis pembagian zakat yang tidak dikelola dengan
baik. Dalam hal ini ada beberapa pesantren yang sudah mencoba melembagakan atau
mengatasi masalah itu.
Pendekatan
untuk mengatasi masalah kemiskinan ini seperti disebutkan di atas adalah
pendekatan basic need approach (pendekatan kebutuhan dasar). Tentu saja dalam
hal ini tidak bisa dilaksanakan dengan menggeneralisasi. Kita harus membagi
masyarakat miskin menjadi beberapa kelompok dengan melihat kenyataan yang
berkembang dalam lingkungan masyarakat miskin itu sendiri. Apa kekurangan
mereka? Apa yang menyebabkan mereka miskin? Bisa jadi mereka miskin karena
kebodohan atau keterbelakangan. Dalam hal ini kita harus berusaha agar mereka
dapat maju, tidak bodoh lagi. Bisa juga karena kurangnya sarana, sehingga
mereka menjadi miskin atau bodoh. Untuk mengatasinya, adalah dengan cara
melengkapi sarana tersebut.
Karena
gerakan yang sporadis dan tidak dikelola dengan baik, akhirnya fakir miskin
cenderung menjadi orang thama’. Maksud saya, pengembangan masyarakat miskin
tidak begitu caranya. Kita jangan memberi ‘ikan’ terus menerus, tapi harus
memberi kailnya. Tetapi dengan memberi kail saja tentu tidak cukup, karena
mereka juga harus diberitahu, cara mengail yang baik, lahan yang baik dan
bagaimana ia dapat menggunakan kail untuk mendapatkan ikan.
Berarti
mereka tidak hanya cukup dengan diberi modal, tetapi mereka juga harus diberi
keterampilan. Inilah yang saya maksudkan dengan pendekatan itu. Masalah yang
dihadapinya, keterbelakangan atau kebodohan harus diatasi dengan memberikan
keterampilan, dan baru kemudian modal. Ini juga belum bisa meyakinkan
sepenuhnya, sepanjang belum ada uji coba.
Kadang-kadang,
masyarakat miskin di kampung lebih menyukai hal yang paling praktis, maunya
mencukupi tapi juga mudah dan praktis. Untuk itu di samping kita memberi
keterampilan dan modal, kita harus meyakinkan atau memberikan motivasi hingga
fakir miskin itu memiliki kemauan berusaha dan tidak hanya menanti dan boros.
***
Menurut
pandangan Islam, secara formal zakat yang diberikan langsung oleh muzakki
(pembayar zakat), idak melalui imam yang dalam hal ini adalah pemerintah, harus
dibayarkan dalam bentuk harta zakat itu, tidak boleh ditukar dengan bentuk yang
lain. Zakat langsung harus dalam bentuk mal. Dan harta itu bisa dijadikan
modal.
Sebaliknya
menurut apa yang saya ketahui dari petunjuk-petunjuk dalam fiqih, zakat yang
dikelola pemerintah justru dibayarkan bukan dalam bentuk uang. Kalau si
mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) punya keterampilan menjahit, maka
berilah mesin jahit. Kalau keterampilannya hanya mampu mengemudikan becak,
berilah becak. Tetapi itu sebenarnya bisa diatur. Saya sudah mencobanya.
Ada tiga
desa yang saya coba dengan memberikan motivasi kepada masyarakat desa itu.
Kemudian, zakat di desa itu dilembagakan. Salah satu di antaranya dilembagakan
dalam bentuk koperasi. Panitia (bukan amil) bertugas hanya sekadar mengumpulkan
zakat dan mengatur pembagiannya. Hasilnya tidak langsung dibagikan dalam bentuk
uang, tetapi diatur demikian rupa supaya tidak bertentangan dengan agama.
Mustahiq diserahi zakat berupa uang, tetapi kemudian ditarik kembali sebagai
tabungannya untuk keperluan pengumpulan modal.
Dengan
cara ini, mereka menciptakan pekerjaan dengan modal yang dikumpulkan dari harta
zakat. Ternyata berhasil. Meskipun kita tidak bisa melenyapkan atau
menghapuskan kemiskinan sama sekali, paling tidak kita telah berhasil
menguranginya.
Pernah
suatu kali, saya mencobanya terhadap seorang pengemudi becak di kota Pati. Saya
lihat dia memang tekun mangkal di pasar untuk bekerja sebagai tukang becak.
Pada saat kesempatan pembagian zakat tiba, saya zakati dia. Hasil zakat bulan
Syawal itu, berupa zakat mal, zakat fitrah dan infaq, dikumpulkan dan saya
salurkan dengan membelikan untuknya, sebuah becak. Sebelumnya dia hanya
pengemudi becak milik orang non-pribumi. Namun sekarang dia telah memiliki dua
buah becak.
Usahanya
ini berkembang, dan sehari-harinya ia tidak harus mengemudikan becak dengan
mengejar target setoran. Dengan mengemudikan becak hingga jam tiga sore,
hasilnya sudah cukup untuk makan dan menjaga kesehatan. Setelah itu ia bisa
kumpul-kumpul mengikuti pengajian. Dengan cara ini, meskipun dia tidak menjadi
kaya, tetapi jelas ada perubahan sosial.
Untuk
lebih jelasnya, apa yang saya kembangkan di tiga desa itu adalah sebagai
berikut. Zakat dari pihak muzakki diberikan kepada panitia, yang kebetulan
salah seorang atau beberapa di antaranya memang ada yang pantas menerima zakat
(mustahiq). Pembagiannya diatur sedemikian rupa, sehingga apa yang diterimanya
itu dijadikan modal. Kepentingan-kepentingan sosial lainnya, seperti keperluan
lembaga, tentu saja juga diberikan bagiannya.
Untuk
lebih menyebar luaskan gagasan seperti itu, tentu saja lembaga-lembaga sosial
keagamann dapat mengambil peran. Kalau kita berbicara mengenai peran para ulama
dalam hal pembangunan dan khususnya dalam mengatasi masalah kemiskinan ini,
mereka dapat berperan sebagai inisiator, bisa pula sebagai motivator dan
sekaligus bisa menjadi fasilitator, tergantung kemampuan dan kenyataan
lingkungan di daerahnya masing-masing.
Dalam hal
ini saya tidak membicarakan peranan Majelis Ulama, tetapi ulama. Sedangkan bagi
MUI sendiri, menurut hasil Munas ketiga, masalah itu sudah dibicarakan.
Keputusan Majelis Ulama menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan
kemiskinan, kebodahan dan sebagainya. Lalu tugas majelis adalah koordinasi di
antara ormas-ormas Islam yang mempunyai lapangan dan basis.
Kini,
masalahnya adalah bagaimana Majelis Ulama mampu dengan kredibilitas yang
dimiliki, mengatasi perbedaan-perbedaan yang berkembang di masing-masing ormas
Islam. Tentu saja hal itu tidak sulit dilakukan. Namun, apa yang sebenarnya
menjadi masalah, saya sendiri tidak tahu, karena tidak terlibat dalam Majelis
Ulama Pusat.
***
Sudah
jelas, bahwa ajaran Islam tidak menghendaki kemiskinan. Berbagai macam komponen
ajaran Islam sendiri menunjang pernyataan itu. Namun harus diakui, hingga sekarang
masalah itu belum mendapat perhatian serius dari kaum muslimin. Menurut ajaran
Islam, memberi nafkah kepada golongan fakir miskin adalah kewajiban kaum
muslimin yang mempunyai kemampuan, dan itu memang relatif. Ajaran seperti itu
belum pernah disinggung, apalagi dijabarkan, dan bahkan hal itu kurang
disadari.
Berkenaan
dengan infaq, kalau ada keinginan untuk melembangakannya, kita harus mampu
menginventarisasi, paling tidak menyensus ekonomi kaum muslimin. Sehingga, kita
mempunyai data, siapa yang disebut mampu dan siapa pula yang tidak mampu.
Terhadap yang mampu, dikenakan kewajiban memberikan nafkah bagi orang yang
tidak mampu, sesuai dengan ajaran fiqih. Tetapi hingga sekarang kita tidak
mempunyai bait al-mal yang teratur. Bait al-mal-nya saja belum ada, apalagi
teratur. Jadi di luar zakat dan sedekah, masih ada kewajiban umat Islam yang
mampu, hukumnya wajib bagi orang-orang muslim yang mampu untuk memberi rafkah
kepada fakir miskin, dalam keadaan tidak adanya bait al-mal al-muntadhim (yang
teratur). Inilah jalan Islam.
Kewajiban
zakat itu, persuasif atau tidak, ini juga masalah, karena kecenderungan
turunnya solidaritas sosial (takaful al-ijtima'i) di kalangan umat
Islam. Tetapi menurut pandangan saya, gagasan yang terakhir ini sangat mungkin
dilakukan. Sekarang organisasi-organisasi Islam banyak memiliki ahli dalam
bidang penelitian. Kita tinggal menambah dengan baberapa spesialis lainnya yang
juga banyak dimiliki umat Islam, bagaimana mengadakan sensus ekonomi dan
bagaimana desain ekonomi untuk menentukan si Polan ini miskin dan si Polan itu
mampu. Apakah yang mampu sudah memenuhi kewajiban? Apakah dibayarkan langsung
atau tiidak? Sekarang sudah saatnya kita membicarkan masalah konsep tersebut.
Kalau
kita tetap menginginkan pola ekonomi itu, ini tidak terlepas dari.
Undang-undang Dasar dan Pancasila, di mana pasal 33 menyebutkan bahwa ekonomi
(melalui koperasi) adalah usaha bersama dan kekeluargaan. Tentu saja perlu
dijabarkan dalam bentuk peraturan-peraturan koperasi. Bahwa koperasi harus berkembang,
tidak bisa ditolak. Nah sekarang, sebenarnya kita harus terpanggil untuk
mempertanyakan konsepnya bagaimana? Bagaimana koperasi menurut Islam?
Belum
seorang pun membicarakan konsep koperasi menurut Islam. tetapi sudah 'keburu',
lembaga-lembaga Islam mendirikan koperasi, sesuai dengan aturan dari luar.
Mereka menggunakan anggaran dasar sedemmian rupa. Tetapi praktek-praktek
koperasi yang dijalankan kelompok-kelompok Islam, tidak pernah dipersoalakan
apakah sesuai dengan mu'amalah yang harus kita patuhi? Sesuaikah dengan ajaran
Islam? Ini belum pernah dijabarkan.
Masalahnya
adalah karena kita belum membuat konsep. Saya sendiri belum mempunyai suatu
konsep tertulis dan matang, tetapi pikiran-pikiran seperti di atas sudah lama
muncul dan saya lontarkan di forum-forum tertentu, terutama di kalangan NU,
setelah muktamar (1984). Terkadang dengan terlalu berani saya munculkan di
forum-forum Syuriyah NU; Sekarang ini kita perlu mengurangi pembicaraan tentang
masalah-masalah yang hanya menjawab halal dan haram! Ini bukan berarti kita
tidak menyetujuinya.
Kalau
kita sudah menyetujuinya sebagai yang halal, kita juga harus membicarkan
pendekatan konseptualnya untuk umat. Kalau haram, kita diharuskan membicarakan
bagaimana pemecahannya agar umat tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Untuk
itu perlu konsep. Konsep seperti apa? Kalau kansep itu bersifat individual
tentu tidak mungkin diterapkan secara massal, sebelum diterima umum.
Uji coba
yang sedang saya kembangkan belum sepenuhnya berupa koperasi. Saya masih
membatasinya pada usaha bersama (UB). Sebab, saya telah mencoba membuat
proposal untuk mengadakan diskusi mengenai pembangunan koperasi dalam bentuk
qiradl. Tetapi hingga sekarang proposal itu belum ada yang setuju, sehingga
dengan demikian saya belum bisa menerapkan koperasi sesuai dengan konsep yang
sudah matang.
Keinginan
saya, kalau ini bisa, hasil diskusi itu bisa dibukukan dan akan bermanfaat bagi
anggota masyarakat yang membutuhkannya. Sekarang kita harus dapat menyusun
konsep-konsep aktual. Masyarakat memang menerima bentuk koperasi. Namun apakah
itu syirkah atau qiradl, itu soal lain. Tetapi akan ngawur saja, kalau bekerja
tanpa memiliki konsep yang jelas. Kelompok-kelompok cendekiawan muslim dari
berbagai sangat dibutuhkan keterlibatannya, karena itu tentu saja tidak bisa
dengan biaya dan upaya individual.
Meskinya,
gagasan itu tumbuh dari ormas-ormas Islam. Mengharapkan terjadinya pertumbuhan
secara alami, akan sulit terjadi. Barangkali dalam hal ini, MUI bekepentingan
berperan sebagai inisiator, untuk menumbuhkan gagasan itu dan melemparkannya
kepada ormas Islam yang ada. Kalau perlu, bahkan mengeormas tersebut hingga
mempunyai gagasan serupa. Kumpulkan cendekiawan-cendekiawan berdasarkan
kelompok tertentu. Tetapi pertemuan itu tentu saja tidak berakhir begitu saja.
Pertemuan itu harus diakhiri dengan perumusan suatu keputusan yang konseptual
dan utuh.
Hasil
seminar yang pernah kita lakukan, selalu tidak diikuti dengan implementasi. Hal
itu bisa jadi karena konsep seminar berorientasi pada ilmu pengetahuan bukan
beroritentasi pada strategi. Kita harus membedakan antara konsep yang
berorientasi pada ilmu dan konsep yang berorientasi pada strategi. Namun konsep
apapun harus dirumuskan dan implementabel.
Berkenaan
dengan gagasan mewujudkan lembaga bait al-mal al-muntadhim, saya berpendapat,
lembaga itu adalah wewenang pemerintah. Dalam hal ini dana yang dapat dijadikan
sumber adalah infaq dan shadaqah bisa pula ghanimah (harta rampasan
perang). Namun masalah yang akan muncul kemudian adalah masaIah manajemen.
Yang
terpenting adalah, soal kesamaan wawasan. Potensi umat Islam secara kuantitatif
dan kualitatif dapat mendukung dan mengatasi masalah di atas. Saya melihat
kenyataan itu. Di Jawa Tengah, kelompok pengusaha menengah muslim sangat
banyak, bahkan ada di antaranya yang dapat dikategorikan sebagai kelompok atas.
Jelas mereka mampu, tetapi wawasan dan kecenderungan belum ada titik singgung
di antara kita. Titik temu itu perlu diusahakan. Tetapi siapa yang harus
memprakarsai?
***
Masalah
kemiskinan sangat terkait dengan masalah lingkungan. Sebelum berbicara soal
lingkungan menurut konsepsi Islam, lebih dahulu harus diklasifikasi masalah
lingkungan dari segi fisik dan non-fisik. Dari segi non-fisik, ajaran Islam
memang tidak menghendaki terjadinya kerusakan. Katakanlah kerusakan moral,
tidak dikehendaki Islam.
Saya
melihat, kaum muslimin sekarang ini sedang dihadapkan pada tantangan perubahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi telah mengiring masyarakat dari orientasi pada
nilai-nilai Islam kepada orientasi pada nilai-nilai ekonomi. Ini berbahaya.
Dewasa ini setiap kegiatan akan diperhitungkan sesuai dengan untung-rugi
berdasarkan nilai ekonomi. Perbuatan apa pun dilakukan, tanpa memperhitungkan
resikonya terhadap moral masyarakat, tapi didasarkan pada pertimbangan untung
rugi secara ekonomi.
Berkenaan
dengan lingkungan fisik, kita harus kembali kepada manusia untuk menggunakan
dan memanfaatkan apa yang ada di alam ini, disertai upaya melestarikan lingkungan
hidup. Sudah baran tentu, kalau manusia tidak memanfaatkannya, itu adalah
mubazir dan bisa mencelakakan. Intinya bahwa penggunaan alam harus harus
didasarkan pada manfaat dan maslahat.
Menurut
ajaran Islam, kebutuhan dapat dibagi menjadi; pertama yang bersifat dlaruri
(primer) atau sifat haji (mendasar) dan kedua yang bersifat sekunder.
Manfaat dan maslahat memang sulit diukur, tetapi itu bisa dirasakan dan
dilihat. Semuanya harus diarahkan pada kepentingan hidup, kepentingan bersama,
kepentingan agama dan lain-lain. Tidak perlu membagi-baginya menurut
kepentingan ukhrawi, kepentingan moral atau akhlak, kepentingan dunia dan lain
sebagainya, karena tentu saja kepentingan ukhrawi tidak mungkin tanpa adanya
kepentingan-kepentingan duniawi.
Selama ini
majelis-majelis taklim, nampaknya belum menyentuh masalah-masalah seperti itu,
belum menyentuh masalah-masalah riil dalam masyarakat. Masih berkisar pada
masalah moral atau akhlak. Namun para ulama, saya kira tidak bisa disalahkan,
karena antara ulama dan umara yang berwenang masih sering terjadi
miskomunikasi. Masalah yang timbul seharusnya diinformasikan kepada para ulama.
Kalau dalam masalah lingkungan, ulama masih bersikap statis, itu 1ebih
disebabkan karena ketidaktahuan.
Belum
adanya partisipasi mereka dalam hal ini, karena mereka tidak banyak mengelola
masalah lingkungan. Itu sebabnya mereka masih terbatas pada masalah-masalah
moral. Kalau mereka tahu, tanpa perlu diimbau, mereka akan berpartisipasi.
Untuk itu komunikasi dan informasi masalah ini perlu digalakkan, karena
masalahnya memang terletak di sana.
***
Sudah
jelas, Islam mendorong orang untuk bekerja. Ada hadits yang mengatakan, "Asyaddu
al-naas 'azaban yauma al-qiyamah al-maghfiy al-bathil" (Siksaan paling
berat pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain
dan hidup menganggur). Al-Qur'an juga menyebutkan, "Apabila kamu telah
selesai menunaikan shalat Jum'at, menyebarlah untuk mencari rezki Tuhanmu”.
Ada
banyak hal yang menyebabkan terjadinya pengangguran. Faktor pendidikan yang
rendah, keterampilan kurang memadai, di samping kemampuan untuk menciptakan
lapangan kerja terbatas. Anak-anak sekarang hanya menunggu pekerjaan, bukan
mencari dan menciptakan pekerjaan. Yang saya maksudkan menunggu pekerjaan,
adalah mencari pekerjaan pada lapangan kerja yang sudah mapan dan jelas.
Sedangkan mencari kerja, adalah orang tidak hanya terfokus pada satu sasaran
pekerjaan, namun berusaha secara kreatif menciptakan lapangan kerja.
Dalam
mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, imbauan saya kepada
kelompok muda adalah, jangan cepat putus asa. Sebab dengan putus asa,
kreativitas mandeg. Bagaimana kecilnya kreativitas itu, ia akan selalu tumbuh
dan berkembang. []
Tulisan
ini pernah dimuat dalam majalah Mimbar Ulama. Juga bisa ditemukan di
buku KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS),
dengan judul yang sudah diubah, “Dakwah untuk Kaum Dlu’afa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar