Dari Dana
Siluman sampai Kartel
Oleh:
Bambang Soesatyo
BIROKRASI
negara masih sangat kotor. Reformasi birokrasi yang didengungkan sejak awal
reformasi tak lebih dari pepesan kosong.
Isu
tentang dana siluman pada APBD DKI Jakarta dan masih eksisnya kartel-kartel
yang merusak pasar kebutuhan pokok rakyat menjadi bukti bahwa reformasi
birokrasi belum menghasilkan apa pun. Birokrasi negara, baik di tingkat pusat
maupun daerah, masih dikendalikan pemburu rente. Mereka kini fokus mencari dan
mencoba modus baru untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Pencarian
modus baru terus dilakukan setelah para birokrat tersebut melihat agresivitas
KPK dalam beberapa tahun belakangan ini. Salah satu modus yang populer
belakangan ini adalah membangun kemitraan dengan pengusaha. Oknum birokrat
memuluskan proses memenangkan tender proyek, sedangkan pengusaha berperan
mencari barang dengan harga yang menguntungkan.
Biasanya,
nilai proyek sudah digelembungkan dengan kesepakatan bagi hasil keuntungan.
Itulah yang terjadi pada kasus dana siluman pada APBD DKI dan wajar bila
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama melaporkan ke KPK. Fenomena ini perlu
digarisbawahi pemerintahan Jokowi-JK.
Pemerintah
perlu mengkaji ulang desain reformasi birokrasi. Program remunerasi saja
rupanya belum cukup. Soalnya, andai tren korupsi dijadikan salah satu indikator
keberhasilan maka reformasi birokrasi belum menghasilkan sesuatu yang
signifikan. Kualitas pengawasan justru perlu terus ditingkatkan dari waktu ke
waktu. Kemajuan teknologi memungkinkan pemerintah meningkatkan mutu pengawasan.
Tidak
kalah pentingnya memperbaiki sistem perekrutan CPNS di pusat dan daerah. Kasus
yang dilaporkan Ahok ke KPK tak jauh berbeda dari kasus proyek Hambalang yang
terkuak pada paruh pertama 2012. Ada delapan kejanggalan dalam realisasi dan
pembiayaan Hambalang. Namun, paling heboh adalah proses di DPR.
Sebagian
anggota Komisi X yang membidangi olahraga mengaku tidak tahu apa-apa perihal
peningkatan skala proyek itu, dari sekolah atlet senilai ’’hanya’’ Rp 125
miliar kemudian berubah menjadi pusat olahraga senilai Rp 1,2 triliun, dengan
anggaran tahun jamak. Saat ini pun khalayak mungkin kehabisan katakata untuk
mendeskripsikan modus korupsi berkait kasus dana siluman pada APBD DKI itu.
Proyek siluman itu sudah terdeteksi pada APBD DKI 2014.
Wujudnya,
pengadaan uninterruptible power supply (UPS) komputer dengan anggaran Rp 300
miliar. Padahal, permintaan UPS tidak pernah ada. Konon, hal itu terjadi karena
oknum SKPD dipaksa mengisi proyek titipan DPRD. Dalam APBD 2014, Pemprov DKI
belum sepenuhnya menerapkan sistem E-budgeting.
Kartel
Beras
Dalam
APBD DKI 2015, modus yang sama kembali diulangi. Bukan hanya merekayasa rencana
belanja UPS melainkan juga menyusupkan beberapa proyek lain senilai Rp 12,1
triliun.
Efektivitas
penerapan Ebudgeting untuk APBD 2015 akan memudahkan Ahok menemukan proyek dan
dana siluman itu. Selain kasus dana siluman di APBD, pemerintahan Jokowi-JK
juga kembali diingatkan tentang masih eksisnya kartel-kartel yang mengendalikan
permintaan dan penawaran aneka komoditas kebutuhan pokok rakyat.
Eksistensi
kartel-kartel itu setidaknya sudah terbuktikan oleh lonjakan harga beras
menjelang akhir Februari 2015. Sewaktu blusukan memantau stok beras di Pasar
Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/2), Jokowi menegaskan, ”Kalau ada yang
mengganggu perekonomian, siapa pun dia, saya perintahkan tangkap.”
Menteri
Perdagangan Rachmat Gobel secara terbuka menyinyalir peran kartel beras di
balik kenaikan harga. Kini, masyarakat menunggu aksi nyata Presiden dan Menteri
Perdagangan. Untuk mengetahui identitas anggota kartel, cukup mempelajari
riwayat para importir yang terdaftar di sejumlah kementerian.
Jokowi
dan Rachmat Gobel harus bisa memaksa para birokrat menyajikan informasi
sejujur-jujurnya. Itu saja. Tentang penyebab lonjakan harga beras, Perum Bulog
membela diri dan cenderung menyalahkan pemerintah karena tidak merealisasikan
pengadaan 462.000 ton raskin periode November-Desember 2014.
Per bulan
realisasi pengadaan raskin mencapai 232.000 ton untuk 15,5 juta rumah tangga
sasaran. Bila kekosongan raskin menjadi penyebab kenaikan harga beras, kenapa
Bulog tidak memberi peringatan dini kepada instansi terkait lainnya? Padahal
Bulog punya analisis standar tentang sebab akibat bila pengadaan raskin
melenceng dari jadwal.
Bulog
seharusnya lebih berani mengingatkan instansi terkait untuk mencegah ekses.
Stok 1,4 juta ton beras di gudang Bulog cukup untuk memenuhi permintaan pasar 5
bulan ke depan. Sayang, stok sebesar itu tak mampu melindungi rakyat. Lonjakan
harga beras sudah terjadi dan rakyat menanggung akibatnya. []
SUARA
MERDEKA, 10 Maret 2015
Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR, Wakil Ketua Umum Kadin
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar