Menghilang untuk Bisa Banyak Belajar
Oleh:
Dahlan ISkan
Senin, 19
Januari 2015
Salah
satu kebebasan yang saya nikmati saat ini adalah bisa kembali belajar dengan
leluasa. Belajar apa saja. Dulu saya mewajibkan diri agar enam bulan sekali
”belajar” ke Amerika Serikat: shopping idea, belanja ide.
Itulah sebabnya perkembangan Jawa Pos di kemudian hari menjadi
”sangat Amerika”. Beda dengan koran-koran Jakarta saat itu yang ”sangat Eropa”
Belakangan, ketika Tiongkok maju luar biasa, saya jarang ke
Amerika. Belajarnya pindah ke Tiongkok. Begitu sering saya ke Negeri Panda itu.
Setahun bisa delapan kali. Bahkan pernah 12 kali. Jarak Tiongkok yang begitu
dekat membuat saya bisa belajar lebih sering.
Kalau ke Amerika shopping saya shopping idea, ke Tiongkok saya
shopping spirit. Spirit ingin maju. Di Tiongkok-lah, saya melihat sebuah
masyarakat yang keinginan majunya begitu tinggi. Hasilnya pun nyata. Dalam
sekejap, Tiongkok mengalahkan Jerman. Kemudian Jepang. Dan mungkin tidak lama
lagi mengalahkan biangnya: Amerika.
Sejak menjadi pejabat pemerintah tiga tahun lalu, semua kenikmatan
itu berakhir. Saya harus tahu diri. Menjadi pejabat tidak boleh sering-sering
ke luar negeri. Biarpun pergi ke luar negeri untuk urusan menteri dengan
menggunakan uang pribadi. Sering pergi ke luar negeri tetaplah tidak sopan.
”Merdeka!” teriak saya dalam hati.
”Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya istri saya.
”Besok saya ke Tiongkok,” jawab saya.
”Lho, besok kan ke Lingga?” sergah istri saya. Menurut jadwal,
saya memang harus ke Pulau Lingga dan Pulau Singkep. Untuk menyiapkan program
sociopreneur di lahan-lahan rusak bekas tambang timah.
”Ya, dari Lingga kan bisa langsung ke Tiongkok. Lewat laut. Ke
Singapura dulu,” jawab saya.
Maka, hari itu, dalam empat hari, saya menjelajah tujuh kota di
empat provinsi di Tiongkok. Membanding-bandingkan teknologi. Untuk mengubah
tanaman kaliandra menjadi energi. Belajar lagi. Belajar lagi.
Tentu saya juga ingin tahu apa yang sedang hot dibicarakan oleh
masyarakat luas di Tiongkok. Dulu, 15 tahun yang lalu, masyarakat sudah mengira
Xi Jinping bakal jadi presiden suatu saat kelak. Kini mereka bicara tentang
kian kuatnya posisi Presiden Xi Jinping dalam konsolidasi kekuasaan. Lebih kuat
daripada posisi presiden sebelumnya, Hu Jintao. Kini ”Tiongkok adalah Xi
Jinping dan Xi Jinping adalah Tiongkok”. Dengan demikian, keputusan-keputusan
politik di Tiongkok menjadi sangat efektif.
Tapi, tak kalah ramainya pembicaraan ringan yang satu ini:
bagaimana bisa anak umur tiga tahun memenangi acara TV Tiongkok Mencari Bakat
dan bagaimana bisa penyanyi berjilbab menempati urutan kelima ”penyanyi yang
paling digemari” di Tiongkok.
Anak kecil itu, hebatnya, bisa joget apa saja. Mulai Gangnam Style
sampai gaya robot. Bahkan bisa bicara filsafat hidup. Namanya Zhang Junhao.
Ketik saja nama itu di YouTube. Akan muncul berbagai gayanya yang menggemaskan
dan mengharukan. Tapi, finalis satunya, anak perempuan empat tahun bernama
Xixi, juga tidak kalah hebat.
Ketika juri (salah satunya bintang film terkemuka Jet Li) bingung
menentukan pemenang, dua finalis cilik itu diminta naik ke panggung. ”Kalian
berdua layak maju ke grand final di Beijing. Tapi, hanya satu yang harus
dipilih. Bagaimana pendapatmu, Junhao?” tanya juri.
”Pilih saja dia,” kata Junhao sambil memandang saingannya itu
dengan sendu. Sendunya anak berumur tiga tahun.
”Kenapa?” tanya juri.
”Karena saya laki-laki,” jawabnya.
Tapi, siapa pun tahu bahwa Junhao jauh lebih layak. Juri kagum
akan jiwa besarnya, tapi tetap memilihnya. Anak sopir truk dari salah satu desa
di Shandong tersebut kelihatan sedih. Dia lantas memegang lengan Xixi.
”Berusaha teruslah agar tetap dipilih,” ujar Junhao, merayu Xixi. Akhirnya,
juri menyatakan Xixi pun dapat jatah ke Beijing.
Menurut sang ibu, Junhao sudah bisa berjalan saat berumur sepuluh
bulan. Lalu, setiap ibunya senam joget di lapangan, anak kecil itu ikut dan
selalu meniru. Kepala yang digundul dan bicara yang lantang membuat Junhao
benar-benar menggemaskan.
”Junhao punya keinginan apa?” tanya juri.
”Membagi kebahagiaan,” katanya. ”Setiap saya joget, ibu saya
tertawa. Beliau tampak bahagia. Saya ingin membagi kebahagiaan kepada siapa
saja,” katanya.
Junhao pun laris manis. Stasiun-stasiun TV mengundangnya untuk
tampil. Termasuk tampil bersama penyanyi terpopuler nomor 5 di seluruh Tiongkok
saat ini: Shila (Nama lengkap: Shila Amzah. Umur: 24 tahun. Agama: Islam.
Pakaian panggung: Baju panjang dan hijab/jilbab).
Shila sebenarnya penyanyi Malaysia. Tapi, teman karibnya,
perempuan Tionghoa, berhasil merayunya untuk mengembangkan karir di Tiongkok.
”Pasar musik terbesar dunia saat ini adalah Tiongkok,” kata temannya itu.
Shila setuju. Dia menyanyikan banyak lagu Mandarin. Mengena.
Suaranya yang tinggi dan fasihnya melafalkan lagu Mandarin membuat Shila sangat
populer. Dia pun belajar bahasa Mandarin.
Di negara komunis itu, Shila tidak menyembunyikan kemuslimahannya.
Justru lebih menjadikannya ciri khas. Waktu menyanyi di Malaysia, rambut Shila
masih terurai. Kini di Tiongkok, dia justru berhijab. Hanya, pakaian
muslimahnya itu tidak membatasi geraknya. Jingkraknya tetap jingkrak rocker
saat Shila membawakan lagu rock.
Kita pun punya calon Shila di Indonesia: Indah Nevertari. Juara
Rising Star Indonesia di RCTI bulan lalu. Bukalah YouTube. Lihat keduanya:
bandingkan! Lalu, saya pergi ke Spanyol. Tanpa sungkan dinilai sering ke luar
negeri. Resminya untuk liburan keluarga. Tapi, sebenarnya ada agenda
tersembunyi yang saya rahasiakan dari istri dan anak-menantu. Semula tujuan
liburannya Turki dan Lebanon. Gagal. Gara-gara keluarga tahu saya berniat
”menyelinap” ke Damaskus, ibu kota Syria yang lagi bergolak. Jiwa kewartawanan
saya memanggil. Kalau jadi ke Lebanon, saya ingin menghilang satu hari ke
Damaskus. Kalaupun sulit ke sana (karena lagi perang), saya akan ke Gunung
Kelima yang jadi judul novel Paulo Coelho itu. Yakni, gunung pemujaan umat Nabi
Elia (versi Injil) yang musyrik dengan membuat patung sapi (versi Alquran surat
Al Baqarah).
Keluarga akhirnya memilih Spanyol. Agenda rahasia saya tidak
berisiko: 1). Melihat proyek pertama di dunia: Pembangkit listrik tenaga
cermin; 2). Melihat kemajuan sistem perkeretaapian di Spanyol. Sebab, saya dulu
sering memberangkatkan anak-anak muda PT KAI yang dikirim Dirut-nya, Pak
Ignasius Jonan, ke Valencia untuk inspirasi pembenahan kereta api Indonesia.
Karena itu, saya menyelipkan nama Valencia sebagai salah satu kota
tujuan liburan. Di samping Madrid, Toledo, Cordoba, dan Barcelona. Alasan
resminya: agar bisa nonton pertandingan Liga Spanyol yang hari itu seru:
Valencia melawan Real Madrid. Tapi, sebenarnya saya hanya ingin sebanyak
mungkin naik kereta api. Ke semua tujuan itu. Baik antarkota besar yang
ternyata keretanya sudah berkecepatan 300 km per jam atau antarkota kecil yang
ternyata keretanya juga sudah berkecepatan 250 km per jam.
Spanyol ternyata lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Juga
tempat belajar yang baik. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar