Ahok,
DPRD, Etika, dan Prioritas
Oleh:
Bambang Soesatyo
Membangun
dan membenahi Jakarta atau menonton pertarungan DPRD DKI versus Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Jika kisruh itu dipermanenkan hingga tahun
2017, Jakarta tidak bisa produktif dan sulit mewujudkan suasana kondusif.
Warga Jakarta tentu lebih menginginkan Gubernur DKI dan DPRD DKI fokus dan memprioritaskan pembangunan serta pembenahan kota yang tampak sangat semrawut dewasa ini. Saat Gubernur DKI berperang kata-kata dan saling tuduh dengan DPRD DKI, banyak ruas jalan di Ibu Kota berlubang dan mengancam keselamatan pengendara motor.
Di sejumlah ruas jalan, lubang-lubang itu bahkan tak tersentuh oleh kerja perbaikan jalan. Pada saat yang sama, warga Jakarta dan sekitarnya juga diteror isu begal yang mengancam pengendara motor. Jumlah aksi begal di wilayah DKI mungkin lebih rendah dibandingkan kota-kota penyangga. Tapi rasa takut juga menyergap warga Ibu Kota. Dua masalah ini memerlukan perhatian serius dan penanganan dari seluruh unsur dalam Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) DKI.
Di dalamnya ada Gubernur DKI, Ketua DPRD DKI, Kapolda Metro Jaya, dan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya. Beruntung bahwa untuk mencegah aksi begal, Polda dan Pangdam Jaya berinisiatif melakukan operasi guna menumbuhkan rasa aman bagi warga. Namun warga Ibu Kota tetap saja kecewa karena Pemprov DKI seperti tak peduli dengan banyaknya ruas jalan yang rusak.
Faktor lain yang juga membuat warga Ibu Kota tidak nyaman adalah kebisingan. Warga Jakarta sudah bosan dengan kebisingan yang rasanya seperti tak berkesudahan. Sejak pemilihan presiden (pilpres) hingga periode sengketa Pilpres 2014, kemudian berlanjut dengan kisruh Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta nyaris tak pernah teduh dan tenang.
Ketika kebisingan akibat kisruh Polri versus KPK mulai reda, justru Gubernur DKI dan DPRD DKI menyulut kebisingan baru. Sebagian besar warga Jakarta benar-benar mulai muak menyaksikan berlarut-larutnya disharmoni Gubernur DKI dan DPRD DKI. Muak karena dari aspek perilaku, baik Gubernur DKI Jakarta maupun DPRD DKI sudah tidak punya etika lagi. Kedua kubu tidak lagi memprioritaskan fungsi masing- masing sebagai pejabat publik di Jakarta.
Publik melihat masing-masing ingin saling menjatuhkan. Setiap hari, masing- masing melontarkan caci maki, saling hina dan saling tuduh di ruang publik. Mereka tidak lagi menghargai dan menghormati harkat dan martabatnya sebagai pejabat publik maupun sebagai pemimpin dan sosok elite di Ibu Kota ini. Mereka menyulap dan menjadikan Jakarta sebagai panggung untuk mempertontonkan rivalitas yang tak perlu.
Bukan fokus bekerja, mereka dilantik dan digaji untuk sekadar berkelahi atau adu kuat. Untuk apa Jakarta memiliki gubernur dan DPRD kalau dua instrumen kepemimpinan itu hanya fokus pada perang kata-kata, saling ancam dan saling hina? Tentu saja perseteruan berkepanjangan antara Gubernur DKI dan DPRD DKI menjadi contoh buruk tentang kepemimpinan dan tata kelola Ibu Kota.
Jangan pernah ditiru. Persoalan bermuara pada penolakan masing-masing terhadap pentingnya mengedepankan etika pejabat publik. Sebagaimana bisa disimak selama ini, tak ada kesantunan dalam dialog terbuka maupun ketika membuat dan mengeluarkan pernyataan.
Tak
jarang pilihan kata-kata mereka sungguh tidak pantas. Egois dan merasa paling
benar sendiri. Orang lain selalu dan pasti salah. Lebih parah lagi, senang
menantang pihak lain, membuat pernyataan yang bersifat mengancam, marah dan
enggan untuk mengerti orang lain.
Disorientasi
Target Ahok yang ingin membenahi birokrasi dan tata kelola Pemprov DKI memang patut diacungi jempol. Tapi gaya Ahok sebagaimana yang dikenal selama ini belum tentu bisa diterima seluruh unsur di dalam birokrasi Pemprov DKI. Tidak semua pegawai DKI bisa menerima jika diperlakukan sangat keras dan kasarolehatasannya. Gaya yangdemikian belum tentu efektif untuk mencapai target.
Dalam beberapa kesempatan, Ahok juga tampak kasar terhadap DPRD DKI. Sikap yang demikian sudah barang tentu menimbulkan reaksi perlawanan dari DPRD DKI. Sebaliknya DPRD DKI pun secara terbuka sering merendahkan martabat Gubernur DKI. DPRD DKI memang wajib mengkritik atau mengecam kebijakan Gubernur DKI. Tapi kritik dan kecaman itu tidak boleh mengurangi penghormatan terhadap institusi kegubernuran DKI.
Tidak semua persoalan harus diobral ke ruang publik. Dalam konteks etika pejabat publik, ada masalah yang bisa diselesaikan melalui dialog dan lobi di ruang tertutup. Semangat inilah yang tampaknya tidak dimiliki lagi oleh Gubernur DKI dan DPRD DKI saat ini. Idealnya, semua masalah diketahui publik. Tapi, jika hanya menimbulkan keresahan atau kebisingan, tetap saja publik yang dirugikan.
Kasus anggaran siluman di APBD DKI tahun 2015 tidak perlu menimbulkan kebisingan jika Gubernur DKI dan pimpinan DPRD DKI mau berdialog dan bersepakat mencoret proyek-proyek yang tidak tercantum dalam e-budgeting. Tapi, kalau kemudian Kemendagri bisa menerima dua versi APBD DKI tahun 2015, itu jadi pertanda bahwa tidak ada dialog dan Gubernur DKI serta DPRD DKI memang sengaja memperuncing rivalitas di antara mereka.
Lantas, apa yang didapat warga Jakarta? Tak lain dari kebisingan yang sesungguhnya tak perlu. Karena rivalitas itu terus dikembangkan dan melebar tak keruan, Gubernur DKI dan DPRD DKI pun seperti terjangkit virus disorientasi karena tak tahu lagi mana yang prioritas dalam konteks membangun dan membenahi Jakarta. Masingmasing hanya fokus pada pendirian tentang siapa salah-siapa benar.
Mereka lupa bahwa sesuai dengan jabatan dan fungsi masing-masing, Gubernur DKI dan DPRD DKI harus memprioritaskan pembangunan dan pembenahan kota serta pelayanan kepada warga Jakarta. Kisruh Gubernur DKI dengan DPRD DKI yang terus berkembang mulai menimbulkan kegelisahan di sebagian masyarakat. Kisruh di Jakarta ini seperti mengeskalasi disharmoni yang terjadi antara Presiden Joko Widodo dengan sebagian kekuatan di DPR RI selepas pembatalan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kapolri.
Di DPR ada upaya untuk mengegolkan pelaksanaan hak angket, sementara DPRD DKI pun sedang berupaya memuluskan penggunaan hak angket terkait dengan kontroversi APBD DKI tahun 2015. Penggunaan hak angket menjadi opsi yang dipilih DPRD DKI karena ada delapan peraturan yang ditabrak Gubernur DKI.
Gubernur DKI antara lain dinilai melanggar lima aturan perundang-undangan, meliputi Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2014, UU No 17 Tahun 2004, dan UU No 17 Tahun 2003. Menurut DPRD DKI, proses penyusunan RAPBD 2015 tidak berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan sampai provinsi dan tidak mengacu pada data Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), melainkan dari hasil tim ahli (Tim 20) yang tidak kompeten menurut aturan yang berlaku.
DPRD DKI
pantas marah karena RAPBD DKI 2015 rancangan Tim 20 itu tidak boleh dibahas
DPRD DKI. Karenanya, Gubernur DKI dinilai meniadakan fungsi anggaran DPRD DKI.
Penggunaan hak angket oleh DPRD DKI bisa menjadi sangat sensitif karena
perseteruan Gubernur DKI dan DPRD DKI bisa menyeret Presiden Joko Widodo ke
dalam kasus hukum karena manipulasi APBD DKI yang dipersoalkan terjadi semasa
Jokowi menjabat sebagai gubernur DKI.
DPRD DKI memang wajib menyelidiki draf APBD DKI 2015 jika benar diserahkan secara sepihak oleh Gubernur DKI ke Kementerian Dalam Negeri atau tanpa persetujuan DPRD DKI. Hak angket yang digagas di DPR maupun DPRD DKI memiliki dasar dan alasan yang kuat. Jika hasil penyelidikan itu menemukan data dan fakta yang kuat, bisa saja langkah selanjutnya yang akan ditempuh legislatif berujung pada proses pemakzulan. []
Koran SINDO, 10 Maret 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Anggota Komisi
III DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar