Mengulang Skenario Kudatuli PDI pada Golkar dan PPP
Oleh: Bambang Soesatyo
Politik pecah belah seperti yang dialami Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) saat ini tak bisa dilepaskan dari kehendak dan
ambisi penguasa.
Apa yang dialami Partai Golkar seperti mengulang skenario memecah belah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) oleh Orde Baru, yang ditandai dengan adu domba kubu Soerjadi dukungan penguasa melawan Megawati Soekarnoputri untuk memperebutkan kepemimpinan PDI pada 1996.
Ada yang ingin melampiaskan dendamnya pada Partai Golkar? Skenario adu domba itu ingin diulang saat ini dengan menunggangi konflik internal Partai Golkar. Melalui wewenang dan kekuasaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, kekuatan-kekuatanpolitik pendukung pemerintah mendorong dan menempatkan Partai Golkar pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) hasil Musyawarah Nasional (Munas) Bali berhadap- hadapan frontal dengan kubu Partai Golkar pimpinan Agung Laksono (AL) hasil Munas Ancol.
Seperti copy paste dari skenario Mega vs Soerjadi oleh Orde Baru
pada ARB vs AL oleh penguasa sekarang. Kecenderungan yang sama juga terlihat
pada konflik berkepanjangan ditubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Menkumham Laoly terangterangan mengadu domba DPP PPP pimpinan Djan Faridz hasil
Muktamar Jakarta, melawan DPP PPP pimpinan M Romahurmuziy (Romi) hasil Muktamar
Surabaya.
Skenario Mega vs Soerjadi berujung pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996 yang dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Saat itu kader PDI loyalis Mega menduduki dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dan menggelar mimbar bebas. Para orator pro- Mega memanfaatkan mimbar bebas itu untuk mengkritik dan mengecam Orde Baru. Sabtu subuh 27 Juli 1996, Kantor DPP PDI itu diserang sekelompok orang.
Serangan mematikan itu menewaskan banyak kader PDI loyalisMega. Komnas HAM mencatat lima pendukung Mega tewas, 149 orang terluka dan 136 lainnya ditahan. Namun, para saksi mata yakin jumlah yang tewas mencapai puluhan orang, 300 lainnya luka parah. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa berdarah Kudatuli itu.
Namun, tragedi Kudatuli itu menjadi cikal bakal lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Beberapa bulan lalu nyaris terjadi peristiwa berdarah di lokasi yang sama ketika para simpatisan PPP loyalis Suryadharma Ali (SDA)-Djan Faridz merangsek masuk dan coba menguasai Kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro. Aksi serupa dibalas lagi oleh kubu Romi pada 3 Desember 2014.
Dua kubu akhirnya sepakat untuk bersama-sama mengamankan kantor DPP itu. Juga karena kepemimpinan yang terbelah, DPP Partai Golkar pimpinan ARB pun untuk sementara mengalah dengan tidak berkantor di DPP Partai Golkar di Slipi. Dengan ancaman kekerasan, Kantor DPP Partai Golkar diduduki secara paksa oleh AL dkk. Kubu ARB mengalah karena tidak ingin menempuh kekerasan guna menghindari jatuh korban. Tetapi, sudah jelas bahwa persoalan Partai Golkar belum tuntas.
Dengan memaksakan kemenangan Golkar Munas Ancol, yang ditandai pengesahan kepengurusan DPP Partai Golkar dengan Ketua Umum AL, persoalan justru tambah rumit. Manuver politik Menkumham Laoly ini sangat berisiko karena mengeskalasi masalah. Alasan utamanya, masih ada proses hukum yang juga seharusnya diakui dan dihormati oleh Menkumham.
Pengesahan DPP Partai Golkar Hasil Munas Ancol yang dipaksakan itu
bahkan cacat hukum karena hanya berlandaskan keputusan Mahkamah Partai yang telah
dimanipulasi oleh Menkumham sendiri. Menkumham terang-terangan mengabaikan
fakta hukum dan mendahului keputusan pengadilan.
Padahal, mengacu pada sejumlah fakta, utamanya fakta tentang pemalsuan surat mandat DPD I-II Partai Golkar, Munas Ancol itu nyata-nyata ilegal sebab sarat dengan tindak pidana pemalsuan. Aksi pemalsuan itu sudah ditelanjang di ruang publik. Kasus tindak pemalsuan surat mandat DPD I dan II Partai Golkar sebagai syarat penyelenggaraan Munas Ancol itu sudah dilaporkan ke Polri dan sedang didalami Bareskrim Mabes Polri.
Antisipasi Ekses
Pengesahan itu pun menjadikan DPP Partai Golkar abnormal karena tidak dilengkapi dokumen dan sejumlah persyaratan yang mutlak diperlukan. Dokumen yang belum dilengkapi kubu Ancol meliputi bukti mandat asli DPD I-II Partai Golkar, notulen rapat, absensi, hasil sidang komisikomisi, serta pemandangan umum DPD I -II Partai Golkar di sidang paripurna Munas Ancol.
Selain itu, dokumen pengesahan kepengurusan berupa akta notaris juga patut diragukan. Logikanya, tidak ada notaris yang berani mengesahkan hasil Munas Ancol karena sarat dokumen palsu sebab ada sanksi pidana bagi notaris yang membuat pengesahan berdasarkan dokumen palsu. Karena itu, Yusril Ihza Mahendra dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum DPP Partai Golkar hasil Munas Bali sudah mengambil ancang-ancang.
“Kami sedang berupaya mendapatkan konfirmasi dari Kemenhumkam atas ditandatanganinya SK (surat keputusan pengesahan) itu. Alangkah baiknya jika kami mendapatkan copy atausalinanSKituagarkami segera mengambil langkah hukum. Jangan akal-akalan,” ucap Yusril. Bagi Yusril, langkah hukumlah yang harus diambil karena SK Menkumham adalah sebuah keputusan hukum.
Demi menegakkan hukum dan konstitusi, rakyat akan melihat yang mana yang lebih kuat di negara ini, hukum atau kekuasaan. “Mari kita sama-sama menyaksikannya dalam suatu pertarungan hukum yang fair, adil, dan tidak memihak. Sejarah akan mencatatnya,” kata Yusril. Kerumitan akan menjadijadi karena kubu ARB tidak akan diam. Kubu ARB berencana melaporkan Menkumham Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung dengan sangkaan melanggar Pasal 23 UU 31/1999 tentang Tipikor juncto Pasal 421 KUH Pidana.
Itulah rangkaian masalah yang ditumpuk-tumpuk Laoly akibat caranya menyikapi konflik internal Partai Golkar. Perlawanan Partai Golkar kubu ARB tentu akan diikuti PPP kubu Djan Faridz. Para elit dua partai yang merasa terzalimi diyakini akan menempuh saluran hukum. Persoalannya, bagaimana akar rumput dua partai menyikapi konflik para elitenya? Ini yang juga seharusnya dikalkulasi penguasa saat ini, khususnya Menkumham Laoly.
Sebagai pembantu Presiden, Menkumham jangan menutup mata, apalagi mengesampingkan realitas politik itu. Menkumham yang bertindak atas nama Presiden dan pemerintah harus bertanggung jawab jika keputusannya memihak kubu Ancol akan menimbulkan konflik horizontal di akar rumput Partai Golkar seperti yang pernah dialami Megawati ketika organisasi politiknya masih beridentitas PDI (hasil Kongres Surabaya).
Skenario Mega vs Soerjadi sebaiknya jangan di-copy paste pada ARB vs Agung untuk konteks perpolitikan di era demokrasi sekarang ini. Jika pertikaian ARB vs Agung dibiarkan berlarut-larut dan terjadi ekses seperti Kudatuli, akan muncul anggapan bahwa ada pihak yang ingin melampiaskan dendam sejarah politiknya pada Partai Golkar.
Saat terjadi tragedi Kudatuli, Golkar yang masih berstatus ormas
menjadi pendukung utama dan mesin politik Orde Baru. Presiden Joko Widodo jelas
tidak memiliki dendam sejarah itu. Namun, jika ekses serupa Kudatuli terjadi,
Presidenlah yang akan menerima getahnya. Gerak maju reformasi politik akan
terhenti. Dinamika politik Indonesia akan mengalami kemunduran karena terbentuk
persepsi bahwa penguasa masih ingin mengontrol dan mengendalikan partai-partai
politik.
Langkah paling konstruktif untuk mencegah ekses adalah kearifan penguasa untuk mengedepankan sikap dan posisi yang independen. Harus muncul kemauan politik dari semua unsur penguasa untuk keluar dari gelanggang pertikaian di tubuh Partai Golkar maupun PPP. Pemerintah dan unsur kekuatan lain yang berada di belakang pemerintah harus legawa, membiarkan pihakpihak yang bertikai mandiri menyelesaikan persoalan internalnya, baik melalui proses islah maupun melalui proses hukum.
Penyelesaian pertikaian internal Partai Golkar masih akan menempuh proses dan perjalanan panjang. Proses penyelesaian itu berpotensi menimbulkan instabilitas politik. Semoga, potensi instabilitas itu juga dikalkulasi oleh Presiden Joko Widodo. []
Koran
SINDO, 23 Maret 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota
Komisi III DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar