Defisit
Moral Bernegara
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Rabu
kemarin saya danYudi Latif diundang diskusi di kantor Wantimpres (Dewan
Pertimbangan Presiden) berbicara tentang Pancasila dan Kebangsaan. Tanpa ada
kompromi sebelumnya, ternyata kami berbicara dengan kesimpulan yang sama.
Bahwa Pancasila sebagai ideologi bernegara, itu sudah selesai. Yang memprihatinkan adalah justru nilai-nilai Pancasila yang pernah tumbuh dalam masyarakat dan menjadi panduan serta spirit para generasi awal Republik ini semakin terkikis. Nilainilai kemanusiaan yang berketuhanan, berkeadilan, dan berorientasi kerakyatan semakin menipis, ditinggalkan dan dikhianati.
Kita mengalami defisit moral-ideologisdalamberbangsa dan bernegara. Tabungan moral warisan para pendahulu semakin menipis, sementara kita tidak melakukan reinvestasi moral untuk kita wariskan pada generasi penerus. Jika di sana terdapat sekian banyak teori kepemimpinan, salah satu teori yang disepakati bersama adalah memimpinlah dengan keteladanan.
Pemimpin yang memberikan suri teladan ini semakin sulit ditemukan. Para pendiri Republik ini adalah para politisi dan sekaligus juga negarawan. Mereka biasa berbeda dan bertengkar tentang pandangan politiknya. Namun, etika politik tetap dijaga dan kepentingan bangsa-negara di atas kepentingan serta loyalitas politik golongan. Sekarang ini yang terjadi sebaliknya.
Orang rela mengorbankan kepentingan rakyat dan negara demi kepentingan diri dan kelompoknya. Fungsi hukum yang sedianya untuk menjaga keadilan dan melindungi warga agar tidak dizalimi orang lain, kadang kala yang terjadi adalah mempermainkan hukum, dengan otoritas dan jabatan yang dimiliki, untuk membenarkan yang salah semata karena kepentingannya terganggu.
Yang menyedihkan, defisit moral politik ini juga melanda lingkungan parpol yang merupakan tulang punggung dan aktor demokrasi serta pemasok politisi serta pejabat negara. Banyak kader parpol yang masuk penjara karena melakukan tindak pidana korupsi. Lalu parpol juga terjangkit perpecahan antarelitenya.
Setiap ada musyawarah atau kongres nasional untuk pergantian pimpinan, selalu beredar uang untuk membeli loyalitas dan membeli suara dukungan. Ini realitas politik yang pahit dilihat dan diterima. Ketika idealisme dan etika politik tak lagi tumbuh di lingkungan parpol, kelanjutannya panggung negara juga terkenaimbasnya karenadalamerademokrasi yang namanya pemerintah adalah panggung bagi wakilwakil parpol.
Masyarakat sekarang ini merasa semakin sulit menunjuk politisi yang bisa dijadikan suri teladan baik secara moral maupun intelektual. Dahulu para aktivis dan pejuang politik adalah juga pencinta ilmu. Mereka rata-rata pencinta buku sehingga terlihat keluasan wawasannya. Tentu saja sekarang masih ada yang memiliki kualitas seperti itu. Namun terasa semakin langka.
Yang menonjol sosok politisi adalah juga pemain bisnis dan pelobi. Ketika seseorang masuk ranah politik praktis, yang ada di benaknya adalah kalkulasi untung- rugi secara ekonomi. Seorang politisi adalah juga seorang pelobi yang berlangsung di belakang layar. Yang kemudian keluar ke publik hanyalah beberapa pernyataan singkat tanpa wawasan intelektual dan kenegarawanan, bahkan sering membingungkan rakyat.
Belakangan ini terjadi dinamika dan akrobat politik yang membuat rakyat bingung, kecewa, dan lelah. Prapemilu massa terbagi menjadi dua kelompok pendukung, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tetapi ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan Budi Gunawan menjadi kapolri, suara KMP mendukung kebijakan Jokowi, sementara suara KIH sangat kritis pada Jokowi.
Padahal, Jokowi jadi presiden diusung oleh KIH. Pelajaran dan tontonan politik apa yang hendak disampaikan pada rakyat? Yang juga menyedihkan adalah lembaga KPK yang masih mendapat dukungan tertinggi rakyat, justru mengalami pingsan di saat Jokowi pilihan rakyat menjadi presiden.
Kalau Presiden Jokowi tidak segera mengambil kebijakan tegas prorakyat, kepercayaan rakyat pada pemerintah pasti akan menurun. Jadi, bermula dari defisit moral berbangsa dan bernegara, eksesnya bisa ke manamana. Bangsa ini akan kehilangan momentum untuk bangkit dan maju. Kekompakan gerak bersama antara pemerintah dan rakyat tidak terjadi. Kriminalitas dan radikalisme akan muncul di mana-mana. []
Koran SINDO, 06 Maret 2015
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar