KH Ishaq Latief, Kiai
Nyentrik yang Gemar Membaca
“Dalam kebaikan,
seyogyanya kita Berpartisisapi.”
“Berpartisipasi,
Kiai!”
“Eh, yo ngono
maksudku, Rek…”
“Haaa…” semua tertawa
membahana.
Demikian sedikit
gambaran pengajian yang diampu almarhum Kiai Haji Ishaq Latief. Penuh joke-joke
segar dan pelesetan bahasa-logika yang membuat suasana semakin cair. Hubungan
santri dan kiai begitu akrab tanpa sekat. Kiai Ishaq berkata blak-blakan, sedangkan
santri ikut menyahuti. Lebih dahsyat daripada stand up comedy dan terkadang
lebih khidmat daripada forum seminar bertaraf nasional.
Pada tahun 2002
pengajian kitab kuning yang beliau asuh ba’da isya sudah berjalan rutin, entah
sejak tahun berapa pengajian yang diikuti banyak santri itu dideklarasikan.
Para santri tidak hanya bertempat di pusat lokasi pengajian yakni di gedung UKP
lantai II, melainkan berhamburan sampai lapangan basket, depan kompleks (kini
wisma) dan sebagian memilih di serambi masjid. Tempat terakhir ini menjadi
favorit sebagian santri, karena di samping sejuk, mereka bisa sambil ngemil
jajan dari kantin, bahkan dengan posisi tubuh selonjoran bebas. Tak sedikit
pula mereka yang ketiduran bahkan sampai bedug ditabuh tanda adzan subuh segera
berkumandang.
Suara speacker
pengajian Kiai Ishaq menggema tidak hanya memenuhi areal Pesantren Tebuireng,
melainkan sampai desa-desa tetangga. Tak sedikit pula, orang-orang yang sedang
menempuh perjalanan berhenti mendengarkan pengajian beliau yang penuh hikmah
dan canda. Bagi beliau, canda adalah obat jitu untuk mengusir rasa kantuk para
santri. Maka tak ayal, beliau tidak segan-segan berpantun “Sami ugi sami mawon,
bokong gede dientup tawon.”
Jika dihimpun banyak
sekali aporisma atau kalam mutiara yang beliau slipkan di sela-sela pengajian.
Quote anekdotik ini contohnya, “Ngono yo ngono Rek, ning yo ojo ngono…” (Begitu
ya begitu, tapi ya jangan begitu). Kiai Ishaq salah satu sosok tokoh yang
hampir serupa dengan Gus Dur dalam hal menghadapi permasalahan. Keduanya tidak
pernah menganggap sebuah problem sebagai beban apalagi halangan, justru semua
dianggap ringan dan sarana belajar. Hasilnya, masalah itu hilang dengan
sendirinya dengan menemukan solusi terbaiknya. “Kita hanya bisa berusaha dan
berdoa, sedangkan ketentuan hanya milik Allah,” tutur beliau.
Terbuka Namun
Tertutup
Suatu ketika, saat
menjadi tim redaksi cilik Majalah Tebuireng saya diamanahi oleh Redaktur
Pelaksana, Ust. A. Mubarok Yasin, untuk menghimpun kisah-kisah tentang Kiai
Idris Kamali. Pembina alumnus Lirboyo itu membekali saya secarik kertas sebagai
panduan wawancara. Salah satu narasumber yang diutamakan adalah Kiai Ishaq.
Saya yang ketika itu masih duduk di bangku Aliyah, kebingungan bagaimana
mungkin bisa mengajak ngobrol kiai besar sekaliber Kiai Ishaq.
Akhirnya saya
beranikan diri, meskipun penuh kekhawatiran, bahkan sampai di depan pintu kamar
Kamah Condro Dimuko tubuh saya masih ndredek gemeteran. Saya sowan ke kamar
beliau dan berterus terang menyampaikan maksud kedatangan. Alangkah bahagianya
saya saat itu, seperti kejatuhan duren matang, proses wawancara berjalan dengan
lancar. Beliau sangat welcome ditanya banyak tentang sosok guru tauladannya
itu.
Namun belakangan,
teman saya sesama redaktur bernasib nahas, ia ditolak wawancara oleh Kiai Ishaq
karena hendak memuat profil beliau. Ya, Kiai Ishaq adalah sosok low profile,
tidak mau diekspos. Hal ini sebagaimana adagium kitab Al-Hikam yang menjadi
salah satu pegangan beliau, “Idfan wujudaka fil ardhil-khumul, fama nabata mimma
lam yudfan la yatimmu natajuhu” (Tanamlah wujudmu dalam bumi kesunyian,
karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, hasilnya tidaklah
sempurna).
Seiring berjalannya
waktu, atas inisiatif tim Pustaka Tebuireng yang dipimpin KH Salahuddin Wahid
(Gus Sholah), transkip lengkap hasil wawancara dengan Kiai Ishaq dikembangkan.
Akhirnya, jadilah sebuah buku biografi KH Idris Kamali. Buku itu berjudul
“Tokoh Besar di Balik Layar” ditebitkan oleh Pustaka Tebuireng tahun 2010.
Membaca Tanpa Lelah
Setiap Majalah
Tebuireng terbit, Kiai Ishaq selalu ingin membacanya. Tak jarang, seorang
santri beliau mendatangi kantor redaksi bertanya tentang edisi terbaru. Kami
sadar bahwa Kiai Ishaq adalah kiai yang sangat haus akan ilmu dan informasi.
Tidak hanya kitab-kitab kuning, media cetak seperti koran, tabloid, dan majalah
menjadi konsumsi beliau setiap hari.
Saat berada di warung
makan, beliau kerap menyempatkan diri membaca kitab atau majalah yang
dibawanya. Waktunya tidak ingin terbuang sia-sia. Menunggu hidangan tersaji pun
beliau gunakan untuk membaca. “Baca-baca kitab atau buku di warung nggak
masalah, yang penting kan tidak mengganggu pelanggan yang lain,” ucap beliau
suatu ketika.
Menurut informasi
santri dekat beliau, Kiai Ishaq tidak pernah tidur setiap malamnya. Tak lain
beliau gunakan untuk mutho’ah, membandingkan keterangan satu kitab dengan kitab
lain yang saling berkaitan. Beliau memiliki koleksi kitab yang sangat variatif dari
berbagai disiplin ilmu. Maka tak heran, ketika mengaji, beliau sering kali
mengutip kitab-kitab besar, lengkap dengan halamannya. Inilah yang harus ditiru
oleh santri-santri sekarang.
Terkadang beliau
mengoreksi jika ditemukan typo atau kesalahan dalam penulisan teks kitab.
Uniknya beliau tidak menyalahkan mushannif (penyusun kitab), atau percetakan
yang mencetak kitab itu, akan tetapi beliau menduga koreksian beliau yang
justru bisa jadi salah. Terbukti beliau selalu mengoreksi dengan imbuhan frase
“la’alla shawab” (kemungkinan benar).
Beliau memang perokok
berat, namun saat mengaji berjam-jam lamanya, Kiai Ishaq enggan menyulut
rokoknya satu batang pun. Menurut penuturan para alumni generasi tua, beliau
merupakan sosok kiai yang modis dan necis. Di saat orang-orang jarang memiliki
kendaraan, beliau telah memiliki sepeda motor bahkan sampai di usia sepuh
beliau biasa ke mana-mana dengan mengemudikan motor besarnya, sedangkan
santrinya justru dibonceng. Beliau juga pencinta berat sepakbola, wayang, lagu-lagu
lokal dan hobi berwisata kuliner kelas menengah. Kebiasan unik seperti ini yang
jarang dimiliki para kiai pada umumnya.
***
Kini kiai nyentrik
asal Sidoarjo ini telah tiada. Kewafatannya pada hari Jumat 27 Februari 2015
membawa duka mendalam bagi kaum Nahdhiyin Jawa Timur, terlebih para alumnus
Pesantren Tebuireng. Sampai akhir hayatnya (75), Kiai Ishaq Latief tetap setia
membimbing para santri, mengabdikan diri untuk ilmu dan beribadah bahkan
merelakan dirinya tidak berkeluarga.
Semoga Allah SWT mengampuni
segala kesalahannya dan memberikannya tempat terbaik di surga, serta ilmu dan
segala yang beliau dedikasikan bermanfaat fid din wad dunya wal akhirat. Amin.
[]
*) Fathurrahman
Karyadi, Penulis adalah lulusan Ma’had Aly Tebuireng dan editor bahasa di salah
satu media online nasional di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar