Kompromi
Penyelamatan KPK
Oleh: Moh
Mahfud MD
Setelah
membaca dan mendengar suara rakyat melalui media massa serta berdiskusi dengan
berbagai kalangan, terasalah sekarang ini muncul kecemasan atas masa depan
pemberantasan korupsi.
Di kalangan gerakan prodemokrasi dan pegiat antikorupsi banyak yang cemas, pascaperistiwa cicak vs buaya jilid 3, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan lumpuh. Padahal KPK selama ini telah menunjukkan prestasi hebatnya dalam perang melawan korupsi.
KPK bisa memutus rantai penghalang pemberantasan korupsi yang selama puluhan tahun terajut begitu kokoh. KPK bisa mengantarkan ke penjara orang-orang kuat dipolitik dan pemerintahan: pentolan parpol, menteri aktif, dan ketua lembaga negara. Selain itu pengusaha hitam, dan pelaku berbagai mafia.
Dalam prestasinya itu, yang paling mengesankan, KPK tak pernah gagal membuktikan dakwaannya ketika seseorang sudah diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa. Semua pesakitan KPK yang diajukan ke pengadilan 100% bisa dikirim ke penjara karena terbukti korupsi.
Pernah ada ”satu saja” kasus yang lolos di pengadilan tingkat pertama, yakni kasus pimpinan BUMN PT Merpati, tetapi pada akhirnya tendangan KPK digolkan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi: terdakwa dijatuhi hukuman juga. Semua yang naik banding dan kasasi pasti ditolak dan pengadilan banding maupun kasasi selalu memenangkan KPK, bahkan menaikkan hukumannya.
Dengan melihat catatan bahwa KPK tak pernah gagal membuktikan dakwaannya yang diuji oleh pengadilan secara bertingkat, dapat diartikan bahwa KPK sudah profesional. Itulah sebabnya KPK sejak zaman Taufiequrachman Ruki sangat disegani. Ruki telah berhasil meletakkan dasar-dasar profesionalisme dan kegagahan sepak terjang KPK.
Tapi, sekarang ini, pasca konflik orang-orang KPK dan orang-orang Polri yang berimbas pada keterlibatan institusi, KPK menghadapi ancaman kelumpuhan. Banyak yang merasa bahwa sekarang ini sedang terjadi kriminalisasi (meski istilah ini bisa diperdebatkan) terhadap orang-orang KPK dan para pendukungnya dan terjadi proses pelumpuhan terhadap KPK sebagai lembaga penegak hukum.
Ini sungguh mengkhawatirkan karena KPK merupakan anak kandung reformasi yang dalam perjalanannya paling berhasil memerangi korupsi. Tapi kalau mau berintrospeksi dalam kasus yang terakhir, kasus cicak vs buaya jilid 3, ini KPK telah bertindak agak ceroboh dan terasa berbau politis.
Ada gejala pelanggaran etis dan kecerobohan dalam prosedur hukum yang harus dibayar mahal sekarang. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka yang bersambungan dengan pengusulannya sebagai calon kapolri telah menimbulkan kesan kuat adanya unsur politis.
Apalagi kemudian disusul dengan terkuaknya fakta bahwa Ketua KPK Abraham Samad telah melakukan pertemuan-pertemuan politik yang terkait dengan dirinya menjelang Pilpres 2014. Ini adalah pelanggaran serius, bukan pelanggaran pidana, tetapi pelanggaran etika yang menodai KPK dan merusak semua reputasinya yang membanggakan.
Terlebih
lagi ternyata di dalam sidang praperadilan KPK tidak mau (atau tidak bisa)
menunjukkan adanya dua alat bukti permulaan yang sah saat menjadikan Budi
Gunawan sebagai tersangka. Kekalahan KPK di sidang praperadilan telah
menggegerkan dunia hukum dan mengacaukan prosedur umum penegakan hukum pidana.
Ia membuka peluang, orang-orang yang dijadikan tersangka mengajukan gugatan
praperadilan.
Bukan hanya dalam pidana korupsi, tetapi dalam semua kasus pidana; bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di semua daerah di seluruh Indonesia. Materi gugatan praperadilan pun sudah menyentuh soalsoal di luar prosedur, tetapi menyangkut yang seharusnya disampaikan pada sidang peradilan yang sesungguhnya, bukan di praperadilannya.
Yang sangat mengkhawatirkan, KPK sendiri terancam lumpuh dan tidak lagi bisa terus eksis. Langkah-langkah Polri sekarang yang mudah memproses laporan-laporan atas orang-orang atau pendukung KPK merupakan perkembangan yang tidak menggembirakan. Semua musuh KPK, yang putih dan yang hitam, sekarang punya momentum bersatu menyerang KPK.
Masa depan pemberantasan korupsi tentu sangat suram jika tidak ada langkahlangkah penyelamatan atasnya. Menurut saya, maaf kalau ada yang tak setuju, untuk menyelamatkan KPK saat ini kita perlu berkompromi dengan keadaan, yakni melepas kasuskasus tertentu dulu untuk tidak ditangani KPK sampai tercapai saling pengertian dalam penanganan kasus-kasus tertentu.
Penanganan kasus rekening gendut yang selalu menjadi isu selama bertahun-tahun, misalnya, bisa dilepas dulu dan dicarikan penyaluran penanganan di luar KPK. Begitu juga perlu dipertimbangkan, KPK tidak menangani dulu kasus kakap yang bersumber dari kebijakan yang sah, sebab kebijakan itu tak bisa dipidanakan kecuali nyata-nyata ada tindak pidana dalam pembuatannya.
Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, tak bisa diarahkan pada kebijakan atau pembuat kebijakannya yang sudah sah. Penanganannya cukup difokuskan pada implementasinya yang ternyata diboncengi oleh tindak pidana korupsi. Jadi harus ada garis yang tegas antara pembuatan kebijakan yang sah dengan implementasinya yang koruptif.
Kita tidak boleh berkompromi dengan korupsi karena korupsi adalah kanker pencabut nyawa negara. Tapi sah saja kita berkompromi dengan keadaan daripada KPK-nya menjadi lumpuh bahkan mati sebagai risiko atas kecerobohan KPK sendiri.
Kalau KPK lumpuh karena tak mau berkompromi dengan keadaan, ada sentra-sentra korupsi yang tak terawasi dan bisa terlepas secara liar, misalnya kementerian-kementerian, lembaga-lembaga negara, pemerintah daerah, DPRD. Sungguh mengerikan kalau hal itu terjadi. []
Koran SINDO, 28 Februari 2015
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar