Mewaspadai Sektarianisme di Timteng
Oleh: Hasibullah Satrawi
Dalam beberapa minggu terakhir, instabilitas politik di Yaman
sangat tinggi. Ini tidak terlepas dari Deklarasi Konstitusi (al-I’lan ad-Dustury)
yang dilakukan oleh kelompok Houthi di Istana Kepresidenan Yaman (06/02).
Deklarasi yang menggegerkan Timur Tengah secara umum dan dunia
Arab secara khusus ini membubarkan Parlemen Yaman dan membentuk Dewan Revolusi
(dari kalangan Houthi) sebagai pelaksana pemerintahan sementara. Dalam
pendahuluan disebutkan, Deklarasi Konstitusi ini dikeluarkan sebagai upaya
penyelamatan Yaman dari kekosongan pemerintahan setelah Presiden dan Perdana
Menteri Yaman (Abd-Rabbu Mansour Hadi dan Khaled Bahah) mengundurkan diri
(23/01).
Sebelumnya, kelompok Houthi yang sejak 21 Januari berhasil
menguasai Istana Kepresidenan Yaman melalui aksi bersenjata memberikan
kesempatan kepada segenap partai dan kekuatan politik untuk mencapai konsensus
nasional. Namun, upaya yang dipimpin oleh utusan khusus Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), Jamel Benomar atau Jamel Bin Umar, ini dianggap gagal hingga
akhirnya kelompok Houthi mengeluarkan Deklarasi Konstitusi.
Deklarasi Konstitusi memuat 16 butir atau pasal untuk mengatur
pemerintahan Yaman sementara menuju pemerintahan transisi sebelum terbentuk
pemerintahan permanen. Pasal 1 menegaskan bahwa konstitusi Yaman tetap berlaku
selama tidak bertentangan dengan substansi Deklarasi Konstitusi ini.
Pasal 5 dan pasal 11memberikan mandat kepada Dewan Revolusi untuk
membentuk Dewan Nasional (semacam parlemen) yang terdiri atas 551 anggota
(Pasal 6) untuk selanjutnya Dewan Nasional membentuk Dewan Kepresidenan (Pasal
8) yang terdiri atas lima anggota. Deklarasi yang dikeluarkan para pemimpin
revolusi ini juga menentukan masa transisi yang paling lambat akan berlangsung
selama dua tahun sesuai bunyi Pasal 14 (as- Shar al-Awsat, 7/2).
Dalam perkembangan terkini dilaporkan, Presiden Yaman yang sempat
mengundurkan diri, Abd-Rabbu Mansour Hadi, menegaskan kembali sebagai presiden
Yaman yang sah. Ini dilakukan setelah Abd- Rabbu Mansour Hadi berhasil
melarikan diri dari rumahnya di Sana’a (21/02) kemudian tinggal di Kota Aden
yang dikenal sebagai basis loyalisnya (Al-jazeera. net, 21/02).
Perkembangan ini hampir dipastikan akan menambah kerawanan politik
di Yaman, khususnya konflik-konflik yang bercorak sektarian.
Sentimen Sektarian
Sebagaimana dimaklumi bersama, negara-negara Arab merespons
negatif Deklarasi Konstitusi yang dilakukan oleh kelompok Houthi, khususnya
pihak-pihak yang berafiliasi ke sekte ataupun kekuatan politik Sunni (termasuk
media). Sebagian media bahkan menyebut deklarasi ini sebagai penyempurnaan
kudeta yang dilakukan oleh kelompok Houthi yang sejak 21 September 2014
berhasil menguasai ibu kota Yaman.
Kelompok Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang
bersifat minoritas di Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Kendati demikian,
kelompok yang sejak terjadi Arab Spring (Musim Semi Arab) kerap menyebut
diri dengan nama Ansharullah ini pernah berkuasa di Yaman, khususnya di Yaman
Utara sebelum Yaman berbentuk republik pada 1962. Mungkin kesadaran historis
inilah yang membuat kelompok minoritas ini terus berjuang untuk menghadirkan
kembali ”kebesaran” masa lalu pada masa kini.
Hingga akhirnya mereka berhasil menguasai pemerintahan pusat
seperti sekarang. Deklarasi yang dilakukan oleh kelompok Houthi di Yaman
dipastikan tak hanya akan berdampak serius terhadap internal masyarakat Yaman
yang secara mayoritas beraliran Sunni. Deklarasi ini hampir dipastikan juga
akan berdampak serius terhadap dunia Arab dan Timur Tengah secara umum.
Apalagi Yaman (di bawah pemerintahan kelompok Sunni) selama ini
menjadi salah satu koalisi utama AS, khususnya dalam perang melawan kelompok
al- Qaeda, di satu sisi, dan dalam mengantisipasi politik Iran yang disinyalir
berada di belakang kelompok Syiah seperti Houthi, di sisi yang lain.
Di antara dampak yang cukup mengerikan dan perlu diwaspadai
(termasuk oleh Indonesia) adalah menguatnya kembali sentimen sektarian antara
Sunni dan Syiah. Disebut demikian karena kawasan Timur Tengah secara umum
mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi terkait hubungan Sunni dan Syiah
sebagai akibat dari konflik-konflik masa lalu.
Berdasarkan pengalaman penulis di Timur Tengah, hampir tidak ada
konflik antaragama di kawasan ini. Justru yang kerap terjadi adalah konflik
sektarian (intra-agama) antara Sunni dan Syiah, khususnya di negara-negara yang
sebaran populasi pengikut keduanya tidak jauh berbeda seperti di Irak, Lebanon,
dan yang lainnya. Pada tahap tertentu, sentimen sektarian di Timur Tengah telah
menjadi ”alam bawah sadar” masyarakat, termasuk juga para elite-elitenya.
Hingga sentimen ini terus hadir dalam percaturan politik modern
(seperti ketegangan antara Iran dan negara-negara Arab atau antara milisi
bersenjata Syiah seperti Hizbullah di Lebanon dengan militan Sunni seperti
al-Qaeda atau NIIS) sekaligus memperbarui ”luka lama” secara terus-menerus.
Sentimen sektarian ini bahkan tak jarang menjadi politik birokrasi
(terhadap warga negara), menentukan politik luar negeri negaranegara di kawasan
dan menjadi benih bagi lahirnya kelompok-kelompok militan baru. Apa yang
dialami Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bisa dijadikan sebagai salah
satu contoh dari yang telah disampaikan di atas. Sebagaimana dimaklumi, ISIS
awalnya terlahir dari Negara Islam di Irak (NII) sebagai salah satu cabang al-
Qaeda yang berpusat di Afghanistan.
Kelompok ini kerap melawan kelompok-kelompok Syiah di Irak.
Konflik politik Suriah di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad yang juga dari
kalangan Syiah telah menjadi ”suntikan gizi secara berlebih” bagi kelompok ini.
Apalagi konflik di Suriah kemudian diangkat sebagai konflik sektarian (Sunni
dan Syiah) yang memprovokasi kaum jihadis Sunni secara internasional untuk
datang ke Suriah dan berperang melawan rezim al-Assad.
Disebut ”suntikan gizi secara berlebih” karena kehadiran kaum
jihadis Sunni secara internasional kemudian membentuk NIIS yang jauh lebih
besar dan lebih sadis dibanding NII sebagai ”ibu kandungnya”. Saat ini NIIS
bahkan berpotensi lebih besar dibanding al-Qaeda.
Dalam konteks sentimen sektarian seperti ini di Timur Tengah,
keberhasilan kelompok Houthi menguasai Yaman mutakhir bisa semakin memperburuk
keadaan yang ada, khususnya hubungan antara kekuatan-kekuatan Sunni dan Syiah,
baik dalam bentuk negara (seperti antara Iran dan negara-negara Arab Teluk)
ataupun dalam bentuk milisi bersenjata (seperti antara Hizbullah yang berbasis
di Lebanon dan Ansharullah di Yaman sebagai milisi Syiah dengan NIIS atau
al-Qaeda sebagai militan Sunni). Terlebih lagi Yaman selama ini menjadi basis
bagi salah satu cabang terkuat al-Qaeda yaitu AQAP.
Mewaspadai
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia,
Indonesia harus secara sigap mewaspadai pelbagai macam konflik yang terjadi di
Timur Tengah, termasuk konflik sektarian antara Sunni dan Syiah. Kebalikan dari
pengalaman Timur Tengah, Indonesia memang hampir tidak mempunyai masalah serius
dengan konflik sektarian yang bersifat intra-agama (dibanding konflik
antaragama).
Mengingat yang kerap terjadi di republik ini justru konflik
antragama. Meski demikian, fenomena ”globalisasi jihadisme” yang marak
belakangan mengharuskan semua pihak mengantisipasi ihwal yang terjadi jauh di
luar sana. Apalagi sudah ada ratusan dari orang Indonesia yang dinyatakan
bergabung dengan NIIS. Seperti terlihat dalam video yang disebarkan oleh NIIS,
secara terus terang kelompok ini mengajak masyarakat luas untuk bergabung
sekaligus menantang aparat keamanan.
Tanpa antisipasi yang cukup dari semua pihak, bukan tidak mungkin
Indonesia justru lebih parah dari negara-negara di Timur Tengah. Di satu sisi,
negeri ini sudah kerap menderita penyakit konflik antaragama. Terlebih lagi
ditambah dengan konflik sektarian (seperti yang mulai terjadi di beberapa
daerah), di sisi yang lain. Bagi aparat keamanan dan pemerintah, antisipasi
bisa dilakukan dengan menyelesaikan konflik-konflik yang ada sekaligus memantau
mereka yang telah bergabung dengan NIIS atau kelompok radikal lain.
Sedangkan bagi masyarakat luas, antisipasi bisa dilakukan dengan
memperkuat visi kebangsaan sekaligus mengambil jarak dari segala konflik yang
terjadi di luar sana. Seberapa pun konflik tersebut mengatasnamakan sekte
ataupun agama tertentu. []
KORAN SINDO, 26 Februari 2015
Hasibullah Satrawi ; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar