Bukan
(Hukum) Thaghut
Oleh:
Hasibullah Satrawi
ENTAH
sampai kapan negeri ini akan terbebas dari kegaduhan hukum yang melibatkan para
ahli hukum dan eliteelite bangsa. Sangat miris. Apalagi di era keterbukaan
media seperti sekarang, kegaduhan hukum yang terjadi acap berlangsung secara
langsung (live) dan ditonton bebas oleh masyarakat luas.
Ibarat
dalam kehidupan keluarga, sejatinya para elite bangsa dan para penegak hukum
menjadi orangtua yang memberikan keteladanan bagi anak-anak terkait dengan
halhal baik yang harus dilakukan dan hal-hal buruk yang harus ditinggalkan.
Namun, `para orangtua bangsa' itu justru acap bertengkar dan saling serang
secara terbuka di hadapan anak-anak bangsa ini.Bahkan dalam kegaduhan hukum
mutakhir KPK versus Polri, tontonan buruk itu berlangsung selama kurang lebih
864 jam (dari 9 Januari-18 Februari).
Perilaku
thaghut
Hal yang
harus diingat para elite bangsa dan para ahli hukum ialah bahwa ada
kelompok-kelompok yang selama ini anti terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Alih-alih menerima, kelompok anti-NKRI justru kerap
berjuang untuk segera mengakhiri era NKRI untuk kemudian diganti dengan sistem
kenegaraan lain yang mereka imani.
Perjuangan
yang dilakukan kelompok-kelompok anti-NKRI beraneka ragam, sesuai dengan garis
perjuangan masing-masing. Mulai perjuangan-perjuangan keras bercorak
konfrontasi langsung seperti kerap dilakukan kelompok teroris (belakangan juga
ISIS) hingga perjuangan lembut tapi sangat mematikan seperti dilakukan gerakan
khilafah. Semua gerakan seperti itu bersifat anti terhadap NKRI, walaupun ada
perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain terkait dengan hal-hal yang
bersifat teknis dan strategis.
Salah
satu alasan utama kelompok-kelompok seperti itu dalam menolak NKRI ialah sistem
kenegaraan dan hukum yang digunakan tidak berasal dari Allah. Kelompok-kelompok
seperti itu kerap menyebut sistem kenegaraan dan hukum yang berlaku di
Indonesia dengan istilah hukum thaghut.
Thaghut
merupakan bahasa Arab yang di dalam Alquran kerap digunakan sebagai bahasa
simbol atas sebuah keburukan, baik keburukan yang berbentuk sistem (seperti
syaitan) ataupun keburukan yang bersifat personal (seperti Firaun di Mesir yang
dikenal lalim dan tiran).
Perlu
ditegaskan, yang menjadi ukuran dari keburukan bukan sumber ataupun asalnya,
Melainkan objek dari sebuah perbuatan. Apa pun bentuknya, keburukan ialah
keburukan, tak peduli siapa yang melakukan, dari mana sumbernya atau asalnya,
atau apa pun atas namanya.
Namun, di
kalangan kelompok anti-NKRI, yang menjadi perhatian utama justru sumber dan
asal, khususnya terkait dengan sistem kenegaraan. Dalam pola pikir seperti itu,
kelompok anti-NKRI menolak sistem yang ada karena dianggap tidak berasal dan
tidak bersumber dari Allah sebagai puncak dari segala sumber. Kelompok itu pun
menyebut sistem hukum dan kenegaraan yang berlaku di Indonesia dengan istilah
hukum thaghut.
Pandangan
seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana telah disampaikan, label
thaghut lebih terkait dengan perbuatan, bukan dengan sebuah peraturan, apalagi
asal muasal dari peraturan tersebut. Sadisme dan kekejaman seperti kerap
dilakukan ISIS dan kelompok teroris-anarkistis selama ini ialah perilaku
thaghut, walaupun kekejaman tersebut kerap dilakukan atas nama agama bahkan
Allah. Sangat ironis, sebagian elite dan penegak hukum di Republik ini
belakangan justru terjebak dalam perilaku thaghut. Bila kelompok teroris kerap
melakukan keburukan-keburukan thaghut atas nama agama, sebagian elite dan
penegak hukum kita justru melakukannya atas nama sistem hukum dan kenegaraan
yang berlaku di Indonesia dan selama ini kerap dilabeli thaghut oleh kelompok
antiNKRI.
Dalam
konteks seperti itu, kegaduhan politik dan hukum seperti terjadi belakangan ini
justru menguntungkan kelompok anti-NKRI. Di satu sisi mereka diuntungkan karena
NKRI yang sangat mereka benci perlahan terus bergoyang akibat ulah dari para
elitenya sendiri. Di sisi lain, pelbagai macam kegaduhan politik dan hukum yang
ada justru semakin membuat kelompok anti-NKRI bertambah mantap dan kuat atas
keyakinan yang mereka yakini selama ini, terkait dengan sistem hukum dan
kenegaraan sebagaimana telah disampaikan di atas.
Pembuktian
Oleh
karena itu, sejatinya para pejabat negara, para ahli hukum beserta penegak
hukum, dan segenap elite bangsa ini sejatinya menggunakan amanah yang ada untuk
membuktikan kebenaran dari sistem hukum dan kenegaraan yang ada. Bukan justru
terjebak dalam perilaku thaghut yang sewenang-wenang, otoriter, dan mengabaikan
kepentingan umum hanya demi kepentingan baik individu tertentu maupun kelompok.
Semua
pihak harus membuktikan bahwa walaupun tidak mengatasnamakan agama, sistem
hukum dan kenegaraan yang digunakan di Indonesia memperhatikan nilai-nilai
luhur agama dan bahwa sistem hukum dan kenegaraan yang ada menjunjung tinggi
keadilan, kebenaran, dan kesetaraan yang dijunjung tinggi oleh agama-agama.
Pembuktian
itu menjadi sangat penting untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa
yang menjadi citacita bersama dalam berbangsa dan bernegara. Masyarakat tidak
bisa selamanya hanya `dijanjikan' kesejahteraan dan kemajuan oleh rezim demi
rezim, sedangkan kenyataan hidup mereka selalu jauh dari kesejahteraan dan
kemajuan.
Di
samping itu, pembuktian ini juga dalam rangka menampakkan kebenaran ijtihad
politik yang telah ditetapkan para pendiri bangsa ini. Secara historis, pilihan
NKRI sebagai sistem berbangsa dan bernegara bukan tanpa risiko, terutama bagi
para tokoh agama dari banyak golongan.
Dikatakan
demikian karena di satu sisi, pada zaman prakemerdekaan semua sistem kenegaraan
mempunyai peluang kurang lebih sama untuk dipilih dan ditetapkan dan di sisi
lain karena kelompok-kelompok pejuang negara agama bahkan sudah ada pada zaman
kemerdekaan bangsa ini. Atas dasar kebangsaan yang melampaui sekat-sekat agama
dan suku, atas dasar nilai-nilai luhur agama yang melampaui ritus-ritusnya
sendiri, para tokoh agama bervisi kebangsaan memilih dan menetapkan NKRI
sebagai sistem negara bagi bangsa ini. Bahkan di kalangan ormas keagamaan
bervisi kebangsaan seperti NU, NKRI sudah final sejak dilahirkan, pada saat
dijalankan, dan akan tetap final pada masamasa yang akan datang.
Sejauh
ini, ijtihad politik dari para pendiri bangsa semakin terbukti kebenarannya.Di
saat bangsa-bangsa berpenduduk mayoritas muslim terlibat dalam perang saudara
berkepanjangan seperti di negara-negara Timur Tengah, Indonesia tampak semakin
kukuoh menaungi segenap anak bangsa dalam aneka ragam agama, aliran, pemahaman,
dan kebudayaan.
Oleh
karena itu, pelbagai macam kegaduhan politik dan hukum harus segera diakhiri
dan tidak diulang kembali. Kegaduhan seperti itu bisa disebut sebagai perilaku
thaghut, yakni sebuah perilaku atas nama hukum yang dilakukan secara
sewenang-wenang dan jauh dari rasa keadilan. Sangat ironis karena hal itu
justru dilakukan sebagian elite, penegak hukum, dan mungkin juga ahli hukum.
Bila
kegaduhan politik dan hukum terus dilakukan seperti sekarang, hal itu sama
dengan menggali kuburan sendiri bangsa ini. Sebaliknya kelompok anti-NKRI
senantiasa siap siaga untuk benar-benar mengubur bangsa ini. []
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2015
Hasibullah Satrawi ; Direktur
Aliansi Indonesia Damai (Aida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar