Kamis, 19 Maret 2015

Shambazy: Dari Tepi Jalan ke Pemakaman



Dari Tepi Jalan ke Pemakaman
Oleh: Budiarto Shambazy

Tiap kota di dunia, apalagi ibu kota, punya sejarah. Untuk memudahkan, ada empat era sejarah politik Ibu Kota kita: era kolonialisme sampai 1945, era kemerdekaan (1945-1967), era Bang Ali (1967-1977), dan era stagnasi (1977-2012).

Pada era kolonialisme, Batavia mungkin mengalami "zaman normal" yang stabil, damai, dan klasik. Perencanaan tata kota bagus, jumlah penduduk sedikit, dan nyaris tidak bergejolak.

Pada era kemerdekaan, Jakarta simbol terpenting saat bangsa sendiri mulai memimpin. Pembangunan Jakarta terasa pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah Bung Karno memilih membangun ketimbang berpolitik melulu.

Lewat Demokrasi Terpimpin yang bertangan besi itu Jakarta merekah. Hasilnya kota satelit Kebayoran Baru, Tugu Monas, Masjid Istiqlal, Jalan Sudirman, Kompleks Olahraga Bung Karno, dan lain-lain.

Beruntung gagasan-gagasan seorang Bung Karno, yang insinyur perkotaan itu, dipahami Ali Sadikin, yang militer Angkatan Laut. Bung Karno memilih Bang Ali semata-mata karena kepemimpinan dia, bukan keahlian dia.

Pada zaman Bang Ali, gubernur terbaik Jakarta, warga hidup dalam situasi yang relatif rukun damai. Lebih penting lagi, kita yang seumur-umur tinggal di Jakarta pasti sempat merasakan memiliki sense of belonging atas Ibu Kota kita ini.

"Bapak Ibu Kota" kita adalah MH Thamrin, anak Betawi dari kalangan berada, tak sungkan menyingsingkan lengan baju membantu warga. Dalam sebuah sidang Volksraad, ia bilang, "Hargailah kebiasaan dan kepentingan semua golongan masyarakat. Jangan sampai terjadi perlakuan tidak adil, jangan sampai timbul sakit hati masyarakat."

Tiga ikon Jakarta adalah Babe Thamrin, Bung Karno, dan Bang Ali. Dan, nama yang terakhir inilah yang kepemimpinannya sempat menyihir dan membuat kita kagum.

Sebenarnya apa yang dilakukan Bang Ali cuma satu, yakni bekerja. Bekerja bagi Bang Ali adalah turun ke bawah tanpa kenal lelah membangun komunikasi dengan warga, terutama dari kalangan bawah.

Ia tak sungkan menempeleng sopir bus atau truk yang ugal-ugalan. Saya waktu masih SD melihat Bang Ali masuk selokan mampat melipat celana mengangkat sampah dengan kedua tangannya.

Ia tak berhenti mengikuti updates Jakarta selama 24 jam/7 hari. Caranya antara lain membaca puluhan berita koran dan majalah yang sudah di-stabilo oleh staf, yang oleh Bang Ali ditargetkan habis dibaca dalam perjalanan naik mobil dari rumah ke kantor.

Dengan membangun komunikasi, Bang Ali berhasil membangun karisma. Berkat karisma dia, warga tergerak ikut peduli dengan lingkungan masing-masing.

Sense of belonging kita diikat oleh sebuah semangat yang kerap didengung-dengungkan Bang Ali bahwa Ibu Kota kita adalah sebuah "desa besar" (the big village). Desa besar itulah yang menjaga erat kerekatan antara suku, agama, ras, dan antargolongan.

Kita boleh modern, tetapi tetap bangga dengan kedesaan itu yang disimbolisasi oleh berbagai kebijakan pro rakyat miskin. Siapa yang tak kenal proyek perbaikan kampung MHT (MH Thamrin)?

Betul Bang Ali kalau bicara cenderung kasar. Ia juga dikritik karena mengizinkan perjudian dan kehidupan malam yang serba dekaden.

Tetapi, bukankah memimpin Jakarta kadang kala juga harus menggunakan cara-cara kasar? Dan, bukankah sebagian hasil dari perjudian dan kehidupan malam itu disalurkan untuk kesejahteraan warga?
Mungkin kepemimpinan Bang Ali diuntungkan oleh stabilitas politik Orde Baru. Tentu berbeda dengan apa yang dialami Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang memimpin pada era demokrasi liberal yang berisik ini.

Pada era sebelum duet Jokowi-Basuki, warga kurang lagi punya sense of belonging. Semua masa bodoh, semua hidup sendiri-sendiri. Jakarta tidak layak lagi dijuluki "desa besar", ia berubah menjadi metropolitan serba modern. Kita tidak akan punya "Bang Ali" lagi, tetapi ada Basuki.

Seperti Bang Ali, Basuki kurang pandai bicara. Seperti Bang Ali, kita percaya Basuki tidak korupsi. Seperti Bang Ali, Basuki juga didukung warga Jakarta. Oleh sebab itulah Bang Ali atau Basuki tak perlu takut kepada siapa pun.

Basuki telah berhasil menjalin komunikasi dengan warga. Kita yakin sebagian besar warga tergerak mendukung Basuki dalam menghadapi tekanan sejumlah partai yang tergabung di DPRD DKI.

Benar, Basuki adalah manusia biasa yang dominan dan mudah marah. Tetapi, sudah bukan saatnya lagi kita tersihir oleh budaya politik santun dengan topeng-topeng melapisi wajah.

Kita jangan lagi berkebiasaan "memungut pemimpin di tepi jalan dan mengantarkannya ke pemakaman". Seperti Bang Ali, Basuki juga peluang emas bagi kita untuk kembali menyelamatkan Jakarta! []

KOMPAS, 14 Maret 2015
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar