Senin, 02 Maret 2015

Azyumardi: Dua Pesantren, Dua Budaya (1)



Dua Pesantren, Dua Budaya (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Dua pesantren, dua budaya, dan dua realitas. Meski keduanya sama-sama pesantren, masing-masing mencerminkan sejarah panjang relatif  berbeda. Perjalanan masing-masing pesantren hari ini dan ke depan meski memiliki banyak kesamaan, tetapi tantangan yang dihadapi juga sangat berbeda.

Pesantren bisa dipastikan adalah salah satu warisan (legacy) Islam Indonesia yang sulit ditemukan tolok bandingnya di wilayah Dunia Muslim lain. Pesantren bukan hanya menjadi lembaga pendidikan tertua di Pulau Jawa khususnya, tetapi juga merupakan salah satu simbol eksistensial pendidikan Islam Indonesia.

Meski zaman berganti, penguasa juga datang dan pergi, pesantren tetap bertahan. Kenapa bisa? Tidak lain karena kemampuan adaptif pesantren yang sangat tinggi. Karenanya, zaman boleh berlanjut dan musim pun berganti; tetapi kebanyakan pesantren bukan surut, tapi menemukan momentum baru di tengah perubahan sangat cepat dan berdampak luas di lingkungan yang mengitarinya.

Tetapi kondisi masing-masing berbeda. Yang satunya berkembang pesat dengan fasilitas relatif amat lengkap, sedangkan yang satunya lagi menampilkan perkembangan tidak fenomenal.

Perbedaan kondisi, fasilitas dan kelengkapan yang berbeda banyak terkait dengan posisi masing-masing pesantren di lingkungannya. Watak, realitas dan kecenderungan sosial-budaya keagamaan dalam kaitan dengan lembaga pendidikan Islam semacam pesantren menjadi faktor pembeda sangat penting. Begitu juga perspektif pemahaman dan praksis keagamaan yang berlaku menjadi faktor penting dalam dinamika pesantren di ranah kaum Muslimin Indonesia yang berbeda.

Jadi, meski pengamatan langsung tentang perkembangan dan dinamika pesantren terbatas hanya pada dua pesantren, tetapi keduanya cukup representatif untuk relevan dengan konteks lebih luas di wilayah-wilayah lain. Keduanya dapat menjadi tipologi pesantren yang berbeda kondisinya karena pola hubungan dan posisi yang berbeda dalam lingkungan masyarakat dengan realitas sosial-budaya dan distingsinya masing-masing.

Dengan hujjah seperti itu, penulis Resonansi ini merasa beruntung belum lama ini dapat mengunjungi dua pesantren; melihat dan merasakan langsung denyut pesantren. Pengamatan itu memperkuat argumen yang selama ini dipegangi penulis terkait dinamika pesantren terkini secara keseluruhan.

Yang pertama terkunjungi adalah Pesantren an-Nuqayah, Guluk-guluk Sumenep, kabupaten paling timur pulau Madura, pada akhir Desember 2014 lalu. Sedangkan satunya lagi adalah ‘Pesantren’ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung, di pinggiran timur Kota Bukittinggi, Sumatera Barat menjelang akhir Februari 2015. Dengan lokasi ini, Pesantren an-Nuqayah merupakan pesantren tipikal di perdesaan (rural pesantren), sementara Pesantren MTI sudah berada di wilayah perkotaan dan, karena itu, dapat disebut sebagai ‘pesantren urban’.

Meski usia masing-masing berjarak hampir setengah abad, keduanya termasuk pesantren tua. Pesantren an-Nuqayah didirikan pada 1887 oleh KH Muhammad Syarqawi, ulama yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah.

Masa perempatan terakhir abad 19 ini penting dicatat, seperti pernah dikemukakan sejarawan terkemuka Indonesia, Sartono Kartodirdjo dalam satu bab bukunya The Peasant’s Revolt of Banten 1888 (1966) adalah periode ‘religious revival in Java’. Kebangkitan agama—dalam hal ini Islam—ditandai terus meningkatnya jumlah pesantren yang didirikan kiyai-kiyai dan/atau haji yang baru kembali dari Tanah Suci Haramayn.

Sedangkan ‘pesantren’ MTI Candung didirikan pada Mei 1928 oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang belakangan juga dikenal sebagai ‘Inyiak Canduang’. Periode ini dikenal sebagai masa kebangkitan nasional yang antara lain ditandai dengan Sumpah Pemuda. Masa ini juga dikenal sebagai periode gejolak dan kontestasi sosial, budaya dan agama di antara ‘Kaum Muda’ pada satu pihak berhadapan dengan ‘Kaum Tua’ di pihak lain. Ar-Rasuli umumnya dipandang sebagai salah satu representasi Kaum Tua.

MTI adalah contoh tipikal tepatnya transformasi surau, lembaga pendidikan Islam tradisional khas Minangkabau. Semula berasal dari pengajian kitab turats (warisan atau kitab kuning) sejak 1908 di Surau Baru Pakankamis, Candung, ar-Rasuli berada dalam posisi defensif ketika Kaum Muda memperkenalkan tidak hanya gagasan modernisme Islam, tetapi lembaga pendidikan moderen baik dengan model persekolahan Belanda maupun lembaga pendidikan Islam modernis dalam bentuk madrasah klasikal semacam Adabiyah (1909) di Padang atau Sumatera Thawalib (1918) atau Diniyah Putri (1923) di Padangpanjang.
Ekspansi sekolah dan madrasah modernis, sebagian besar dimungkinkan melalui transformasi surau. Inilah gelombang transformasi kedua surau setelah pertama kali terjadi Pasca-Perang Padri (1821-37). Berhadapan dengan tantangan tersebut, Sulaiman ar-Rasuli tidak melihat alternatif lain kecuali mengubah suraunya menjadi madrasah klasikal dengan mempertahankan tradisionalismenya.

Pada pihak lain, an-Nuqayah seperti pesantren umumnya di Madura dan tempat-tempat lain di pulau Jawa muncul tidak sebagai hasil transformasi dari lembaga pendidikan sebelumnya. Pesantren tidak tergoyahkan modernisme Islam yang belakangan sampai ke pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara. []

REPUBLIKA.CO.ID, 26 Februari 2015
Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar