Jumat, 04 Agustus 2017

Nusron Wahid: HTI, Perppu, dan Pancasila



HTI, Perppu, dan Pancasila
Oleh: Nusron Wahid

Hizbut Tahrir Indonesia menjadi ormas Islam pertama yang terkena sanksi berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Ormas ini mendapat sanksi administratif berupa pencabutan badan hukum akibat ideologi politiknya yang menentang Pancasila. Dengan demikian, HTI dibubarkan dan segala aktivitasnya terlarang.

 Ketegasan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) ini menjadi solusi terhadap menguatnya radikalisme agama yang menyeruak setelah reformasi 1998. Banyak pihak menyebutnya sebagai kebangkitan Islam politik yang sejak Orde Lama dan Orde Baru berusaha diberangus. Setelah reformasi, Islam politik ini bangkit menikmati kebebasan atas nama hak sipil (civil rights) yang dijamin UU.

Ini menjadi anomali tersendiri. Sebab, di satu sisi, kaum radikal berseru menolak demokrasi sebagai sistem kafir yang dianggap bertentangan dengan Islam. Namun, pada saat bersamaan, mereka berlindung di bawah hak sipil yang merupakan hak-hak demokratis sebagaimana penolakan terhadap Perppu No 2/2017 tentang Perubahan UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Mereka tidak peduli dengan batasan kebebasan sipil yang dibatasi beberapa hal.

Pertama, kebebasan seseorang dibatasi kebebasan orang lain. Ini berarti, kebebasan tidak boleh melanggar kebebasan pihak lain. Kebebasan yang disertai ujaran kebencian (hate speech), misalnya, adalah kebebasan yang melanggar hak asasi orang lain karena menimbulkan kebencian.

Kedua, kebebasan tidak boleh melanggar norma sosial masyarakat. Dalam konteks bangsa, norma itu adalah Pancasila, UUD 1945, dan kebinekaan. Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kaum radikal jelas-jelas melanggar norma bangsa karena mereka ingin mengubah norma-norma itu dengan norma ideologis yang tertutup.

 Ketiga, dan ini yang paling mendasar, yakni sifat kebebasan demokratis kita yang harus dikembangkan demi penguatan ikatan kebangsaan. Ini yang menjadi tolok ukur demokrasi di Indonesia. Sebab, berdasarkan nilai-nilai Pancasila, sila demokrasi berada di bawah naungan sila persatuan bangsa. Praktik demokrasi kita tidak bisa berjalan tanpa kesadaran perawatan bangsa.

Dengan demikian, alih-alih menolak Perppu No 2/2017 dengan alasan perppu ini merupakan praktik diktator negara, kita seharusnya mendukungnya demi terjaganya keharmonisan, keamanan, dan kelangsungan kehidupan berbangsa. Meski terdapat hal yang tetap perlu dikritisi, misalnya terdapat pasal penodaan agama yang sering menjadi pasal karet, Perppu Ormas ini ”lebih sakti” dibandingkan dengan UU No 17/2013 tentang Ormas. Di dalam UU ini, setiap ormas hanya diwajibkan berasas Pancasila, selain asas spesifik organisasi. Ia tidak mengatur sanksi atas asas yang anti-Pancasila.

Menghindari kudeta

Bekerjanya Perppu Ormas terhadap HTI merupakan langkah berani pemerintah Jokowi karena organisasi ini bukan hanya organisasi dakwah, melainkan juga gerakan politik.

Di sejumlah negara Timur Tengah, Hizbut Tahrir telah dilarang, misalnya di Jordania pada 1953, Irak (1972), dan Mesir (1974). Alasannya bermacam-macam, mulai dari paham ideologinya yang bertentangan dengan ideologi negara hingga percobaan kudeta melalui kekuatan militer.

Percobaan kudeta yang pernah dilakukan ini tidak mengejutkan karena gerakan HT/HTI mencakup tiga strategi. Pertama, marhalah tasqif, tahapan pembudayaan. Ini merupakan tahapan awal yang telah dilakulan di negeri ini sejak kedatangan penyemai HT, aktivis HT Australia, Abdurrahman al-Baghdadi, pada 1982. Tahap ini dilakukan melalui pembudayaan pemikiran pendiri HT, Qadli Taqiyudin al-Nabhani, kepada kalangan mahasiswa di Bogor, tanpa memberi tahu bahwa pemikiran tersebut merupakan visi HT. Setelah pembudayaan ini mulai menguat, baru pada 1987 identitas gerakan HT dikabarkan.

Tahapan pembudayaan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, baik lewat aktivitas lingkaran kajian di serambi masjid maupun melalui jaringan lembaga dakwah kampus (LDK). Inilah sumsum gerakan HTI awal hingga kini. Represivitas Orde Baru atas ekstrem kanan membuat mereka bergerak di bawah tanah dan hanya bisa mengembangkan tahapan tasqif.

Ketika keran kebebasan terbuka karena reformasi politik 1998, aktivis HT mulai mengembangkan tahap kedua, yakni sosialisasi (tafa’ul ma’al ummah). HTI sebagai organisasi resmi dideklarasikan pada 2000. Mereka pun mengadakan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta. Dalam konferensi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta mendirikan khilafah melalui surat terbuka.

Sampai menjelang dibubarkan, HTI masih berjalan di tahap ini dengan perluasan program dan penciptaan sayap-sayap lembaga di semua lini. Mereka memiliki Halaqah Islam dan Peradaban (HIP), Bina Syakhsiyah Islam (BSI), Forum Muslimah untuk Peradaban (Formuda) oleh Muslimah HTI, Konferensi Tokoh Umat, tablig akbar untuk masyarakat umum, Dialog Intelektual Aktivis Kampus (Dialektika), serta pelatihan remaja Islami.

Sementara tahapan ketiga adalah penegakan hukum (istilam al-hukm). Yang dimaksud hukum ialah syariah Islam dan penegakannya tentu melalui pendirian Khilafah Islamiyah secara global. Demi khilafah global ini, setiap bangsa Muslim harus dikhilafahkan terlebih dahulu melalui cabang-cabang HT di semua negara. Percobaan kudeta di Jordania, Irak, dan Mesir adalah upaya HT mewujudkan istilam al-hukm sebagai puncak gerakan mereka.

Penistaan Pancasila

Pembubaran HTI juga tak perlu diragukan lagi karena mereka menolak bahkan mengafirkan Pancasila. Dalam propaganda ideologisnya, HTI selalu menekankan ketidakabsahan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dinilai bukan bangunan kenegaraan Islami.

Sejak 1990-an, HTI mengafirkan Pancasila karena tidak sesuai dengan Islam (al-Banshasila falsafah kufr la tattafiq ma’a al-Islam). Alasan mereka, Pancasila menganut pluralisme agama dan mewadahi ideologi non-Islamis (nasionalisme, sosialisme, demokrasi, dan humanisme).

Pengafiran ini menggambarkan ketidakpahaman atas Pancasila. Sebab, Pancasila tidak menganut pluralisme agama karena ia hanya menyediakan payung konstitusional bagi perlindungan atas hak beragama dan pelayanan terhadap praktik ibadahnya.

Sebagai dasar negara modern, Pancasila dan konstitusi kita tidak menempatkan diri sebagai pengesah agama, tetapi pelindung dan pelayan praktik agama yang sejak awal majemuk. Pada saat bersamaan, Pancasila memang mewadahi ideologi-ideologi dunia. Persoalannya, apakah Islam bertentangan dengan ideologi-ideologi tersebut? Kecuali atas komunisme, Islam tidak bertentangan, baik dengan nasionalisme maupun demokrasi.

Dengan demikian, sudah jelas HTI menistakan Pancasila dan memiliki agenda politik yang bertentangan dengan NKRI. Persoalannya, kecerdasan negara pun diperlukan dalam merumuskan payung hukum bagi pembubarannya.

Selama ini pemerintah tidak bisa bertindak tegas karena ormas bisa dibubarkan hanya ketika ia bertindak kriminal dan menimbulkan kerusuhan sosial. Sementara ketika masih pada taraf pemikiran dan gerakan sosial, pisau hukum kita menjadi tumpul, apalagi di hadapan hak sipil  yang merupakan prinsip utama hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Persoalannya, bukankah segenap UU dan bahkan UUD 1945 berada di bawah Pancasila sebagai dasar negara? Hal ini menegaskan posisi Pancasila sebagai kaidah fundamental negara (Staatfundamentalnorms) yang menjadi dasar perumusan UU. Jika HTI telah menolak Pancasila, bukankah ia menolak dasar konstitusional dari semua produk UU? Artinya, ia tidak berhak dibela oleh UU HAM karena telah mengingkari dasar hukum dari berbagai UU di negeri ini. Oleh karena itu, sudah tepat jika pemerintah mengambil langkah hukum untuk membubarkan organisasi ini melalui Perppu Ormas, Perppu No 2/2017. []

KOMPAS, 3 Agustus 2017
Nusron Wahid | Mantan Ketua Umum GP Ansor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar