Selasa, 01 Agustus 2017

Bagaimana NU Membiayai Muktamar di Zaman Kolonial?



Bagaimana NU Membiayai Muktamar di Zaman Kolonial?

Banyuwangi memiliki peranan penting dalam proses perintisan Nahdlatul Ulama. Tercatat, semenjak pertama kali NU didirikan, Banyuwangi telah ikut serta. Melalui KH. Saleh Lateng, Banyuwangi ikut serta menghadirkan perwakilannya dalam rapat pembentukan Komite Hijaz sekaligus awal berdirinya NU di Bubutan, Surabaya, tahun 1926.

Kontribusi lain yang cukup penting dari Banyuwangi bagi NU adalah dengan menjadi tuan rumah Muktamar ke-9 NU pada 1934. Muktamar tersebut, menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, merupakan Muktamar yang menjadi penanda NU dari fase pertumbuhan menuju fase perkembangan.

Dalam surat kabar Indische Courant tertanggal 24 April 1934, melaporkan bahwa pembukaan yang digelar di halaman Madrasah Al-Chairiyah yang tak jauh dari Masjid Agung Baiturrahman tersebut, dihadiri oleh ribuan orang. Kursi undangan penuh dan ribuan orang lainnya berdesakan di halaman yang luas itu. Bahkan, hingga meluber di jalan-jalan.

Dalam konteks saat ini, mungkin tak terlalu sulit untuk bisa menyelenggarakan acara besar berskala nasional. Seperti halnya Muktamar ke-33 NU di Jombang pada tiga tahun silam. Untuk menggelar acara tersebut, PBNU mendapat bantuan Rp 10 M dari APBD Provinsi Jawa Timur dan Rp 1 M dari APBD Kabupaten Jombang. Tapi, untuk konteks tahun 1934 tentu mustahil mengharap bantuan dari pemerintah. Karena, sebagaimana kita ketahui, saat itu, Indonesia masih dalam kungkungan penjajah.

Jangankan meminta bantuan pada pemerintahan kolonial Hindia Belanda kala itu, meski diberinya secara cuma-cuma pun, NU tidak bakal menerimanya. Haram hukumnya menerima bantuan penjajah!

Lantas, yang menjadi pertanyaannya: dari manakah biaya penyelenggaraan muktamar saat itu?

Menarik kiranya kita memeriksa laporan keuangan panitia Muktamar yang salah satu keputusan pentingnya mendirikan Anshoru Nahdlatul Ulama (Sekarang: GP Ansor) tersebut. Dalam Origineel 17 October 1934 Verantwording Congers Nahdlatoel Oelama jang ke-9 di Kotta Banjoewangi dilaporkan bahwa biaya penyelenggaraan mengumupulkan dana sebesar f. 1882,98 (f  adalah simbol rupiah di masa Hindia Belanda).

Dalam laporan yang ditandatangani oleh Machmoed (President), R. Tedjosoekarto (Secretaris), dan R.H. Hamdjah (Kassier) tersebut, tertulis lima jenis sumber pendanaannya. Pertama, berasal dari Oewang borg Tjabang Nahdlatoel Oelama Banjoewangi sebesar f. 222.50. Dana ini merupakan pemasukan dari kas PCNU Banyuwangi kala itu.

Kas tersebut dikumpulkan dari iuran lied (anggota) NU Banyuwangi. Dulu, untuk bisa menjadi anggota NU, seseorang harus membayar sebesar 10 sen. Kemudian, ada juga iuran bulanan yang besarannya separuh dari uang pendafataran. Sebagaimana diatur dalam Kitab Oemoem Atoeran Roemah Tangga Bagian Oemoem dan Bagian Harta Hobfstur Nahdlatoel Oelama 1926.

Namun, di NU Banyuwangi sebagaimana dilaporkan pada Muktamar ke-XI di Banjarmasin. Dalam laporan tersebut, setiap anggota NU ditarik kontribusi tidak 10 Sen sebagaimana aturan yang ditetapkan dari pusat. Tapi ditarik secara keseluruhan untuk seumur hidup sebesar f. 1- f. 1,5. Dari hasil iuran tersebut, tidak semuanya dipergunakan untuk operasional organisasi. Akan tetapi, sebagian dipergunakan untuk membeli kebun kelapa. Dari langkah ini, hasil iuran lied tersebut, dapat berkembang.

Pemasukan kedua, berasal Oewang derma lisjt dari Tjabang-Tjabang Nahdlatoel Oelama yang sebesar f. 883,12 (1/2). Memang, setiap penyelenggaraan Muktamar, Cabang-Cabang NU dari berbagai daerah dikenakan iuran. Dari pengamatan penulis, tidak ada ketentuan khusus harus membayar berapa. Karena dari laporan-laporan keuangan Muktamar, pembayaran dari masing-masing Cabang memiliki besaran yang berbeda-beda. Seperti pada saat Muktamar ke-VIII di Jakarta, NU Cabang Banyuwangi membayarkan derma sebesar f. 25 yang kala itu, dibawa oleh KH. Syamsuri Singonegaran.

Uang iuran Cabang-Cabang tersebut, bisa dari kas organisasi sebagaimana NU Banyuwangi, bisa pula dari iuran anggotanya. Kiai Muchit Muzadi dalam biografinya, Berjuang Sampai Akhir: Kisah Seorang Mbah Muchit mengenang setiap menjelang pelaksanaan Muktamar, para anggota NU dikenakan iuran wajib sebesar 20 Sen, termasuk dirinya. Dalam buku tersebut, Mbah Muchit juga mengenang kisah Kiai Mu'thi yang berasal dari Ngawi. Untuk menuju ke Muktamar di Banyuwangi, guna menghemat biaya, ia rela naik sepeda gayung dari Ngawi hingga ke Banyuwangi. Kurang lebih sejauh 467 KM. Luar biasa!

Sumber pendanaan ketiga berasal Oewang derma lisjt Tjabang Nahdlatoel Oelama Banjoewangi. Dari derma ini, terkumpul dana sebesar f.  16,45. Tak ada catatan tentang bagaimana bentuk pengumpulan dana dari sumber ini. Besar kemungkinan, ini berupa pembagian serkiler untuk diisi derma seikhlasnya. Atau bisa juga berupa list pembacaan doa untuk arwah sanak famili dengan menggantinya dengan sedekah sekian per namanya.

Yang keempat, dalam laporan keuangan tersebut, pemasukan berupa Derma makanan dari pendoedoekan Banjoewangi Matjem. Pihak panitia mengkalkulasi jumlah bahan makanan yang masuk, sebesar f. 55, 65 (1/2). Tak heran, jika sumbangan berupa makanan dari penduduk Banyuwangi memiliki sumbangsih cukup besar. Banyuwangi merupakan lumbung pangan ditengah anugerah alam yang amat subur.

Dalam penelitian penulis, Cabang Banyuwangi terkadang harus menyewa satu gerbong khusus untuk mengirim bahan makanan guna mendukung penyelenggaraan Muktamar. Seperti halnya Muktamar di Jakarta setelah perang kemerdekaan, NU Banyuwangi mengirim 100 kwintal beras untuk konsumsi Muktamar. Jumlahnya jauh jika dibandingkan dengan sumbangan dari Cabang-Cabang lainnya.

Sumber terakhir yang tercatat dalam laporan keuangan Muktamar ke-IX adalah Djoewal barang-barang jang telah dipake. Hasil penjualan dari barang bekas ini, hanya f. 5,25. Tak ada catatan, barang apa yang dijual. Mungkin, ini semacam lelang.

Dari fakta diatas, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Terutama bagi warga NU Banyuwangi. Dapat dikatakan, NU telah mampu mandiri dengan membiayai semua kebutuhan operasionalnya sendiri dengan cara dipikul bersama. Tanpa mengharap belas kasih pihak lain. Ini tentu tidak sekedar menumbuhkan kemandirian organisasi, tapi juga memunculkan kesolidan dan solidaritas yang kukuh disetiap anggota NU.

Di tengah keterbatasan zaman penjajahan, NU mampu berdikari. Para anggotanya dengan sukarela menyumbangkan sebagian rizki, bahkan bisa jadi bagian terbesar dari hartanya, untuk keberlangsungan NU. Ini merupakan tauladan penting. Jika para pendahulu itu dengan segala kesulitannya bisa melakukan, maka kita dengan segala kemudahan masa kini tentu lebih bisa melakukannya. Bukan begitu?

Salam Mandiri. Salam Sukses Koin Bakti NU! []

Ayung Notonegoro, pemerhati sejarah NU Banyuwangi; dapat ditemui di akun facebooknya, “Ayunk Notonegoro”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar