Jumat, 04 Agustus 2017

Azyumardi: Khilafah (2)



Khilafah (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Istilah ‘khilafah’ bisa dipastikan sejak akhir abad 19 sampai sekarang lebih terkait dengan entitas atau lembaga dan sistem politik dan kekuasaan. Istilah itu tidak terlalu terkait dengan agama seperti diungkapkan dalam dua ayat Alquran (al-Baqarah 2;30, dan al-Shad 38;26). Ayat pertama berbicara tentang penciptaan manusia sebagai ‘khalifah’ dan dalam ayat kedua tentang Daud sebagai sebagai ‘khalifatullah’ yang berkewajiban memerintah dengan adil—tidak mengikuti hawa nafsu.

Kedua ayat ini menekankan pengertian manusia sebagai ‘khalifah Allah’—wakil Allah di muka bumi yang bertugas memakmurkan alam semesta dengan mandat yang dia miliki. Tetapi, sejak masa Abu Bakar Shiddiq menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Muslim, istilah ‘khalifah’ mendapatkan konotasi dengan kekuasaan politik. Khalifah Abu Bakar menyebut diri sebagai ‘khalifah Rasulillah’, pengganti Rasulullah dalam kepemimpinan entitas politik Islam yang kemudian disebut sebagai khilafah.

Gagasan khilafah menyerukan pembentukan satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi ini tanpa mengenal batas wilayah, dan tradisi sosial-budaya. Inilah gagasan yang dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Kesatuan semacam itu tidak pernah terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Hanya pada masa Abu Bakar (632-634M/11-13H) dan Umar bin Khattab (634-644M/13-23H).

Tetapi sejak masa khalifah ketiga Utsman bin Affan (644-655M/23-35H), terjadi pertikaian dengan ‘Ali bin Abi Thalib—kemudian menjadi khalifah keempat (655-660M/35-40H). Sejak itulah persatuan umat Islam di bawah satu kekuasaan politik tunggal lebih merupakan imajinasi yang jauh daripada bisa diwujudkan dalam realitas. Di masa kedua khalifah ini muncul konflik sektarian antara Khawarij yang disusul dengan konsolidasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Syi’ah. Semua kelompok dan aliran sektarian  ini bukan tidak sering terlibat kontestasi keagamaan dan politik sejak masa Khalifah Usman bin Affan sampai sekarang.

Oleh karena itu, bisa dipahami kenapa sejarawan Ibn Khaldun berkesimpulan, institusi politik khilafah telah berakhir dengan selesainya masa kekuasaan keempat sahabat utama Nabi Muhammad. Institusi dan entitas politik pasca-Khulafaur-Rasyidun bukan khilafah, tetapi mamlakah, kerajaan atau dinasti sejak dari Dinasti Umaiyah dan Dinasti Abbasiyah.

Dinasti Usmani Turki juga mamlakah yang di masa akhirnya yang terus terdesak menghadapi kekuatan Eropa dan epigonnya golongan Turki Muda juga menyebut diri atau diklaim kalangan umat Islam lain sebagai khilafah Usmaniyah. Dinasti Usmani yang di masa puncak kejayaan menjadi kuasa adijaya di kawasan Arabia, Laut Tengah, Afrika dan Lautan Hindia menjadi subyek idealisasi dan romantisasi pendukung gagasan khilafah semacam HTI dan penghapusannya oleh Turki Muda pada 1924 terus diratapi.

Meski lebih merupakan mamlakah, para penguasa Dinasti Umaiyah dan Abbasiyah mengklaim diri sebagai ‘khalifatullah fil ardhi’ atau bahkan juga sebagai zillullah fil ardhi—‘bayang-bayang Allah di muka bumi’. Dengan cara begitu, para penguasa yang menyebut diri khalifah membangun aura keilahian dan absolutisme kekuasaan atas nama Allah.

Dalam perjalanan sejarah, konsep khilafah merupakan kontra-wacana terhadap gagasan dan praksis Eropa tentang bangsa (nation), nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state). Konsep dan praksis Eropa ini dipandang sementara pemikir dan aktivis politik Muslim sebagai memecahbelah umat Muslim sehingga selanjutnya kian mudah dikuasai kolonialisme Eropa.

Dalam konteks itu, pembangkitan kembali gagasan khilafah merupakan upaya mengaktualisasikan semangat pan-Islamisme dalam menghadapi kekuatan kolonialisme Eropa. Pan-Islamisme adalah gagasan religio-politik tentang kesatuan umat Islam di berbagai penjuru dunia—sekali lagi, tanpa mengenal wilayah, perbedaan etnis dan suku bangsa, budaya dan tradisi lokal—di bawah lembaga dan entitas politik khilafah.

Meski demikian, gagasan khilafah tidak seragam. Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) yang dikenal sebagai tokoh pertama pan-Islamisme mengusulkan pembentukan ‘khilafah politik’ yang berpusat di Istanbul dan ‘khilafah agama’ yang berpusat di Makkah. Gagasan dan konsep tentang adanya dua khilafah itu juga dikemukakan lebih komprehensif oleh Abdul Rahman al-Kawakibi (1855-1902) pemikir asal Syria.

Adanya konsep dan praksis khilafah politik dan khilafah keagamaan bertahan sampai masa kontemporer. Ikhwanul Muslimin dengan berbagai pecahannya mendukung konsep khilafah politik; setali tiga uang dengan HTI. Sementara Ahmadiyah misalnya menegakkan institusi khilafah keagamaan yang berpusat di London, Inggris. []

REPUBLIKA, 03 August 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar