Selasa, 01 Agustus 2017

Azyumardi: Khilafah (1)



Khilafah (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Akhirnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Banyak kontroversi tentang Perppu itu; HTI menjadi ‘korban’ pertama, terutama karena gagasan, konsep, tujuan dan gerakannya untuk mendirikan ‘khilafah’ dan menegakkan ‘syari’ah’.

Bagi HTI ‘khilafah’ adalah satu-satunya entitas, lembaga dan sistem politik yang dapat mengatasi kenestapaan dan masalah yang dihadapi Islam dan umat Muslim. Hanya dengam ‘syari’ah’ keteraturan dan ketertiban dapat diwujudkan.

Aktivisme HTI untuk mewujudkan cita-citanya terlihat menonjol sejak masa pasca-Orde Baru; yaitu masa kebebasan, liberalisasi politik dan demokratisasi. Meski HTI menolak demokrasi, dalam kenyataannya HTI memanfaatkannya untuk sosialisasi dan kampanye khilafah dan syari’ah yang tidak sesuai dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Kenyataan ini membuat HTI dalam masa Orde Baru tidak secara terbuka menampilkan dirinya karena—mudah dipahami—Presiden Soeharto sangat keras terhadap mereka yang tidak sesesuai dengan keempat prinsip (‘pilar) dasar tersebur.

Sebaliknya, pemerintah RI pasca-Soeharto—sejak dari Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono—pada prakteknya tidak menganggap HTI sebagai ancaman serius terhadap NKRI dan Pancasila. Mereka membiarkan HTI bergerak bebas. Barulah Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2017 yang berujung pada pembubaran HTI.

Aktivisme HTI mengampanyekan khilafah secara terbuka terlihat pada Konperensi Khilafah Internasional yang mulai diselenggarakan HTI pada 12 Agustus 2007 dan tahun-tahun sesudah itu. Tak banyak reaksi kaum arus utama (mainstream) terhadap konperensi khilafah yang berkelanjutan;  sampai dua tahun terakhir ini ketika Banser Ansur mulai mengkonter HTI.

Sementara itu, konperensi khilafah HTI selalu menarik perhatian media internasional khususnya. Beberapa hari sebelum dan pada ‘Hari H’ Konperensi Khilafah pertama penulis Resonansi ini diwawancarai beberapa media internasional, termasuk al-Jazeera English live dari Jakarta. Bagi kalangan media internasional yang memiliki persepsi atau bias terhadap Hizbut Tahrir (HT), Konperensi itu memiliki signifikansi sendiri. Dari pertanyaan yang mereka ajukan, tergambar seakan-akan dengan Konperensi itu Islam Indonesia telah berubah drastis; kesan mereka,  ‘khilafah’ segera berdiri (entah di mana); dan syari’ah Islam seolah-olah segera berlaku di seluruh Indonesia.

Konperensi itu diselenggarakan bertepatan dengan 28 Rajab (1428 H). Konon di tanggal yang sama dengan apa yang disebut HTI sebagai ‘Khilafah Utsmaniyyah’ di Turki dihapuskan penguasa sekuler Turki, Kemal Ataturk pada 1924. Jika orang Turki saja tidak pernah menangisi tamatnya riwayat ‘khilafah’, sebaliknya HT umumnya di berbagai penjuru dunia meratapi berakhirnya kekuasaan Turki Utsmani itu sebagai tamatnya persatuan Islam.

Apakah sebenarnya ‘khilafah’ tersebut? Masih relevan atau viable kah pembentukan ‘khilafah’ di tengah realitas dunia Muslim dan internasional yang tidak kompatibel?

Penulis Resonansi ini dalam wawancara khusus tentang ‘khilafah’ dengan majalah al-Wa’ie, media resmi HTI, pernah menyatakan, gagasan tentang ‘khilafah’ yang mereka usung merupakan romantisme dan idealisasi sejarah. Karena, kalau rujukan gagasan ‘khilafah’ adalah kekuasaan Turki Utsmani, sejak awal pembentukannya di masa Sulaiman al-Qanuni, para penguasanya hampir tidak pernah menyebut diri mereka sebagai ‘khalifah’, sebaliknya menyebut diri sebagai ‘sultan’.

Meski berhasil menjadi ‘adi kuasa’ di wilayah Timur Tengah dan Laut Mediteranian, para penguasa Usman nampaknya menyadari, institusi khilafah dan jabatan khalifah dan bukan sembarangan. Penguasa Turki Usmani sadar mereka pada dasarnya adalah ghazi, perwira atau pejuang, yang karena perjalanan sejarah menjadi para penguasa. Karena itu kekuasaan yang mereka bangun dalam ilmu politik moderen bisa disebut sebagai ‘oligarki militer’ yang mengalami transformasi menjadi kesultanan.

Sampai masa Tanzimat (reformasi) sejak paroan kedua abad 19, banyak sultan Turki Utsmani lebih dikenal sebagai penguasa despotik, yang lebih asyik dengan diri mereka sendiri daripada mempedulikan rakyat. Akibatnya, Dinasti Usmani mengalami peragian dan pembusukan (decay), sehingga akhirnya tidak mampu menghadapi kekuatan Eropa yang terus ekspansif.

Tetapi untuk menciptakan citra kesalehan diri, penguasa Usmani mendirikan banyak madrasah dan masjid megah di berbagai tempat di Timur Tengah. Selain itu mereka juga memberikan beasiswa bagi para penuntut ilmu, khususnya yang berada di Haramayn (Makkah dan Madinah). []

REPUBLIKA, 27 July 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar