Tafsir mimpi termasuk disiplin pengetahuan yang paling sulit dipelajari jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Sebab mimpi merupakan salah satu bagian dari wahyu kenabian, sehingga tidak semua mimpi bisa ditafsirkan dan tidak semua orang bisa secara sembarangan menafsirkan arti dari sebuah mimpi.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelompokkan jenis mimpi menjadi tiga bagian. Dalam salah satu haditsnya, beliau bersabda:
وَالرُّؤْيَا ثَلَاثٌ، الحَسَنَةُ بُشْرَى مِنَ اللَّهِ، وَالرُّؤْيَا يُحَدِّثُ الرَّجُلُ بِهَا نَفْسَهُ، وَالرُّؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلَا يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
“Mimpi itu ada tiga. Mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah, mimpi karena bawaan pikiran seseorang (ketika terjaga), dan mimpi menyedihkan yang datang dari setan. Jika kalian mimpi sesuatu yang tak kalian senangi, maka jangan kalian ceritakan pada siapa pun, berdirilah dan shalatlah!” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa tidak semua mimpi yang dialami oleh seseorang dapat dijadikan sebagai petunjuk, sebab ada kemungkinan mimpi yang dialami bukan berasal dari petunjuk Allah, tapi karena bisikan setan atau tersibukkannya seseorang dalam memikirkan suatu objek tertentu hingga objek itu terbawa dalam mimpinya.
Mimpi yang dapat dijadikan pijakan adalah mimpi yang betul-betul berasal dari petunjuk Allah subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat” (QS Yunus: 64).
Makna “berita gembira” dalam ayat tersebut adalah mimpi baik yang dialami oleh seorang Muslim. Dalam salah satu Hadits, makna ayat di atas dijelaskan:
هِيَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ، يَرَاهَا الْمُسْلِمُ، أَوْ تُرَى لَهُ
“Yang dimaksud kegembiraan dalam ayat di atas adalah mimpi yang baik yang terlihat oleh orang Muslim atau yang diperlihatkan padanya” (HR Ibnu Majah).
Maka tidak heran jika dalam menentukan sebagian dari hukum syariat (Hukum Wadl’i), Nabi Muhammad menjadikan dasar penetapannya pada sebuah mimpi yang dialami oleh para sahabat. Misalnya dalam menentukan pensyari’atan adzan yang berdasarkan mimpi Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab. Hal ini merupakan salah satu contoh dari mimpi yang merupakan petunjuk dari Allah.
Untuk membedakan antara mimpi yang benar-benar petunjuk dari Allah dengan mimpi yang berasal dari bisikan setan salah satunya dengan menandai waktu terjadinya mimpi tersebut. Jika mimpi terjadi pada dini hari atau saat waktu sahur maka kemungkinan besar mimpi itu adalah mimpi yang benar dan dapat ditafsirkan. Sedangkan mimpi yang dipandang merupakan bisikan dari setan adalah mimpi yang terjadi pada awal-awal malam atau saat petang. Ketentuan ini seperti yang dijelaskan oleh Ibnu al-Jauzi:
وَأَصْدَقُ الرُّؤْيَا: رُؤْيَا الْأَسْحَارِ، فَإِنَّهُ وَقْتُ النُّزُولِ الْإِلَهِيِّ، وَاقْتِرَابِ الرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ، وَسُكُونِ الشَّيَاطِينِ، وَعَكْسُهُ رُؤْيَا الْعَتْمَةِ، عِنْدَ انْتِشَارِ الشَّيَاطِينِ وَالْأَرْوَاحِ الشَّيْطَانِيَّةِ
“Mimpi yang paling benar adalah di waktu sahur, sebab waktu tersebut adalah waktu turunnya (isyarat) ketuhanan, dekat dengan rahmat dan ampunan, serta waktu diamnya setan. Kebalikannya adalah mimpi di waktu petang (awal waktu malam)” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarij as-Salikin, juz 1, hal. 76).
Memiliki kemampuan untuk memahami arti dari mimpi termasuk salah satu bentuk keistimewaan. Hal ini salah satunya dibuktikan dari pemberian keistimewaan mampu menafsirkan mimpi dari Allah kepada Nabi Yusuf yang dijelaskan dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti” (QS Yusuf:21)
Dengan demikian, mempelajari ilmu tentang tafsir mimpi bukanlah hal yang terlarang. Bahkan oleh sebagian ulama ilmu ini dimasukkan dalam kategori ilmu syariat. Salah satu yang berpandangan demikian adalah antropolog terkemuka Muslim, Ibnu Khaldun. Berikut pandangan beliau tentang ilmu tafsir mimpi:
علم تعبير الرؤيا. هذا العلم من العلوم الشرعية وهو حادث في الملة عندما صارت العلوم صنائع، وكتب الناس فيها. وأما الرؤيا والتعبير لها، فقد كان موجوداً في السلف كما هو في الخلف
“Ilmu Tafsir Mimpi. Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu syariat dan merupakan ilmu yang baru dalam agama tatkala ilmu-ilmu dijadikan sebuah pekerjaan dan manusia menuliskan tentang ilmu. Sedangkan mimpi dan tafsir mimpi sebenarnya telah wujud di zaman salaf (terdahulu) seperti halnya juga wujud di zaman khalaf (masa kini) (Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 288).
Selain itu, sebagai bentuk apresiasi, Islam menganjurkan agar seseorang berusaha mencari makna atau tafsir dari mimpi yang dialami, sebab dalam sebuah mimpi terdapat pengetahuan tentang hal-hal gaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia. Hal ini seperti dijelaskan dalam dua kitab hadits di bawah ini:
وفي الحديث الحث على علم الرؤيا والسؤال عنها وتأويلها
“Dan dalam hadits terdapat motivasi untuk mempelajari ilmu tentang mimpi, bertanya tentang mimpi dan tafsir dari mimpi” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi li al-Muslim, Juz 15, Hal. 30)
وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى تَعْلِيمِ عِلْمِ الرُّؤْيَا وَعَلَى تَعْبِيرِهَا وَتَرْكِ إِغْفَالِ السُّؤَالِ عَنْهُ وَفَضِيلَتِهَا لِمَا تَشْتَمِلُ عَلَيْهِ مِنَ الِاطِّلَاعِ عَلَى بَعْضِ الْغَيْبِ وَأَسْرَارِ الكائنات
“Dan dalam hadits terdapat motivasi untuk mengajarkan ilmu tentang mimpi, tafsir mimpi, tidak lupa menanyakan tentang mimpi dan keutamaan mimpi. Sebab di dalam mimpi terkandung pengetahuan terhadap sebagian hal yang gaib dan rahasia alam” (Syekh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 12, hal. 437)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mimpi memiliki berbagai macam kategori dan memiliki pengetahuan tentang tafsir mimpi adalah suatu bentuk keistimewaan sebab mempelajarinya adalah bagian dari mempelajari ilmu syariat. Namun meski demikian, hendaknya dalam melangkah untuk mempelajari ilmu ini seseorang terlebih dahulu menguasai ilmu-ilmu syariat yang bersifat fardlu ‘ain baginya, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu syariat lainnya. Hal ini dimaksudkan agar seseorang memiliki fondasi ilmu agama yang mumpuni dan tidak mudah tertipu dengan hal-hal gaib yang ternyata merupakan bisikan dari setan atau khayalan pribadinya. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar