Etika Politik dalam Al Qur’an (33)
Berkesetaraan Jender (2)
Oleh: Nasaruddin Umar
Ayat-ayat jender dalam Al Quran serta merta berusaha untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender. Dalam mengubah sebuah tradisi yang sudah lama berakar di dalam masyarakat, Al Quran biasanya menggunakan beberapa tahapan ayat untuk sampai kepada titik kesetaraan yang yang dianggap adil. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus sebagai berikut.
Masalah kewarisan kaum perempuan yang tidak dikenal pada masa jahiliyah tiba-tiba Al-Qur'an mendekler mendapatkan warisan meskipun porsinya belum sama dengan porsi pembagian kaum laki-laki. Bahkan perempuan berfungsi sebagai "harta warisan" terhadap anak tiri laki-lakinya kalau suaminya meninggal. Jangankan anak perempuan, anak laki-laki yang belum akil-balig atau yang sudah uzur (tua bangka) tidak juga berhak mendapatkan harta warisan, karena konsep kewarisan dalam masyarakat Arab ketika itu terkait dengan konsep kepemilikan harta dalam sistem masyarakat qabiliyyah (tribal society), yang mirip dengan extended family. Konsep kepemilikan harta terkait dengan konsep pertahanan qabilah. Yang berhak mendapatkan harta ialah mereka yang dapat mengangkat pedang untuk membela eksistensi dan kelangsungan hidup qabilah. Oleh karena itu, yang berhak untuk mendapatkan harta warisan hanya laki-laki yang kuat, sudah akil-balig dan belum uzur.
Masalah persaksian kaum perempuan yang juga tidak dikenal pada masa jahiliyah, Al-Qur'an tiba-tiba memberi kesempatan kepada kaum perempuan bisa menjadi saksi, terutama dalam urusan bisnis (Q.S. al-Baqarah/2:282). Hal ini membuat bangsa Arab kaget terhadap terobosan itu.
Masalah aqiqah atau pesta kelahiran anak laki-laki, juga ikut menghebohkan dunia Arab saat itu karena sama dengan kewarisan dan persaksian, aqiqah itu hanya dikenal dalam dunia kaum laki-laki tiba-tiba Islam dating memberi kesempatan kaum perempuan untuk di aqiqah. Dalam masyarakat qabiliyyah, kelahiran anak laki-laki merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Sebaliknya jika yang lahir anak perempuan maka mereka bersedih hati dan bermuka masam, seperti diisyaratkan dalam Al-Qur'an. Kelahiran seorang anak laki-laki selalu disambut dalam berbagai acara dan upacara ('aqiqah). Sebaliknya anak perempuan tidak pernah mendapatkan perayaan khusus.
Masalah poligami yang tak terbatas di zaman jahiliyah tiba-tiba dibatasi oleh Al-Qur'an (Q.S. al-Nisa'/4:3) maksimum hanya empat, itupun setelah melalui persyaratan yang amat ketat, juga mengagetkan masyarakat Arab saat itu. Islam memperkenalkan azas perkawinan monogami, bukan poligami, tentu saja sesuatu yang luar biasa saat itu.
Masalah kepemimpinan yang sekian lama menjadi domain laki-laki tiba-tiba Islam dating memberikan peluang bagi kaum perempuan yang memenuhi syarat untuk aktif dan sekaligus menjadi pemimpin di dunia publik. Kemerdekaan kaum perempuan untuk membuat usaha dan mengecap Pendidikan tinggi, bahkan turut serta aktif di dalam dunia perang dan militer, sebuah pemandangan yang amat langka saat itu. Nabi sendiri memberi contoh, menggairahkan perempuan untuk berkarya seperti halnya kaum laki-laki. Dalam kasus pembebasan tawanan perang Badr, kaum perempuan diberi kesempatan untuk mendapatkan Pendidikan keterampilan usaha dari bekas tawanan perang sesuai dengan talenta yang dimiliki. Banyak lagi contoh lain yang membuat Prof. Ivonne Haddad, seorang guru besar di Georgetown Universiti Washington DC, berkesimpulan bahwa seandainya tidak ada agama Islam mungkin hingga saat ini perempuan belum merdeka. Meskipun ia beragama Katolik, ia berani mengungkapkan, kaum perempuan harus berterima kasih dengan kehadiran Islam karena jasanya telah mengangkat martabat perempuanm setara dengan kaum laki-laki. []
DETIK, 24 Oktober 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar