Kamis, 29 April 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (44) Bhinneka adalah Rahmat

Etika Politik dalam Al-Qur'an (44)

Bhinneka adalah Rahmat

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Nabi Muhammad Saw pernah menyatakan: Iikhtilafu baina ummati rahmah (Perbedaan di antara umatku adalah rahmat). Pernyataan ini semula sulit diterima oleh kalangan sahabat Nai, karena dalam tradisi masyarakat yang bercorak kesukuan (qabiliyyah) selalu dibiasakan pola hidup kemasyarakatan yang homogen. Ketika ayat demi ayat turun juga menolerir perbedaan maka semakin terbukalah pandangan dan wawasan bangsa Arab bahwa perbedaan tidak mesti diartikan sebagai ancaman. Inilah reformasi paling mendasar ditancapkan ajaran Islam di dalam masyarakat. Ketika masyarakat belum terbiasa dengan perbedaan tiba-tiba Islam tampil menyebarkan pola hidup keterbukaan. Wajar jika resistensi para elit dan bangsawan Arab menolak dan bahkan bermaksud membinasakan Nabi Muhammad Saw. Bukan karena Nabi tidak baik atau berakhlak buruk, tetapi mereka tidak ingin kedudukannya terancam dengan tradisi baru yang dikenalkan Al-Qur'an di dalam masyarakat.

 

Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang mengisyaratkan perbedaan dan pluralitas (bhinneka) sebagai sebuah keniscayaan. Keberagaman itu sendiri adalah dianggap sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatullah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan: Wa lau sya'a Rabbuka laja'alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia menjadikan kalian suatu umat). Dalam ayat tersebut Allah Swt menggunakan kata/huruf lau, bukannya in atau idza. Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi. Masalahnya sekarang kamus bahasa Indonesia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diartikan dengan "jika" tanpa kualifikasi.


Konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak jarang terjadi karena dipicu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar. Ironisnya, tidak jarang terjadi justru terkadang kelompok minoritas yang menyatakan kelompok mayoritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali mengklaim diri paling benar dan mereka merasa perlu membersihkan ajaran agama dari berbagai khurafat dan bid'ah. Namun kelompok mayoritas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak menerima serangan pembid'ahan itu karena merasa dirinya berdasar dari sumber ajaran dan dipandu oleh ulama besar. Akibatnya kelompok mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas.


Sesungguhnya kasus seperti tersebut di atas bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara mayoritas muslim lain juga sering ditemukan. Penyerangan aliran yang dianggap "sesat" oleh majlis ulama seringkali menjadi target. Di antara berbagai golongan saling mengkafirkan dan saling usir-mengusir dan bahkan bunuh-bunuhan lantaran dipicu penafsiran sumber ajaran agama. Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan karena mereka sama-sama berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain. Di Indonesia yang mengenal motto Bhinneka Tunggal Ika seharusnya konflik horizontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama dengan berbagai aliran dan mazhabnya berbeda-beda namun persamaan historis sebagai satu bangsa yang pernah mengalami pahit getirnya perjuangan melawan penjajah membuat perbedaan-perbedaan tersebut ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni membuat lukisan itu menjadi lebih indah. Nuansa keindonesiaan ini seharusnya mampu melenturkan kelompok-kelompok etnik dan ajaran agama sebagai di Indonesia.


Kita sangat berharap umat Islam lebih siap menerima perbedaan dengan kehadiran kitab sucinya yang mengajarkan kebersamaan di dalam perbedaan. Mungkin tidak ada kitab suci seterbuka dengan Al-Qur'an dalam menerima perbedaan. Di sinilah Al-Qur'an menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia yang majmuk. Al-Qur'an diharapkan memberikan tuntunan bagaimana menjalani kehidupan bermartabat di dalam suasana perbedaan.
[]

 

DETIK, 04 November 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar