Rabu, 21 April 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al Qur'an (41) Pelajaran Diplomasi Publik (7): Akhlak Berpolemik

Etika Politik dalam Al Qur'an (41)

Pelajaran Diplomasi Publik (7): Akhlak Berpolemik

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Menjelang Pemilu 17 April 2019 lalu, semakin gencar para politisi berkampanye. Berbagai polemik pun terjadi. Polemik seperti sudah menjadi pemandangan sehari-hari di dalam masyarakat kita. Padahal polemik itu suatu yang dianjurkan untuk dihindari, terutama polemik yang bisa melemahkan persatuan dan kesatuan umat. Polemik tentu saja berbeda dengan diskusi, dialog, dan musyawarah yang dianggap positif di dalam Islam. Polemik yang dimaksudkan di sini ialah yang saling menjatuhkan satu sama lain dan berakibat: "Kalah jadi abu menang jadi arang", dianggap sebagai perbuatan tercela. Di dalam Al-Quran ditegaskan: "Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata, seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu). (Q.S. al-Anfal/8:6).

 

Dalam ayat lain dikatakan: "Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (Q.S. Gafir/40:56). Dalam hadis Nabi juga ditegaskan: "Tidaklah sesat suatu kaum setelah diberi petunjuk oleh Allah kecuali mendatangi perdebatan".

 

Maksud ayat dan hadis di atas jelas bahwa kita sebaiknya menghindari polemik yang tidak produktif. Contoh polemik yang produktif ialah kebiasaan seseorang untuk selalu mengkritisi, memojokkan, melemahkan, dan menyalahkan setiap gagasan yang muncul dari orang lain. Sungguhpun itu nyata-nyata sudah benar tetapi kebenaran itu bukan muncul dari dirinya maka ia berusaha mencarikan cela untuk melemahkannya. Seolah-olah tidak boleh kebenaran itu muncul dari orang lain.

 

Mengritisi sah-sah saja tetapi kalau sudah menjadi semacam kebiasaan atau sudah menjadi karakter, setiap gagasan kreatif muncul dari orang lain pasti salah atau mengandung banyak kelemahan, maka ini yang tidak terpuji. Di dalam kehidupan berpartai dan kajian-kajian keilmuan, sering kali dijumpai orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri. Ia selalu menampilkan syahwat berpolemik sehingga orang lain selalu salah. Dirinya sendiri yang selalu merasa benar.

 

Sekalipun nyata-nyata salah dan pendapatnya menderita kelemahan logika, kasih tetap saja memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan pengakuan kebenaran dari orang lain, minimal dikatakan sama-sama mempunyai kelemahan. Cukup satu saja orang seperti ini di dalam sebuah komunitas sudah sangat merepotkan, apalagi jika sudah banyak. Orang-orang seperti ini cenderung menyedot energi, waktu terbuang mubazir, dan seringkali menimbulkan percekcokan dan perpecahan.

 

Polemik tentu saja berbeda dengan diskusi, dialog, dan musyawarah yang dianggap positif di dalam Islam. Menarik untuk disimak hadis Nabi: "Orang yang paling dibenci Allah ialah pengadu domba, perusak hubungan antara sesama dan orang yang mencuri cacat org lain yang tidak bersalah" (H.R. Ahmad). Allahu a'lam. []

 

DETIK, 01 November 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar