Etika Politik dalam Al-Qur'an (36)
Pelajaran Diplomasi Publik (2): Diplomasi Nabi Yusuf
Oleh: Nasaruddin Umar
Apapun keinginan Raja selalu dihubungkan dengan berhala-berhala itu. Seolah-olah kehendak dan keinginan Raja dilegitimasi melalui patung-patung berhala itu. Ironisnya,
Orang-orang besar yang ditampilkan dalam Al-Qur'an ternyata memiliki kekuatan diplomasi yang luar biasa. Semakin besar kekuatan diplomasi seseorang ternyata berbanding lurus dengan ketokohan yang bersangkutan. Kita perlu belajar banyak dalam dunia diplomasi publik dari tokoh-tokoh yang diperkenalkan di dalam Al-Qur'an.
Kesuksesan misi dakwah Nabi lebih banyak ditentukan oleh kepiawaian berdiplomasi Rasulullah ketimbang dengan jihad melalui peperangan. Dari segi kekuatan perang Rasulullah Saw sesungguhnya tidak ada apa-apanya dibanding dengan dua kekuatan adidaya yang mengapitnya, yaitu kekuatan Romawi Bizantium di Barat dan kekuatan Persia di Timur. Sukses yang gemilang Rasulullah lebih banyak ditentukan oleh perjuangan diplomasi. Diplomasi adalah bagian dari jihad yang paling diandalkan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw amat piawai di dalam berdiplomasi. Terkadang diplomasinya menempuh jalan-jalan yang sama sekali tidak populis tetapi ia tetap istiqamah. Rasulullah Saw betul-betul berorientasi pada tujuan sebuah perjuangan, bukannya mengedepankan peroses.
Berjihad melalui diplomasi selain resikonya sangat minim juga hasilnya bisa
lebih permanen. Diplomasi bisa meniadakan atau paling tidak menunda peperangan
yang akan menelan korban jiwa dan materi. Karena itu, para Nabi dibekali dengan
kekuatan diplomasi yang amat piwai. Lihat misalnya bagaimana kepiawaian Nabi
Sulaiman bisa menaklukkan sebuah kekuatan adidaya yang dipimpin oleh seorang
perempuan bernama Balqis. Kepiawaian Balqis dilukiskan sebagai seorang ratu
yang diberi gelar "pemilik kerajaan besar" (laha 'arsyun 'adhim)
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Naml/27:23). Pada akhirnya Nabi Sulaiman
bisa menaklukkan kerajaan ini tanpa setetes darah yang mengalir.
Contoh lain, ketika Nabi Ibrahim ditanya oleh Raja Namrud: "Siapa yang
menghancurkan berhala-berhala kami" lalu dengan diplomatis Nabi Ibrahim
menjawab: "Itu yang paling besar", sambil menunjuk berhala paling
besar yang dikalungi kampak, setelah sebelumnya berhala-berhala lain
dihancurkan. Nabi Ibrahim tidak berbohong karena yang ditunjuk memang adalah
berhala paling besar, walaupun maksudnya bukan dia yang menghancurkan
berhala-berhala itu. Berhala-berhala yang dihancurkan Nabi Ibrahim seharusnya
Nabi Ibrahim
Dalam kasus lain, Nabi Yusuf menundukkan saudara-saudaranya yang pernah berusaha mencelakakan dirinya ke dalam sumur, bukan dengan cara membalas dendam ketika ia menjad raja di Mesir, tetapi ia menguji mental saudara-saudaranya dengan cara menyembunyikan alat timbangan ke dalam karung gandum saudara-saudaranya. Para saudaranya dihadapkan kembali kepada raja setelah ditemukan alat bukti di dalam karung. Nabi Yusuf bukannya menghukum saudara-saudaranya tetapi memaafkannya. Akhitnya saudara-saudaranya tertunduk malu dan menyesali seluruh perbuatan yang pernah dilakukan di masa lalu. Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatan yang memalukan itu.
Nabi Muhammad Saw juga kaya dengan pengalaman diplomasi sebagai metode di dalam
menggalang pengaruh dan mengembang misi suci, sebagaimana yang akan dibahas
dalam artikel-artikel mendatang.
Banyak contoh yang bisa dijukkan, antara lain Diplomasi Hudaibiyyah yang terkenal itu. Rasulullah lebih menonjol sebagai diplomat ketimbang seorang jenderal perang, meskipun semasa di Madinah, beliau disuguhi sejumlah peperangan dan beberapa kali di antaranya ia memimpin langsung peperangan itu. Rasulullah dalam perjanjian ini sangat tidak populis. Bahkan sahabat terdekatnya seperti Umar tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak tetapi juga melecehkan symbol-simbol aqidah.
Riwayatnya adalah ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat
Islam dan kaum kafir Quraisy. Rasulullah memimpin lagsung delegasinya dan dari
pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai
prambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata
Bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing,
lalu ia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang popular di dalam
masyarakat Arab ketima itu. Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan
kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan
oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat ini dan
mengusulkan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini
ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).
Pencoretan basmalah dan kata "Rasulullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, namun Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon Rasulullah mengambil alih sendiri pennulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu perinsip dasar aqidah.
Dari segi substansi, terdapat juga materi yang dinilai tidak adil, karena kalau
orang kafir Quraisy yang menyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, maka
segera dibebaskan dan segera dikembalikan ke Mekkah. Sedangkan kalau yang
melanggar batas umat Islam maka orangnya ditahan di Mekkah. Materi perjanjian
seperti ini pun Rasulullah menyetujuinya.
Sepintas memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu aqidah,
berupa pencoretan kalimat Rasulullah tadi, namun Rasulullah tetap menganggap
itu batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk mengatasi jumlah korban
jiwa akibat peperangan. Rasulullah tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam
jika tidak dilakukan gencatan senjata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih
lanjut yang akan dilakukan. Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan
Rasulullah itu. Seandainya saja Rasulullah hanya sebagai pemimpin Arab biasa,
bukan Nabi, maka sudah pasti ia tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan
tetapi para sahabatnya tahu, bahwa Rasulullah di samping seorang cerdas juga ia
seorang Nabi.
Belakangan, apa yang ditetapkan Rasulullah ternyata benar. Sekiranya para
pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah maka sudah barang
tentu akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah
kebanjiran pengunsi dari Meca. Sebaliknya kalau para pelintas batas dari
Madinah ditahan di Mekkah dibiarkan, karena pasiti mereka itu para kader dan
dapat melakukan uapay politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam
masyarakat Quraish. Pada saat bersamaan, Rasulullah terus menggalang pengaruh
dengan kabilah-kabilah pinggiran dan karena kepiawaiannya, maka Rasulullah
berhasil memukai sejumlah kabilah-kabilah kecil dan bersatu di bawah kekuatan
Rasulullah. Kabilah-kabilah yang tadinya terpecah belah di kawasan Yatsrib
(Madinah), Rasulullah berhasil disatukannya, terutama dua suku besar yaitu suku
'Aus dan suku Khazraj. Akhirnya kekuatan umat Islam yang juga didukung oleh umat
Agama lain semakin besar. Pada saat bersamaan, diplomasi publik dan diplomasi
internasional Rasulullah jalan terus, melampaui batas-batas geografis Arab,
termasuk menjali kerjasama dengan negara adidaya Romawi Bizantium di Barat dan
Persia di Timur.
Kafir Quraisy Mekkah semakin terkucil karena kabilah-kabilah kecil yang berada
di bawah pengaruhnya satu per satu meninggalkannya dan bergabung dengan
kekuatan Rasulullah. Pengaruh Rasulullah semakin tak terbendung. Namun tidak
berarti kaum kafir tidak memiliki kekuatan. Sisa-sisa kekuatan mereka
sewaktu-waktu dihimpun untuk menyerang kekuatan Rasulullah, tetapi
kekuatan-kekuatan mereka tetap dipatahkan. Tentara-tentara kaum kafir Quraisy
seringkali kehilangan fokus sehingga meskipun jumlah mereka besar tetapi mereka
tetap tidak berdaya menghadapi pasukan Rasulullah yang sudah dilatih dengan
menghadirkan pelatih-pelatih asing profesional, termasuk di antaranya yang amat
terkenal sebagai arsitek perang Rasulullah, yaitu Salman al-Farisi, seorang
expertist perang dari Persia.
Keunggulan diplomasi dan strategi Rasulullah memang betul-betul menakjubkan.
Suatu ketika tahanan Perang Badar yang dutahan di depan mesjid menimbulkan
persoalan. Rasulullah meminta pendapat para sahabatnya. Umar mengusulkan
laki-lakinya berlaku hukum perang, dibunuh dan perempuannya dijadikan budak.
Abu Bakar berpendapat lain. Ia mengusulkan agar tawanan perang dimanfaatkan
potensinya untuk kekuatan umat Islam di Madinah. Rasulullah memilih pendapat
Abu Bakar. Rasulullah kemudian meminta para sahabatnya untuk memilah-milah
tawanan perang lalu mereka diminta untuk mengajar dan membebaskan masyarakat
Madinah dari buta huruf dan buta keterampilan. Pembebasan bersyarat ini
memperoleh hasil ganda, selain meningkatkan kekuatan potensi ekonomi umat,
kebijakan ini juga membuat para tawanan perang berbalik mendukung Rasulullah
dan menganut agama Islam dengan sadar tanpa paksaan, karena mereka baru sadar
akan keluhuran budi pekerti Rasulullah dan keagungan ajaran Islam yang
dilihatnya sangat berbeda dengan apa yang mereka dengar dari pimpinannya.
Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa salahsatu kesuksesan misi
Rasulullah karena ia selalu menyikapi setiap persoalan dengan tenang dan dengan
berfikir jernih. Kebijakan-kebijakannya seringkali dinilai tidak populis oleh
sahabat-sahabatnya tetapi pada akhirnya kebijakan itu dinilai lebih tepat.
Spontanitas emosional terkadang memang menjadi bumerang. Al-Qur'an juga
mengingatkan kita: "Janganlah karena kebencianmu pada suatu kelompok
membuatmu tidak beralu adil". Ayat lain: "Janganlah menceburkan diri
kalian ke dalam kebinasaan". Rasulullah juga sering mengambil langkah
mundur untuk mencapai suatu kemenangan. Tidak mesti harus menempuh langkah
nekad atau mengorbankan diri untuk mencapai suatu tujuan. Jihad sesungguhnya
untuk menghidupkan orang, bukan sebuah langkah yang bisa menyebabkan kematiaon
orang. Perintah jihad di dalam al-Qur'an selalu diawali dengan perintah hijrah.
Jihad dengan jiwa juga selalu diawali dengan jihad dengan harta benda. Inilah cara
Rasulullah dan inilah cara Islam.
Ketika menjalankan tugas sebagai Visiting Scholar di SOAS University of London
(2003) dan di Center for Muslim-Christian Understanding (CMCU), Georgetown
University, Washington, DC, suatu lembaga yang dibentuk Pemerintah pasca
kejadian dahsyat 11 September di Amerika Serikat (2003-2004), pertanyaan yang
amat berat untuk dijelaskan ialah konsep jihad di dalam Islam. Ini disebabkan
karena alasan tunggal para teroris yang diklaim sebagai kelompok Alkaedah dalam
menjalankan aksinya ialah jihad, perang suci yang dilancarkan untuk melawan
musuh-musuh Islam. Dipersulit lagi dengan lahirnya buku The Best Seller karya
seorang murtad, alumni dan mantan guru besar di Universitas Al-Azhar, Cairo
Mesir, Mark A.Gabril yang berjudul Islam and Terrorism dan buku-buku Ibnu
Warraq yang profokatif itu. Buku-buku mereka sangat menghebohkan karena seperti
dikatakan Mark Gabriel, yang teroris sesungguhnya bukanlah umat Islam melainkan
Al-Qur'an dan Hadis. Umat Islam hanya sebagai korban (victims). Ia mengumpulkan
sejumlah potongan ayat dan hadis yang bias membuat darah umat Islam mendidih
untuk memerangi orang kafir (non-Islam). Buku ini betul-betul sangat
menyesatkan, karena sebagai mantan ilmuan Islam dan praktisi Islam, ia tahu
kelemahan umat Islam. Pertanyaan mahasiswa di dalam kelas betul-betul
memojokkan Islam sebagai agama teroris atau agama barbarian.
Hal yang sama juga penulis alami ketika mendapatkan kesempatan sebagai visiting
scholar di Bellagio Study Center, Milan Italia. Para productive scholars yang
dipilih secara selektif Rockefeller Foundation ketika itu (2005) sebanyak 11
orang dari berbagai negara. Kebetulan saya sendirian muslim dan pertanyaan yang
dilancarkan para anggota juga tertuju kepada ayat-ayat tertentu yang menyerukan
jihad. Pemahaman mereka tentang jihad identik dengan darah manusia. Banyak lagi
karya yang sengaja diterbitkan untuk memojokkan Islam khususnya Al-Qur'an dan
Hadis. Kegelisahan ini mendorong saya untuk menulis sebuah buku yang saya beri
judul "Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur'an dan Hadits", yang
diterbitkan oleh Rahmat Semesta Center, jakarta (2008). Buku ini berusaha untuk
menjawab rekaman pertanyan-pertanyaan komunitas akademik Barat tentang makna
jihad. Buku ini juga diharapkan bisa menjadi acuan perbandingan dengan
buku-buku yang berbahasa Indonesia yang agaknya terlalu "bersemangat"
untuk memperjuangkan Islam. Padahal, Al-Qur'an dan pengalaman Rasulullah Saw
menunjukkan bahwa jihad itu tidak mesti harus dengan kekerasan, apalagi untuk
melayangkan jiwa-jiwa yang tak berdosa. Puluhan ayat menyerukan jihad tetapi
selalu diawali dengan perintah hijrah sebelum berjihad. Redaksi yang digunakan
Al-Qur'an selalu wahajaru wajahadu, tidak pernah terungkap wajahadu wahajaru.
Rasulullah sendiri memilih mundur dan hijrah untuk mencapai tujuan mulia.
Mundur selangkah untuk mencapai kemenangan, agaknya itu yang dipraktekkan
Rasulullah Saw. Dengan demikian, jihad sesungguhnya bukan untuk mematikan orang
melainkan untuk menghidupkan orang.
Term jihad, berasal dari kata jahada-yajhadu-juhd/jahd. Pakar bahasa membedakan
definisi jahd dan juhd. Mereka mengartikan juhd dengan kemampuan-al-thâqah-,
sedangkan jahd dengan rintangan-masyaqqah-. Ada juga yang mengartikan
sebaliknya, jahd diartikan rintangan dan juhd dengan kemampuan. Jika dikatakan
jahada fi al-amr berarti ia akan bersungguh-sungguh dalam urusan tersebut,
sehingga merasa lelah karena berusaha semaksimal mungkin untuk memperolehnya.
Juhd juga dapat dipahami dengan upaya seseorang untuk tetap bertahan hidup dalam
keterbatasannya yang serba sedikit. Jihad merupakan derivasi dari kata
jâhada-yuhâhidu-jihâd/mujâhadah. Secara etimologi, jihad berarti mencurahkan
segenap upaya dan kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang berhubungan
dengan kesulitan dan penderitaan. Jâhada berarti mencurahkan segala kemampuan
dalam membela dan memperoleh kemenangan. Dikaitkan dengan musuh, maka jâhada
al-'aduww berarti membunuh musuh, mencurahkan segenap tenaga untuk
memeranginya, dan mengeluarkan segenap kesungguhan dalam membela diri darinya.
Dari aspek terminologi, definisi jihad berkisar kepada tiga aspek:
1. Jihad yang dipahami secara umum, adalah segala kemampuan yang dicurahkan oleh manusia dalam mencegah/membela diri dari keburukan dan menegakkan kebenaran. Termasuk dalam kategori ini adalah menegakkan kebenaran, membenahi masyarakat, bersunggung-sungguh serta ikhlas dalam beramal, gigih belajar untuk melenyapkan kebodohan, bersungguh-sungguh dalam beribadah seperti haji.
2. Jihad dipahami secara khusus sebagai mencurahkan segenap upaya dalam menyebarkan dan membela dakwah Islam.
3. Jihad yang dibatasi pada qitâl (perang) untuk membela agama untuk menegakkan agama Allah dan proteksi kegiatan dakwah.
4. Menurut Abû 'Abd al-Fattâh 'Aliy ibn Hâj, jihad bukan hanya sebatas mencurahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang kafir, jihad juga mencakup tiga aspek:
1. Jihad dalam mempelajari agama dan mengamalkannya, serta mengajarinya.
2. Jihad dalam melawan setan dengan cara mencegah hal syubhat yang muncul dari syahwat.
3. Jihad terhadap kaum kafir, baik dengan kekuasaan, harta, lisan, dan hati.
4. Jihad terhadap orang fasik, dengan kekuasaan, lisan, dan hati.
Dari akar kata jahada membentuk kata jihad (perjuagan fisik), ijtihad
(perjuangan nalar/pikiran), dan mujahadah (perjuangan batin). Kombinasi
jihad-ijtihad-mujahadah inilah yang disebut jihad yang sesungguhnya. Jihad
tanpa ijtihad dan atau mujahadah dikhawatirkan bukan jihad melainkan nekat.
Jihad sesungguhnya bertujuan untuk menghidupkan orang, bukan untuk meatikan
atau menyebabkan kematian seseorang atau sekelompok orang. Jihad bukan untuk
menyengsarakan orang atau untuk menimbulkan kecemasan dan kepanikan orang.
Allah Swt melarang dengan tegas tindakan nekat di dalam berjuang: La tulqu
aidiyakum ila al-tahlukah, yang maksudnya, jangan menceburkan diri kalian ke
dalam kebinasaan. Kalau kita sudah tahu sebuah perjuangan (fisik) lebih
membahayakan diri dan kelompok, daripada memenangkan sebuah perjuangan maka
Rasylullah sudah cukup menjadi contoh. Rasulullah memilih untuk mengungsi
(hijrah). Rasulullah hijrah ke Thaif dan ke Yatsrib (Madinah) untuk
menyelamatkan perjuangan, visi dan misi, dan untuk menghindari jatuhnya banyak
korban jiwa. Al-Qur'an sendirinselalu mengedepankan berjihad dengan harta baru
berjihad dengan jiwa raga (wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum), tidak pernah
dibalik: wa jahidu bi anfusikum wa amwalikum. Ini tentu menegaskan betapa
perlunya menekankan kehidupan itu di dalam jihad, bukan sebaliknya menekankan
kematian.
Buku ini juga memberikan panduan khusus di dalam memahami sejumlah ayat dan
hadis yang sering diangkat oleh orang-orang yang bermaksud tidak obyektif
terhadap Islam, seperti penjelasan sabab nuzul ayat dan sabab wurud hadis,
serta kaedah-kaedah usul. Buku ini juga memberikan uraian dan analisis semantik
dan kaedah-kaedah linguistik untuk menjelaskan sejulmah ayat dan hadis yang
sering disalah pahami orang. []
DETIK, 27 Oktober 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar