Selasa, 13 April 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (36) Pelajaran Diplomasi Publik (2): Diplomasi Nabi Yusuf

Etika Politik dalam Al-Qur'an (36)

Pelajaran Diplomasi Publik (2): Diplomasi Nabi Yusuf

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Apapun keinginan Raja selalu dihubungkan dengan berhala-berhala itu. Seolah-olah kehendak dan keinginan Raja dilegitimasi melalui patung-patung berhala itu. Ironisnya,

 

Orang-orang besar yang ditampilkan dalam Al-Qur'an ternyata memiliki kekuatan diplomasi yang luar biasa. Semakin besar kekuatan diplomasi seseorang ternyata berbanding lurus dengan ketokohan yang bersangkutan. Kita perlu belajar banyak dalam dunia diplomasi publik dari tokoh-tokoh yang diperkenalkan di dalam Al-Qur'an.

 

Kesuksesan misi dakwah Nabi lebih banyak ditentukan oleh kepiawaian berdiplomasi Rasulullah ketimbang dengan jihad melalui peperangan. Dari segi kekuatan perang Rasulullah Saw sesungguhnya tidak ada apa-apanya dibanding dengan dua kekuatan adidaya yang mengapitnya, yaitu kekuatan Romawi Bizantium di Barat dan kekuatan Persia di Timur. Sukses yang gemilang Rasulullah lebih banyak ditentukan oleh perjuangan diplomasi. Diplomasi adalah bagian dari jihad yang paling diandalkan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw amat piawai di dalam berdiplomasi. Terkadang diplomasinya menempuh jalan-jalan yang sama sekali tidak populis tetapi ia tetap istiqamah. Rasulullah Saw betul-betul berorientasi pada tujuan sebuah perjuangan, bukannya mengedepankan peroses.


Berjihad melalui diplomasi selain resikonya sangat minim juga hasilnya bisa lebih permanen. Diplomasi bisa meniadakan atau paling tidak menunda peperangan yang akan menelan korban jiwa dan materi. Karena itu, para Nabi dibekali dengan kekuatan diplomasi yang amat piwai. Lihat misalnya bagaimana kepiawaian Nabi Sulaiman bisa menaklukkan sebuah kekuatan adidaya yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Balqis. Kepiawaian Balqis dilukiskan sebagai seorang ratu yang diberi gelar "pemilik kerajaan besar" (laha 'arsyun 'adhim) sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Naml/27:23). Pada akhirnya Nabi Sulaiman bisa menaklukkan kerajaan ini tanpa setetes darah yang mengalir.


Contoh lain, ketika Nabi Ibrahim ditanya oleh Raja Namrud: "Siapa yang menghancurkan berhala-berhala kami" lalu dengan diplomatis Nabi Ibrahim menjawab: "Itu yang paling besar", sambil menunjuk berhala paling besar yang dikalungi kampak, setelah sebelumnya berhala-berhala lain dihancurkan. Nabi Ibrahim tidak berbohong karena yang ditunjuk memang adalah berhala paling besar, walaupun maksudnya bukan dia yang menghancurkan berhala-berhala itu. Berhala-berhala yang dihancurkan Nabi Ibrahim seharusnya Nabi Ibrahim

 

Dalam kasus lain, Nabi Yusuf menundukkan saudara-saudaranya yang pernah berusaha mencelakakan dirinya ke dalam sumur, bukan dengan cara membalas dendam ketika ia menjad raja di Mesir, tetapi ia menguji mental saudara-saudaranya dengan cara menyembunyikan alat timbangan ke dalam karung gandum saudara-saudaranya. Para saudaranya dihadapkan kembali kepada raja setelah ditemukan alat bukti di dalam karung. Nabi Yusuf bukannya menghukum saudara-saudaranya tetapi memaafkannya. Akhitnya saudara-saudaranya tertunduk malu dan menyesali seluruh perbuatan yang pernah dilakukan di masa lalu. Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatan yang memalukan itu.


Nabi Muhammad Saw juga kaya dengan pengalaman diplomasi sebagai metode di dalam menggalang pengaruh dan mengembang misi suci, sebagaimana yang akan dibahas dalam artikel-artikel mendatang.

Banyak contoh yang bisa dijukkan, antara lain Diplomasi Hudaibiyyah yang terkenal itu. Rasulullah lebih menonjol sebagai diplomat ketimbang seorang jenderal perang, meskipun semasa di Madinah, beliau disuguhi sejumlah peperangan dan beberapa kali di antaranya ia memimpin langsung peperangan itu. Rasulullah dalam perjanjian ini sangat tidak populis. Bahkan sahabat terdekatnya seperti Umar tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak tetapi juga melecehkan symbol-simbol aqidah.


Riwayatnya adalah ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy. Rasulullah memimpin lagsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai prambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing, lalu ia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketima itu. Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

 

Pencoretan basmalah dan kata "Rasulullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, namun Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon Rasulullah mengambil alih sendiri pennulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu perinsip dasar aqidah.


Dari segi substansi, terdapat juga materi yang dinilai tidak adil, karena kalau orang kafir Quraisy yang menyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, maka segera dibebaskan dan segera dikembalikan ke Mekkah. Sedangkan kalau yang melanggar batas umat Islam maka orangnya ditahan di Mekkah. Materi perjanjian seperti ini pun Rasulullah menyetujuinya.


Sepintas memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu aqidah, berupa pencoretan kalimat Rasulullah tadi, namun Rasulullah tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Rasulullah tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan senjata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan. Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Rasulullah itu. Seandainya saja Rasulullah hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, maka sudah pasti ia tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan tetapi para sahabatnya tahu, bahwa Rasulullah di samping seorang cerdas juga ia seorang Nabi.


Belakangan, apa yang ditetapkan Rasulullah ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah maka sudah barang tentu akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengunsi dari Meca. Sebaliknya kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Mekkah dibiarkan, karena pasiti mereka itu para kader dan dapat melakukan uapay politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraish. Pada saat bersamaan, Rasulullah terus menggalang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggiran dan karena kepiawaiannya, maka Rasulullah berhasil memukai sejumlah kabilah-kabilah kecil dan bersatu di bawah kekuatan Rasulullah. Kabilah-kabilah yang tadinya terpecah belah di kawasan Yatsrib (Madinah), Rasulullah berhasil disatukannya, terutama dua suku besar yaitu suku 'Aus dan suku Khazraj. Akhirnya kekuatan umat Islam yang juga didukung oleh umat Agama lain semakin besar. Pada saat bersamaan, diplomasi publik dan diplomasi internasional Rasulullah jalan terus, melampaui batas-batas geografis Arab, termasuk menjali kerjasama dengan negara adidaya Romawi Bizantium di Barat dan Persia di Timur.


Kafir Quraisy Mekkah semakin terkucil karena kabilah-kabilah kecil yang berada di bawah pengaruhnya satu per satu meninggalkannya dan bergabung dengan kekuatan Rasulullah. Pengaruh Rasulullah semakin tak terbendung. Namun tidak berarti kaum kafir tidak memiliki kekuatan. Sisa-sisa kekuatan mereka sewaktu-waktu dihimpun untuk menyerang kekuatan Rasulullah, tetapi kekuatan-kekuatan mereka tetap dipatahkan. Tentara-tentara kaum kafir Quraisy seringkali kehilangan fokus sehingga meskipun jumlah mereka besar tetapi mereka tetap tidak berdaya menghadapi pasukan Rasulullah yang sudah dilatih dengan menghadirkan pelatih-pelatih asing profesional, termasuk di antaranya yang amat terkenal sebagai arsitek perang Rasulullah, yaitu Salman al-Farisi, seorang expertist perang dari Persia.


Keunggulan diplomasi dan strategi Rasulullah memang betul-betul menakjubkan. Suatu ketika tahanan Perang Badar yang dutahan di depan mesjid menimbulkan persoalan. Rasulullah meminta pendapat para sahabatnya. Umar mengusulkan laki-lakinya berlaku hukum perang, dibunuh dan perempuannya dijadikan budak. Abu Bakar berpendapat lain. Ia mengusulkan agar tawanan perang dimanfaatkan potensinya untuk kekuatan umat Islam di Madinah. Rasulullah memilih pendapat Abu Bakar. Rasulullah kemudian meminta para sahabatnya untuk memilah-milah tawanan perang lalu mereka diminta untuk mengajar dan membebaskan masyarakat Madinah dari buta huruf dan buta keterampilan. Pembebasan bersyarat ini memperoleh hasil ganda, selain meningkatkan kekuatan potensi ekonomi umat, kebijakan ini juga membuat para tawanan perang berbalik mendukung Rasulullah dan menganut agama Islam dengan sadar tanpa paksaan, karena mereka baru sadar akan keluhuran budi pekerti Rasulullah dan keagungan ajaran Islam yang dilihatnya sangat berbeda dengan apa yang mereka dengar dari pimpinannya.


Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa salahsatu kesuksesan misi Rasulullah karena ia selalu menyikapi setiap persoalan dengan tenang dan dengan berfikir jernih. Kebijakan-kebijakannya seringkali dinilai tidak populis oleh sahabat-sahabatnya tetapi pada akhirnya kebijakan itu dinilai lebih tepat. Spontanitas emosional terkadang memang menjadi bumerang. Al-Qur'an juga mengingatkan kita: "Janganlah karena kebencianmu pada suatu kelompok membuatmu tidak beralu adil". Ayat lain: "Janganlah menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan". Rasulullah juga sering mengambil langkah mundur untuk mencapai suatu kemenangan. Tidak mesti harus menempuh langkah nekad atau mengorbankan diri untuk mencapai suatu tujuan. Jihad sesungguhnya untuk menghidupkan orang, bukan sebuah langkah yang bisa menyebabkan kematiaon orang. Perintah jihad di dalam al-Qur'an selalu diawali dengan perintah hijrah. Jihad dengan jiwa juga selalu diawali dengan jihad dengan harta benda. Inilah cara Rasulullah dan inilah cara Islam.


Ketika menjalankan tugas sebagai Visiting Scholar di SOAS University of London (2003) dan di Center for Muslim-Christian Understanding (CMCU), Georgetown University, Washington, DC, suatu lembaga yang dibentuk Pemerintah pasca kejadian dahsyat 11 September di Amerika Serikat (2003-2004), pertanyaan yang amat berat untuk dijelaskan ialah konsep jihad di dalam Islam. Ini disebabkan karena alasan tunggal para teroris yang diklaim sebagai kelompok Alkaedah dalam menjalankan aksinya ialah jihad, perang suci yang dilancarkan untuk melawan musuh-musuh Islam. Dipersulit lagi dengan lahirnya buku The Best Seller karya seorang murtad, alumni dan mantan guru besar di Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir, Mark A.Gabril yang berjudul Islam and Terrorism dan buku-buku Ibnu Warraq yang profokatif itu. Buku-buku mereka sangat menghebohkan karena seperti dikatakan Mark Gabriel, yang teroris sesungguhnya bukanlah umat Islam melainkan Al-Qur'an dan Hadis. Umat Islam hanya sebagai korban (victims). Ia mengumpulkan sejumlah potongan ayat dan hadis yang bias membuat darah umat Islam mendidih untuk memerangi orang kafir (non-Islam). Buku ini betul-betul sangat menyesatkan, karena sebagai mantan ilmuan Islam dan praktisi Islam, ia tahu kelemahan umat Islam. Pertanyaan mahasiswa di dalam kelas betul-betul memojokkan Islam sebagai agama teroris atau agama barbarian.


Hal yang sama juga penulis alami ketika mendapatkan kesempatan sebagai visiting scholar di Bellagio Study Center, Milan Italia. Para productive scholars yang dipilih secara selektif Rockefeller Foundation ketika itu (2005) sebanyak 11 orang dari berbagai negara. Kebetulan saya sendirian muslim dan pertanyaan yang dilancarkan para anggota juga tertuju kepada ayat-ayat tertentu yang menyerukan jihad. Pemahaman mereka tentang jihad identik dengan darah manusia. Banyak lagi karya yang sengaja diterbitkan untuk memojokkan Islam khususnya Al-Qur'an dan Hadis. Kegelisahan ini mendorong saya untuk menulis sebuah buku yang saya beri judul "Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur'an dan Hadits", yang diterbitkan oleh Rahmat Semesta Center, jakarta (2008). Buku ini berusaha untuk menjawab rekaman pertanyan-pertanyaan komunitas akademik Barat tentang makna jihad. Buku ini juga diharapkan bisa menjadi acuan perbandingan dengan buku-buku yang berbahasa Indonesia yang agaknya terlalu "bersemangat" untuk memperjuangkan Islam. Padahal, Al-Qur'an dan pengalaman Rasulullah Saw menunjukkan bahwa jihad itu tidak mesti harus dengan kekerasan, apalagi untuk melayangkan jiwa-jiwa yang tak berdosa. Puluhan ayat menyerukan jihad tetapi selalu diawali dengan perintah hijrah sebelum berjihad. Redaksi yang digunakan Al-Qur'an selalu wahajaru wajahadu, tidak pernah terungkap wajahadu wahajaru. Rasulullah sendiri memilih mundur dan hijrah untuk mencapai tujuan mulia. Mundur selangkah untuk mencapai kemenangan, agaknya itu yang dipraktekkan Rasulullah Saw. Dengan demikian, jihad sesungguhnya bukan untuk mematikan orang melainkan untuk menghidupkan orang.


Term jihad, berasal dari kata jahada-yajhadu-juhd/jahd. Pakar bahasa membedakan definisi jahd dan juhd. Mereka mengartikan juhd dengan kemampuan-al-thâqah-, sedangkan jahd dengan rintangan-masyaqqah-. Ada juga yang mengartikan sebaliknya, jahd diartikan rintangan dan juhd dengan kemampuan. Jika dikatakan jahada fi al-amr berarti ia akan bersungguh-sungguh dalam urusan tersebut, sehingga merasa lelah karena berusaha semaksimal mungkin untuk memperolehnya. Juhd juga dapat dipahami dengan upaya seseorang untuk tetap bertahan hidup dalam keterbatasannya yang serba sedikit. Jihad merupakan derivasi dari kata jâhada-yuhâhidu-jihâd/mujâhadah. Secara etimologi, jihad berarti mencurahkan segenap upaya dan kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang berhubungan dengan kesulitan dan penderitaan. Jâhada berarti mencurahkan segala kemampuan dalam membela dan memperoleh kemenangan. Dikaitkan dengan musuh, maka jâhada al-'aduww berarti membunuh musuh, mencurahkan segenap tenaga untuk memeranginya, dan mengeluarkan segenap kesungguhan dalam membela diri darinya.


Dari aspek terminologi, definisi jihad berkisar kepada tiga aspek:

 

1.     Jihad yang dipahami secara umum, adalah segala kemampuan yang dicurahkan oleh manusia dalam mencegah/membela diri dari keburukan dan menegakkan kebenaran. Termasuk dalam kategori ini adalah menegakkan kebenaran, membenahi masyarakat, bersunggung-sungguh serta ikhlas dalam beramal, gigih belajar untuk melenyapkan kebodohan, bersungguh-sungguh dalam beribadah seperti haji.

2.     Jihad dipahami secara khusus sebagai mencurahkan segenap upaya dalam menyebarkan dan membela dakwah Islam.

3.     Jihad yang dibatasi pada qitâl (perang) untuk membela agama untuk menegakkan agama Allah dan proteksi kegiatan dakwah.

4.     Menurut Abû 'Abd al-Fattâh 'Aliy ibn Hâj, jihad bukan hanya sebatas mencurahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang kafir, jihad juga mencakup tiga aspek:

1.     Jihad dalam mempelajari agama dan mengamalkannya, serta mengajarinya.

2.     Jihad dalam melawan setan dengan cara mencegah hal syubhat yang muncul dari syahwat.

3.     Jihad terhadap kaum kafir, baik dengan kekuasaan, harta, lisan, dan hati.

4.     Jihad terhadap orang fasik, dengan kekuasaan, lisan, dan hati.


Dari akar kata jahada membentuk kata jihad (perjuagan fisik), ijtihad (perjuangan nalar/pikiran), dan mujahadah (perjuangan batin). Kombinasi jihad-ijtihad-mujahadah inilah yang disebut jihad yang sesungguhnya. Jihad tanpa ijtihad dan atau mujahadah dikhawatirkan bukan jihad melainkan nekat. Jihad sesungguhnya bertujuan untuk menghidupkan orang, bukan untuk meatikan atau menyebabkan kematian seseorang atau sekelompok orang. Jihad bukan untuk menyengsarakan orang atau untuk menimbulkan kecemasan dan kepanikan orang. Allah Swt melarang dengan tegas tindakan nekat di dalam berjuang: La tulqu aidiyakum ila al-tahlukah, yang maksudnya, jangan menceburkan diri kalian ke dalam kebinasaan. Kalau kita sudah tahu sebuah perjuangan (fisik) lebih membahayakan diri dan kelompok, daripada memenangkan sebuah perjuangan maka Rasylullah sudah cukup menjadi contoh. Rasulullah memilih untuk mengungsi (hijrah). Rasulullah hijrah ke Thaif dan ke Yatsrib (Madinah) untuk menyelamatkan perjuangan, visi dan misi, dan untuk menghindari jatuhnya banyak korban jiwa. Al-Qur'an sendirinselalu mengedepankan berjihad dengan harta baru berjihad dengan jiwa raga (wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum), tidak pernah dibalik: wa jahidu bi anfusikum wa amwalikum. Ini tentu menegaskan betapa perlunya menekankan kehidupan itu di dalam jihad, bukan sebaliknya menekankan kematian.


Buku ini juga memberikan panduan khusus di dalam memahami sejumlah ayat dan hadis yang sering diangkat oleh orang-orang yang bermaksud tidak obyektif terhadap Islam, seperti penjelasan sabab nuzul ayat dan sabab wurud hadis, serta kaedah-kaedah usul. Buku ini juga memberikan uraian dan analisis semantik dan kaedah-kaedah linguistik untuk menjelaskan sejulmah ayat dan hadis yang sering disalah pahami orang.
[]

 

DETIK, 27 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar