Dua tahun berlalu sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda belum surut. Bahkan dalam catatan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan serangan secara tiba-tiba di wilayah Republik Indonesia.
Dalam serangan kejuatan tersebut, tentu saja banyak korban berjatuhan, terutama para pejuang santri, baik dari Hizbullah dan Sabilillah. Hampir setiap hari umat Islam melakukan gerakan batin di samping kesiapsiagaan militer. Tiap-tiap sembahyang dilakukan qunut nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon kemenangan dalam perjuangan.
Sebab serangan pada 21 Juli 1947 tersebut, daerah RI semakin menciut. Istilah KH Saifuddin Zuhri tinggal selebar godong kelor (daun kelor). Daerah tersebut hanya meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogyakarta sebagai pusatnya.
Kota Malang jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947 tersebut. Jatuhnya kota perjuangan pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah Malang ini sangat mengejutkan Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya), Kiai Hasyim Asy’ari sedang mengajar ngaji.
Begitu berita buruk itu disampaikan, Kiai Hasyim Asy’ari seketika memegangi kepalanya sambil berdzikir menyebut nama Allah SWT: “Masyaallah, Masyaallah!” lalu pingsan tak sadarkan diri. Hadhratussyekh mengalami pendarahan otak setelah diperiksa. Dokter angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah.
Utusan Panglima Besar Soedirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui oleh Hadhratussyekh. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan 25 Juli 1947, Hadharatussyekh KH Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya dengan membawa kepedihan mendalam atas apa yang menimpa bangsa Indonesia.
Kalangan pesantren berduka, rakyat Indonesia menangis ditinggalkan ulama kharismatik dan pejuang. Mereka seakan tidak percaya ditinggalkan seorang kiai pejuang yang selama ini menjadi sandaran dan panutan. Apalagi dalam kondisi saat itu, rakyat masih membutuhkan perannya sebagai penggerak dalam upaya-upaya pergerakan nasional.
Namun demikian, pengalaman mengusir Belanda dalam peperangan hebat pada 10 November 1945 berkat fatwa Resolusi Jihad NU yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari, rakyat Indonesia termasuk laskar santri dalam Hizbullah dan Sabilillah tetap mampu mempertahankan diri dari agresi Belanda. Hingga akhirnya pada Desembar 1947 bangsa Indonesia benar-benar merdeka dengan perjuangan dan kerja keras.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukan akhir dari sebuah perjuangan melepaskan diri dari kungkungan penjajah. Belanda (NICA) yang membonceng pasukan sekutu (Inggris) berupaya melakukan agresi militer untuk merebut kembali tanah jajahan dari Nipoon (Jepang) yang menyerah kepada sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur oleh bom atom.
Dalam situasi yang belum relatif mencapai titik kondusif, para pejuang dari kalangan pesantren yang sejak awal melakukan perjuangan melawan penjajah tetap siap dan siaga terhadap situasi tersebut. Puncaknya pada 22 Oktober 1945 ketika Pendiri NU KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa resolusi jihad.
Seluruh rakyat dan bangsa Indonesia tergerak mengangkat senjata untuk mengusir tentara sekutu karena fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan bahwa membela tanah air dari penjajahan hukumnya wajib. Adapun yang gugur dalam agresi militer Belanda II adalah syahid. Fatwa Kiai Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa pondasi agama penting dalam setiap upaya perjuangan untuk kepentingan orang banyak.
Puncak perlawanan sejak dikeluarkannya fatwa Resolusi Jihad terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya. Kaum santri dan semua elemen rakyat menghadang tentara sekutu di Surabaya. Kota tersebut berhasil direbut, tentara sekutu takluk, kemerdekaan tetap bisa dipertahankan. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar