Jumat, 30 April 2021

(Ngaji of the Day) Tafsir Ar-Ra’d Ayat 11: Motivasi Mengubah Nasib?

Menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak bisa tidak mesti mengacu pada pakem ulama ahli tafsir. Bila tidak, potensi salahnya sangat besar, apalagi bila sang penafsir awam tentang kitab-kitab tafsir, ulumul qur’an, dan kaidah tafsir.

 

Contoh ayat yang kerap dikutip penceramah atau motivator—lalu menafsirkannya—adalah Surat Ar-Ra’d ayat 11 berikut:

 

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

 

Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS Ar-Ra’d: 11).

 

Ayat di atas sering dipotong oleh sebagian kalangan dengan hanya mengambil bagian ayat berikut:

 

إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

 

Ayat ini digunakan sebagai ayat motivasi bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Tafsiran seperti ini bertentangan dengan realitas lapangan. Berapa banyak orang yang berusaha mengubah nasib mereka dengan membanting tulang, kaki di kepala dan kepala di kaki, demi ingin mengubah nasibnya menjadi lebih baik, tapi berapa persen dari mereka yang berhasil?

 

Ayat Al-Qur’an merupakan sebuah kepastian. Jika diartikan bahwa perubahan nasib menjadi lebih baik di tangan seseorang, tentu tidak akan ada orang gagal dari usahanya. Buktinya tidak demikian. Selain itu, keyakinan bahwa semua kesuksesan dikembalikan kepada pribadi seseorang—baru Allah mengikutinya—merupakan bagian dari doktrin Mu’tazilah. Dalam paham ini, perilaku hamba menentukan segalanya. Lalu bagaimana tafsir ulama pada ayat di atas?

 

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِاللهِ

 

Sebagian ulama, sebagaimana dikutip oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, ayat di atas menjelaskan bahwa setiap manusia selalu didampingi oleh malaikat siang–malam yang silih berganti. Malaikat siang datang, pada saat itu juga malaikat malam meninggalkan seseorang. Saat sore, malaikat siang pergi sedangkan malaikat malam mulai datang. Menurut sebagian ulama, malaikat yang silih berganti ini bernama malaikat hafadzah.

 

إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

 

Masih menurut At-Thabari, maksud ayat ini justru menjelaskan bahwa semua orang itu dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan sebab perilakunya sendiri dengan bersikap zalim dan saling bermusuhan kepada saudaranya sendiri.

 

يقول تعالى ذكره: (إن الله لا يغير ما بقوم)، من عافية ونعمة، فيزيل ذلك عنهم ويهلكهم = (حتى يغيروا ما بأنفسهم) من ذلك بظلم بعضهم بعضًا، واعتداء بعضهم على بعض،

 

Artinya: “(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum) yang berupa sehat sejahtera dan penuh kenikmatan kemudian kenikmatan itu menjadi dibuang dan dirusak oleh Allah, (sampai mereka mengubah sesuatu yang ada para pribadi mereka) yaitu dengan sikap dzalim antar sesama dan permusuhan terhadap orang lain” (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’an, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz 16, hlm. 382).

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa hakikat setiap manusia itu sebagai orang yang berhak mendapatkan kenikmatan penuh, karena pada dasarnya mereka adalah suci sebagaimana dalam ayat:

 

فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

 

Artinya: “(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (QS Ar-Rum: 30).

 

Dalam hadits, Rasulullah bersabda:

 

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ،

 

Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci” (HR Bukhari).

 

Jika setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, tentu dia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kenikmatan dari Allah. Perubahan status menjadi Majusi, Yahudi, Nasrani adalah andil orang tua atau dirinya sendiri. Berbeda dengan pemahaman jika semua nasib orang itu buruk, untuk mendapatkan nasib yang baik harus mengubahnya. Ini tidak sesuai dengan pemahaman para ulama ahli tafsir. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:

 

قَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ) أَخْبَرَ اللهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يَقَعَ مِنْهُمْ تَغْيِيرٌ، إِمَّا مِنْهُمْ أَوْ مِنَ النَّاظِرِ لَهُمْ، أَوْ مِمَّنْ هُوَ مِنْهُمْ بِسَبَبٍ، كَمَا غَيَّرَ اللهُ بِالْمُنْهَزِمِينَ يَوْمَ أُحُدٍ بِسَبَبِ تَغْيِيرِ الرُّمَاةِ بِأَنْفُسِهِمْ، إِلَى غَيْرِ هَذَا مِنْ أَمْثِلَةِ الشَّرِيعَةِ، فَلَيْسَ مَعْنَى الْآيَةِ أَنَّهُ لَيْسَ يَنْزِلُ بِأَحَدٍ عُقُوبَةٌ إِلَّا بِأَنْ يَتَقَدَّمَ مِنْهُ ذَنْبٌ، بَلْ قَدْ تَنْزِلُ الْمَصَائِبُ بِذُنُوبِ الْغَيْرِ، كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَقَدْ سُئِلَ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ- نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Dalam ayat ini Allah member tahu bahwa Ia tidak mengubah suatu kaum sehingga ada salah satu di antara mereka ada yang mengubahnya. Bisa jadi dari golongan mereka sendiri, pengamat, atau faktor penyebab yang masih mempunyai hubungan sebagaimana para pasukan yang dikalahkan pada saat perang Uhud disebabkan penyelewengan yang dilakukan oleh ahli panah. Demikian pula contoh-contoh dalam syari’at. Ayat ini tidak mempunyai arti bahwa kekalahan perang Uhud murni disebabkan perilaku dosa seseorang, tapi terkadang musibah-musibah itu turun disebabkan oleh dosanya orang lain sebagaimana sabda Nabi Muhammad ketika ditanya salah seorang “Wahai Rasul, apakah kita akan mengalami kehancuran sedangkan di antara kita ada yang shalih?” Jawab Nabi “Ya, jika ada banyak pelaku zinanya” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Darul Kutub al-Mishriyyah: Kairo, 1964], juz 9, hlm. 294).

 

Kedua tafsir tersebut, baik ath-Thabari maupun al-Qurthubi, sepakat bahwa manusia pada dasarnya menerima anugerah kenikmatan tapi perilaku manusia dapat mengubah kenikmatan itu menjadi keburukan atau musibah. Hanya saja, Imam al-Qurthubi berpendapat, faktor berkurangnya atau hilangnya kenikmatan yang diterima hamba itu tidak tunggal. Menurutnya, faktor itu bisa murni bersumber dari kesalahan hamba itu sendiri, bisa pula dari kesalahan anggota keluarga atau komunitas sekitarnya, sebagaimana terjadi pada perang Uhud. Pasukan Muslimin pada perang Uhud kalah bukan lantaran kesalahan semua pasukan, tapi ada kesalahan beberapa individu saja tapi orang lain mendapatkan getahnya. Dengan bahasa lain, kesalahan segelintir orang itu berdampak sistemik lalu menggoyahkan kekuatan kelompok secara keseluruhan.

 

Dalam kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Imam Baidhawi juga menyatakan:

 

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ من العافية والنعمة. حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ من الأحوال الجميلة بالأحوال القبيحة

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengganti sesuatu yang ada pada kamu dari kesehatan dan kenikmatan sampai mereka mengubah dengan individu mereka dari keadaan yang baik dengan keadaan yang buruk. (Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Daru Ihyait Turats al-Arabi: Beirut), juz 3, hal. 183)

 

Menjadikan ayat tersebut untuk memotivasi orang agar berbuat yang terbaik dan berjuang maksimal merupakan langkah positif. Hanya saja perlu dicatat, perjuangan dalam konteks ayat tersebut bukan mengubah yang buruk menjadi baik, tetapi merawat agar anugerah yang baik-baik dari Allah tak berubah menjadi buruk karena perilaku kita.

 

Meski sekilas terlihat mirip, kedua sikap di atas sejatinya berangkat dari paradigma yang berbeda. Yang pertama berangkat dari "keangkuhan" akan potensi diri sendiri, sementara yang kedua berlandaskan pada keyakinan bahwa semua yang Allah berikan pada dasarnya baik, dan kita berkewajiban memeliharanya dengan baik. Poin terakhir ini mengandaikan ketergantungan yang kuat kepada Allah subhanahu wata'ala. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang, Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar