Bulan puasa adalah bulan penuh berkah dan pahala. Umat Islam dianjurkan memperbanyak amal kebaikan di dalamnya. Pahala amal sunnah di bulan Ramadhan berbanding dengan ibadah fardhu di selain bulan Ramadhan. Kemudahan dan semangat melakukan kebajikan di bulan Ramadhan umumnya melebihi antusiasme di bulan lainnya, sebab nafsu yang malas dari kebaikan terpenjara dengan rasa lapar dan dahaga. Setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka dikunci, pintu-pintu surga dibuka (lihat: Syekh Abdullah al-Haddad, Risalah al Muawanah, Dar al Hawi, hal. 91).
Begitu besarnya pahala di bulan penuh berkah ini tidak lantas tanpa menyisakan problem, di antaranya mental setelah berpuasa di siang hari. Terkadang ada perasaan bahwa lebih aman berbuat dosa di malam hari, tepatnya setelah berbuka puasa hingga subuh, ketimbang siang hari kala seseorang berjuang mempertahankan keabsahan puasa. Alhasil, siang puasa dan merasa takut melakukan dosa, tapi di malam hari merasa lebih enjoy menggunjing, berbuat dusta, dan sebagainya. Anggapan tersebut bisa jadi karena kebodohan atau tidak terkontrolnya luapan emosi “balas dendam”. Anggapan tersebut sesungguhnya tidak pantas dilakukan oleh orang beriman.
Sebagai upaya membenahi dan mengobati anggapan tersebut, perlu kiranya mengingat beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, hikmah diwajibkannya puasa Ramadhan.
Salah satu hikmah diwajibkannya puasa Ramadhan, sebagaimana penjelasan Syekh Sulaiman al-Jamal mengutip Syekh al-Barmawi, adalah agar dapat menghasilkan zuhud yang wajib dan sunnah. Zuhud wajib adalah menjaga diri dari melakukan keharaman. Zuhud sunnah artinya menjaga diri dari perkara makruh dan hal yang tidak bermanfaat.
Di antara hikmahnya lagi adalah mempersempit laju setan dengan lapar dan dahaga. Sesungguhnya setan senantiasa mengganggu manusia terus-menerus, seperti mengalirnya darah di tubuh. Puasa bisa menjadi tameng dari pengaruh-pengaruh negatif, baik dari setan atau kebiasaan buruk nafsu yang banyak memerintah kejelekan (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, juz 2, hal. 302).
Bila hikmah puasa ini dicermati dan direnungkan dengan seksama, seseorang harusnya memiliki rem untuk melakukan keburukan baik saat berpuasa maupun saat berbuka.
Kedua, larangan Allah tentang merasa aman dari siksa.
Segala perbuatan dosa manusia pasti ada konsekuensinya. Allah senantiasa mencatat amal keburukan manusia di mana pun dan kapan pun. Semuanya tidak akan luput dari pengawasan-Nya. Allah mengancam para pendosa dengan siksa-siksa. Terkadang langsung ditimpakan secepatnya, terkadang dibiarkan seperti tidak ada siksa. Namun, Allah menangguhkan azab sampai pada suatu waktu sekiranya semua dosa-dosa terkumpul, siksa-Nya akan menghujam dengan sangat derasnya berbanding lurus dengan tumpukan dosa yang dilakukan manusia.
Oleh sebab itu, hendaknya manusia tidak merasa aman saat melakukan dosa, kapanpun waktunya dan dimanapun tempatnya. Allah menyebut orang-orang yang merasa aman dari siksaNya dengan orang-orang yang merugi.
Allah berfirman:
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (٩٧) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (٩٨) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (٩٩)
Artinya: “(97) Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? (98) Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? (99) Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi” (QS al-A’raf: 97-99).
Syekh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khalwati al-Hanafi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:
قيل معنى الآية ولا يأمن عذاب الله من العصاة او لا يأمن عذاب الله من المذنبين والأنبياء عليهم السلام لا يأمنون عذاب الله على المعصية ولهذا لا يعصون بانفسهم انتهى
“Dikatakan, makna ayat ini adalah; tidak merasa aman dari siksa Allah dari orang-orang yang bermaksiat, tidak aman dari siksa Allah dari para pendosa (kecuali orang-orang yang merugi). Adapun para Nabi tidak merasa aman dari azab Allah atas kemaksiatan, oleh sebab itu dengan sendirinya mereka tidak melakukan kemaksiatan”. (Syekh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khalwati al-Hanafi, Ruh al-Bayan, juz 3, hal. 207).
Ketiga, berlanjutnya kebaikan sebagai tanda puasa diterima
Sesungguhnya Allah melatih manusia di bulan puasa untuk membiasakan berbuat kebajikan, tidak hanya di bulan yang suci namun di bulan-bulan setelahnya. Para ulama menjelaskan bahwa tanda puasa Ramadhan diterima adalah membiasakan puasa setelah Ramadhan. Hal tersebut berlaku juga untuk semua jenis kebaikan yang dilakukan di bulan suci, misalnya bersedekah, membaca Al-Qur’an, shalat sunnah dan lain-lain, jika amal kebaikan serupa berlanjut setelah Ramadhan, maka hal tersebut menjadi tanda diterimanya amal-amal serupa yang dilakukan di bulan suci.
Sebaliknya, jika setelah puasa kelanjutannya adalah berbuat dosa, maka itu adalah tanda ditolaknya puasa dan kebaikan lain yang dilakukan di bulan puasa. Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan:
إن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده كما قال بعضهم ثواب الحسنة الحسنة بعدها. فمن عمل حسنة ثم أتبعها بحسنة بعدها كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم أتبعها بسيئة كان ذلك علامة على رد الحسنة وعدم قبولها.
“Sesungguhnya membiasakan puasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda atas diterimanya puasa Ramadhan, karena bila Allah menerima amal seorang hamba, ia akan diberikan pertolongan melakukan amal saleh setelahnya, seperti ucapan sebagian ulama; pahala suatu kebaikan adalah kebaikan serupa setelahnya. Maka barang siapa melakukan kebaikan, kemudian diikuti dengan kebaikan lain setelahnya, hal tersebut merupakan tanda atas diterimanya kebaikan yang pertama. Sebagaimana orang yang beramal baik, kemudian dilanjutkan dengan amal buruk, hal tersebut adalah tanda atas ditolak dan tidak diterimanya kebaikan (yang dilakukan sebelumnya)” (Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 394).
Merasa takut melakukan dosa di siang hari saat puasa, sesungguhnya merupakan hal positif yang pantas diberikan kredit poin. Namun mental demikian sangat disayangkan bila tidak berlanjut di malam hari, bahkan alangkah lebih baik lagi bila kebiasaan takut melakukan dosa berlanjut di selain bulan Ramadhan. Hal tersebut sebagai upaya agar puasa dan segenap amal saleh kita di bulan suci diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar