Kamis, 08 April 2021

Indonesia Hadapi Agresi Militer Belanda I Saat Puasa Ramadhan

Waktu kafir menduduki negeri

Semua kita wajib berperang

Jangan diam bersunyi diri

Di dalam negeri bersenang-senang

Di waktu itu hukum fardhu ain

Harus yakin seperti sembahyang

Wajib kerjakan setiap waktu

Kalau tak begitu dosa hal abang

Tak sempurna sembahyang puasa

Jika tak mara ke medan perang

Fakir miskin, kecil dan besar

Tua, muda, pria dan wanita

Yang sanggup melawan kafir

Walaupun dia budaknya orang

Hukum fardhu ain di pundak kita

Meski tak sempat lunaskan hutang

Wajib harta disumbangkan

Kepada siapa yang mau berperang

 

Berpuasa adalah satu hal. Sementara berperang adalah hal lain. Namun, umat Islam pernah melakukan keduanya secara bersamaan. Dalam catatan sejarah, umat Islam pernah berperang melawan musuh secara fisik saat berpuasa di bulan Ramadhan. Dan itu dicontohkan langsung Rasulullah Muhammad SAW.

 

Pada tahun kedua Hijriah, tepatnya pada 17 Ramadhan tahun kedua atau tahun 624 Masehi, terjadi Perang Badar antara umat Islam dan kalangan yang memusuhinya dari Mekah. Perang terjadi di sebuah lembah yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

 

Pertempuran ini tidak seimbang karena pasukan Islam yang berjumlah 314 orang melawan pasukan Mekah berjumlah 1000 orang. Bahkan dalam catatan lain disebutkan 1.300 orang. Namun, umat Islam berhasil memenangkan peperangan besar pertama bagi mereka.

 

Umat Islam Indonesia adalah bangsa yang kenyang akan pahit getirnya perang sehingga syair Hikayat Perang Sabil (hikayat dari Aceh yang dikutip dari buku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987) ada kalimat: tak sempurna sembahyang puasa, jika tak mara ke medan perang, fakir miskin, kecil dan besar. Kalimat tersebut mendudukan perang melawan kafir adalah kewajiban bagi tiap orang. Bahkan tak sempurna puasa dan sembahyang jika tidak melakukannya.

 

Sebagaimana terjadi di zaman Rasulullah, umat Islam Indonesia pernah pula mengalami saat-saat berperang di bulan Ramadhan. Paling terkenal adalah melawan penyerangan mendadak yang dilakukan oleh Belanda atau dikenal dengan Agresi Militer I Belanda. Mereka melancarkan agresinya pada awal puasa Ramadhan 1366 Hijriah atau bertepatan dengan 21 Juli 1947.

 

Menurut sejarawan NU, KH Abdul Mun’im DZ, Belanda kemungkinan melakukan agresinya pada Ramadhan karena orang Indonesia yang mayoritas Muslim sedang berpuasa sehingga dalam keadaan lemah.

 

Sebetulnya, aksi itu tidak mendadak karena agresi itu sudah diduga jauh hari oleh tokoh-tokoh Indonesia. “Apa yang diduga ternyata menjadi kenyataan,” tulis KH Saifuddin Zuhri pada Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013).

 

Menurut Kiai Saifuddin Belanda menggunakan 3 divisi lengkap untuk menggempur Jawa dan 3 brigade untuk menghantam Sumatera. Mereka mengerahkan kekuatan angkatan darat, laut, dan udara.

 

“Agresi militer Belanda I di daerah Sumatera Selatan tepat pada bulan puasa hari ketiga. Aksinya itu dimulai pada pagi hari sesudah umat Islam di daerah Sumatera Selatan selesai melakukan sahur,” tulis Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, 1945-1950 sebagaimana dikutip Historia.

 

Digempur dengan cara demikian, saat Indonesia baru saja dua tahun merdeka, tentu saja TNI, laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah, tak mampu mengimbanginya. Serangan Belanda yang bersenjata lengkap itu tidak mungkin dihadapi tentara dan laskar rakyat dengan cara berhadap-hadapan, melainkan dengan cara gerilya.

 

“Agresi itu Belanda berhasil merebut Magelang. Karenanya sepanjang garis Surabaya-Malang dikuasai Belanda bukan saja dalam arti militer, tetapi juga ekonomi politik (untuk sementara). Setelah Surabaya jatuh, kaum republik memusatkan perhatian militernya ke Malang,” kata Kiai Saifuddin.

 

Menurut Mun’im, waktu itu tentara (TNI) kan belum siap. Dan itu sudah dihitung Belanda. Makanya mereka menyerbu basis-basis laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah. Markasnya tiada lain adalah pesantren. []

 

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar