Senin, 12 April 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al Qur'an (35) Pelajaran Diplomasi Publik (1): KepiawaianDiplomasi Nabi Ibrahim

Etika Politik dalam Al Qur'an (35)

Pelajaran Diplomasi Publik (1): Kepiawaian Diplomasi Nabi Ibrahim

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Ketika Nabi Ibrahim mengungkapkan rasa kekesalannya terhadap raja dan masyarakat yang bukan saja zalim tetapi juga menampilkan akidah yang sesat, dengan menyembah berhala berupa patung. Di sebuah bangunan besar Nabi Ibrahim memasuki kompleks penyembahan berhala yang berisi berbagai macam patung. Para Raja seolah mengecoh rakyatnya dengan kepercayaan terhadap kekuatan ghaib yang tersembunyi di balik patung itu.

 

Kejengkelan Nabi Ibrahim diungkapkan di dalam ayat: Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Ibrahim/14:36). Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." (Q.S. al-An'am/6:74).

 

Setelah Nabi Ibrahim berusaha mempertanyakan keberadaan berhala-berhala di zamannya, lalu ia dijawab itu tradisi nenek moyang secara turun-temurun, Anda tidak perlu mengusili kebiasaan kami. Mendengarkan penjelasan seperti itu, anak muda sang idealis membuat langkah progresif dengan melakukan sesuatu, sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut ini:

 

Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang lalim". Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim". Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan". Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim". Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". (Q.S. al-Anbiya'/21:58-63).

Ketika patung-patung mereka dihancurkan Nabi Ibrahim tetap memperlihatkan ketenangannya ketika ia ditanya Raja tentang siapa yang melakukan penghancuran berhala mereka. Ia menjawab dengan tenang tuduhan Raja dan kalangan masyarakat dengan penuh diplomasi yang membuat masyarakat tidak percaya jika Nabi Ibrahim menjadi pelaku tunggalnya. Jawabannya ialah: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara".

 

Bahasa diplomasi ini menyelamatkan Nabi Ibrahim dari amarah raja dan rakyatnya. Seandainya ia dengan lugu menyatakan "aku yang merusaknya" mungkin saat itu juga ia akan dibunuh. Akan tetapi tujuan mulia yang diemban Nabi Ibrahim tidak boleh dilaksanakan secara emosi tanpa perhitungan, sehingga Nabi Ibrahim secara spontan menyatakan pernyataan itu. Nabi Ibrahim mengelabui Raja dan warganya dengan pernyataan itu lalu dipahami yang membantai berhala-berhala itu ialah berhala yang paling besar yang sudah digantungi kapak besar. Masyarakat memahami yang merusak ialah sang berhala besar tetapi Nabi Ibrahim juga tidak serta merta disebut berbohong karena berhala yang paling besar memang yang telah dikalungi kapak itu. Meskipun Nabi Ibrahim menurut kacamata diplomasi tidak bohong tetapi kasus itu membuat Nabi Ibrahim tidak sanggup menghadap pada Allah Swt di Padang Makhsyar karena ia terbebani rasa bersalah yang menganggap dirinya telah berbohong kepada umatnya. []

 

DETIK, 26 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar