Menjalankan puasa secara utuh dan sempurna bisa disebut sebagai hal yang jarang bisa dilakukan oleh perempuan yang masih dalam masa-masa haid. Hal ini dikarenakan umumnya mereka dalam bulan Ramadhan terdapat beberapa hari yang tidak diperbolehkan untuk menjalankan ibadah puasa karena adanya uzur berupa haid.
Namun problem seringkali muncul tatkala darah keluar melebihi waktu maksimal haid, yakni 15 hari, atau yang biasa dikenal dengan darah istihadhah. Arti darah istihadhah sendiri adalah darah yang keluar di selain hari-hari haid dan nifas. Dalam keadaan demikian, apakah puasa bagi perempuan yang keluar darah istihadhah tetap dilarang, atau justru malah diwajibkan?
Perihal istihadhah ini, secara spesifik terdapat perintah dalam hadits Nabi yang mewajibkan perempuan yang dalam keadaan istihadhah untuk tetap melaksanakan shalat sebagai kewajiban baginya, sehingga perempuan istihadhah tidak diperbolehkan meninggalkan shalat. Hal demikian seperti disebutkan dalam hadits riwayat Sayyidah ‘Aisyah:
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ، فَقَالَ: «لاَ إِنَّ ذَلِكِ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي»
“Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata: “Aku pernah Istihadhah dan belum bersuci, apakah aku mesti meninggalkan shalat?” Nabi pun menjawab: “Tidak, itu adalah darah penyakit, namun tinggalkanlah shalat sebanyak hari yang biasa engkau haid sebelum darah istihadhah itu, kemudian mandilah dan shalatlah” (HR Bukhari).
Berdasarkan hadits di atas, para ulama berpandangan bahwa hal yang wajib bagi perempuan istihadhah tidak hanya shalat, tapi juga mencakup kewajiban-kewajiban yang lain, termasuk ibadah puasa. Karena hal-hal yang diharamkan bagi perempuan yang haid sama sekali tidak berlaku bagi perempuan yang istihadhah. Bahkan terkait persoalan ini, tidak ada silang pendapat diantara ulama mazhab Syafi’i. Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi:
وَلَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَإِذَا تَوَضَّأَتْ اسْتَبَاحَتْ مَسَّ الْمُصْحَفِ وَحَمْلَهُ وَسُجُودَ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ وَعَلَيْهَا الصَّلَاةُ وَالصَّوْمُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ الْعِبَادَاتِ الَّتِي عَلَى الطَّاهِرِ وَلَا خِلَافَ في شئ مِنْ هَذَا عِنْدَنَا قَالَ أَصْحَابُنَا وَجَامِعُ الْقَوْلِ في المستحاضة انه لا يثبت لها شئ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ بِلَا خِلَافٍ وَنَقَلَ ابْنُ جَرِيرٍ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَأَنَّ عَلَيْهَا جَمِيعَ الْفَرَائِضِ الَّتِي عَلَى الطَّاهِرِ
“Diperbolehkan bagi perempuan yang istihadhah membaca Al-Qur’an. Ketika ia telah wudhu, maka diperbolehkan baginya memegang dan membawa mushaf, melaksanakan sujud tilawah dan sujud syukur. Wajib bagi perempuan istihadhah melaksanakan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lain yang wajib bagi orang yang suci. Tidak ada perkhilafan mengenai hal ini dalam mazhab kita (Mazhab Syafi’i). Ulama Syafi’iyah berkata: “Kesimpulan tentang perempuan yang istihadhah adalah tidak tetap baginya hukum-hukum yang berlaku ketika keadaan haid dengan tanpa adanya perkhilafan ulama. Ibnu Jarir menukil adanya konsensus ulama (Ijma’) bahwa boleh bagi perempuan yang istihadhah membaca Al-Qur’an, dan wajib baginya seluruh kefardhuan yang wajib bagi perempuan yang suci” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 2, hal. 542).
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perempuan yang keluar darah istihadhah secara syara’ berstatus sebagai perempuan yang suci, dalam artian kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada perempuan yang suci semuanya berlaku bagi perempuan yang istihadhah, seperti shalat dan puasa.
Sebaiknya bagi perempuan istihadhah dalam menjalankan puasa agar lebih berhati-hati, terutama dalam kebiasaan menyumbat anggota kemaluan dengan kapas untuk menghindari keluarnya darah saat hendak melakukan shalat. Perempuan istihadhah yang sedang puasa tidak perlu melakukan itu, sebab akan berakibat pada masuknya benda (‘ain) pada bagian dalam tubuh (jauf) yang berakibat pada batalnya puasa. Perempuan yang istihadhah cukup membalut kemaluannya dengan penutup, tanpa perlu menyumbatnya seperti saat dalam keadaan tidak berpuasa, karena saat sedang puasa, menyumbat kemaluan saat shalat tidak diwajibkan baginya. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jembe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar